Desa Sanding, yang terletak di Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali, menyimpan sejarah panjang yang berawal dari masa Megalitik. Bukti keberadaan manusia pada periode ini terlihat dari penemuan sarkofagus di Dusun Padangsigi.
Sarkofagus, yang merupakan peti batu besar untuk menyimpan jenazah, menandai jejak pemakaman khas zaman tersebut. Dalam tradisi Bali, peti batu ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat peristirahatan terakhir bagi tokoh berstatus sosial tinggi, tetapi juga diyakini memiliki makna spiritual.
Seiring perkembangan zaman, tradisi penguburan dengan sarkofagus terus berlanjut hingga periode logam atau Perundagian. Bukti peninggalan berupa bekal kubur dari logam, seperti perunggu, menunjukkan bahwa tradisi ini masih dipertahankan oleh masyarakat Bali.
Sarkofagus yang ditemukan di berbagai tempat di Bali memiliki bentuk beragam, mulai dari lesung, perahu, hingga kura-kura, dengan beberapa dihiasi kedok muka. Salah satu sarkofagus khas dari Sanding berbentuk oval dengan motif kedok muka yang unik.
Pada periode selanjutnya, yaitu masa Hindu-Bali, Desa Sanding juga memiliki jejak sejarah yang kuat. Inskripsi bertuliskan aksara Bali Kuno ditemukan pada yoni di Pura Puseh Desa Sanding dengan angka tahun 1312 Saka. Selain itu, arca yang tersimpan di Pura Masceti diperkirakan berasal dari abad XIII-XIV M, menandai kehidupan masyarakat Sanding pada masa Bali Madya.
Ketika Bali memasuki masa pengaruh Majapahit, terjadi perubahan sosial dan politik yang cukup besar. Seorang tokoh bernama Bujangga Anglayang, yang berasal dari luar Sanding, mengungsi ke desa ini.
Ia menikah dan memiliki seorang putra bernama Bang Sanding, yang kemudian menjadi pemimpin atau dukuh di wilayah ini. Bang Sanding memiliki empat putra, yaitu Sang Sanding, Dukuh Mayasan, Dukuh Mawang, dan Dukuh Dadapan, yang kemudian melanjutkan garis keturunannya.
Namun, keberadaan Desa Sanding sempat mengalami guncangan ketika pasukan dari Kerajaan Gelgel menyerang wilayah ini. Serangan tersebut dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Arya Kepakisan, Pasek Gelgel, dan Arya Kebon Tubuh. Untuk menyelamatkan diri, sebagian besar penduduk Sanding mengungsi ke Camenggawon (Sukawati) dan Bukit Kunyit (Kulu), membuat desa ini sempat ditinggalkan.
Pada tahun 1651 M (1573 Caka), Bali mengalami pergolakan besar ketika Dalem Dimade, Raja Gelgel, bertempur melawan I Gusti Agung Maruti. Dalem Dimade mengalami kekalahan dan melarikan diri ke Guliang bersama dua putranya, I Dewa Pemayun dan I Dewa Jambe.
Setelah beberapa waktu, keduanya berpisah; Dewa Jambe menuju Sidemen, sedangkan Dewa Pemayun menetap di Bukit Tampaksiring dan memiliki tiga keturunan yang kemudian tersebar di Pejeng, Blahbatuh, dan Pulagan.
Dewa Pemayun Anom, salah satu keturunan Dalem Dimade, memperluas wilayah kekuasaannya hingga mencapai Sanding, yang kala itu telah ditinggalkan oleh penduduknya. Wilayah tersebut kemudian dijadikan sebagai pusat pemerintahan baru, dengan bekas kandang kuda di sana berubah menjadi Pura Masceti. Namun, ekspansi ini menimbulkan ketegangan dengan Dewa Pemayun Putra dari Pejeng, yang akhirnya meminta bantuan Raja Gianyar, Dewa Manggis Api.
Untuk menyelesaikan konflik tersebut, Raja Gianyar menempatkan pasukan pertahanan di perbatasan Sanding. Pasukan ini berasal dari berbagai daerah dan ditempatkan di beberapa titik strategis, seperti Sanding Bitra, Sanding Serongga, dan Sanding Abianbase. Mereka tiba di wilayah ini pada tahun 1854, dan setelah perselisihan dapat diselesaikan, tambahan pasukan dari Puri Gianyar juga dikirim untuk memperkuat keamanan wilayah.
Hingga kini, Desa Sanding tetap menjadi bagian dari Kecamatan Tampaksiring, Gianyar, dengan jejak sejarah yang mencerminkan perjalanan panjang peradaban di Bali. Dari era Megalitik hingga masa kolonial, desa ini telah mengalami berbagai dinamika yang membentuk identitasnya sebagai bagian dari sejarah Bali. (TB)