Sejarah Desa Pegayaman Buleleng, Berawal dari Penyerangan Panji Sakti ke Blambangan, Akulturasi Budaya Islam dan Hindu

Author:
Share

Desa Pegayaman, yang berada di Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali, merupakan desa tua yang memiliki nilai sejarah tinggi. Terletak di ketinggian 475 meter di atas permukaan laut, desa ini telah menjadi saksi berbagai peristiwa bersejarah sejak masa kejayaan Kerajaan Panji Sakti. 
Sejarah Pegayaman tidak dapat dipisahkan dari peran pentingnya sebagai benteng pertahanan wilayah hutan yang melindungi Kerajaan Buleleng dari ancaman kerajaan-kerajaan lain di selatan. Asal-usul Desa Pegayaman bermula pada awal abad ke-17, sekitar tahun 1611. 
Saat itu, seorang anak bernama Ki Barak sedang beristirahat di puncak pegunungan setinggi 1.350 meter. Tempat ini menjadi saksi awal sumpah dan tekadnya untuk memperluas wilayah kekuasaan Buleleng. 
Pada tahun 1647, Ki Barak Panji Sakti, yang kemudian dikenal sebagai penguasa Kerajaan Buleleng, memimpin ekspedisi militer untuk menaklukkan wilayah Blambangan di Jawa Timur. Ekspedisi ini dilakukan melalui kerja sama dengan Kerajaan Mataram Islam yang dipimpin oleh Raja Amangkurat I.  
Pasukan gabungan dari Buleleng dan Mataram berhasil menguasai Blambangan. Setelah kemenangan ini, Ki Barak Panji Sakti membawa 100 prajurit muslim dari Blambangan ke Bali dan menempatkan mereka di wilayah hutan yang kini dikenal sebagai Desa Pegayaman. 
Nama desa ini berasal dari kata “gayam,” yang merujuk pada buah lokal yang ditemukan di daerah tersebut, dan “gayaman,” yang juga memiliki kaitan dengan istilah keris dari budaya Jawa. Kehadiran prajurit muslim dari Blambangan membawa pengaruh besar dalam pembentukan identitas Desa Pegayaman. 
Mereka tidak hanya berperan sebagai penjaga wilayah Buleleng, tetapi juga menjadi pelopor terjadinya akulturasi budaya antara tradisi Islam, Hindu, dan Bali. Nilai-nilai kearifan lokal muncul melalui interaksi sosial, seperti pernikahan antara prajurit muslim dengan perempuan Hindu Bali.  
Pernikahan tersebut melahirkan generasi baru yang mencerminkan harmoni budaya. Anak-anak di Desa Pegayaman diberi nama sesuai tradisi Bali, seperti Wayan, Nengah, Nyoman, dan Ketut, yang disandingkan dengan nama-nama Islami seperti Muhammad atau Yunus. 
Bahasa sehari-hari yang digunakan pun mencerminkan pengaruh Bali, dengan dominasi bahasa Bali madya dan halus sesuai dengan konteks sosial. Pegayaman mengadaptasi masakan khas Bali untuk kebutuhan sehari-hari maupun perayaan keagamaan. 
Sementara itu, dalam seni budaya, desa ini dikenal dengan tradisi burde, yaitu perpaduan seni sholawat, tabuh, dan gerak tari yang bernuansa Bali. Selain itu, terdapat tradisi sokok base, yakni rangkaian daun sirih, bunga, buah, dan telur yang menyerupai sarana upacara Hindu Bali.  
  
Hubungan antara umat Hindu dan Islam di Desa Pegayaman menunjukkan toleransi yang kuat. Salah satu tradisi yang mencerminkan keharmonisan ini adalah ngejot, yaitu saling bertukar makanan saat perayaan besar seperti Lebaran. Warga saling berbagi buah-buahan, kue, atau makanan khas lainnya sebagai simbol persaudaraan. (TB)
   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!