![]() |
Istimewa |
Desa Sangsit adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng, Bali. Berada beberapa kilometer di sebelah timur Singaraja, desa ini memiliki ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut.
Selain keindahan alamnya, Desa Sangsit memiliki sejarah yang erat kaitannya dengan perkembangan politik dan budaya Bali pada masa lalu.
Pada tahun 1676, terjadi peristiwa besar di Jawa ketika Adipati Madura, Trunojoyo, melancarkan serangan ke Kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Amangkurat II. Serangan ini begitu kuat sehingga memaksa Amangkurat II meminta bantuan dari Kompeni Belanda di Batavia.
Sebagai hasilnya, kedua pihak membuat kesepakatan yang dikenal sebagai Perjanjian Jepara, di mana Mataram menyerahkan wilayah utara kepada Belanda sebagai imbalan atas bantuan mereka.
Sementara itu, di Bali, penarikan pasukan Belanda ke Batavia melemahkan kekuasaan Dalem Maruti. Dengan bantuan pasukan Ki Barak Panji Sakti, Ki Sidemen, dan Ki Jambe, kekuasaan Bali kembali ke tangan Dalem Di Made. Pada waktu yang sama, Ki Barak Panji Sakti berhasil mengalahkan Beraban Batu Lepang di Manasa, meskipun pasukan Batu Lepang memberikan perlawanan sengit.
Setelah wilayah Manasa dikuasai oleh Ki Barak Panji Sakti, beliau mendirikan Pura Panji Sakti di wilayah Sinabun sebagai simbol kekuasaannya. Untuk menghindari potensi pemberontakan masyarakat yang masih setia kepada Batu Lepang, wilayah Manasa dipecah menjadi beberapa desa kecil, yaitu Desa Adat Suwug, Desa Adat Sinabun, Desa Adat Kerobokan, Desa Adat Keloncing, dan Desa Adat Sangsit.
Desa Sangsit sendiri dibentuk dari penggabungan empat desa adat kecil: Desa Adat Gunung Sekar (di timur), Desa Adat Tegal Menasa (di barat), Desa Adat Beji (di utara), dan Desa Adat Sora Lepang (di selatan).
Nama “Sangsit” diyakini berasal dari gabungan kata Sang Wangsit (visi dan petunjuk) dan Sang Siat (pasukan perang). Nama ini mencerminkan peran penting masyarakat desa dalam membantu Ki Barak Panji Sakti dalam ekspedisinya ke Manasa.
Untuk memperkuat pemerintahan baru di Desa Sangsit, Ki Barak Panji Sakti menunjuk I Gusti Ketut Jelantik sebagai Amancabumi (pemimpin wilayah). Di bawah kepemimpinan beliau, Desa Sangsit mendapatkan julukan Desa Sidhi Mara, yang berarti desa yang dihormati dan disegani. Desa ini berkembang menjadi pusat pemerintahan dan kehidupan sosial di wilayah Lebah Manasa.
Pura-pura penting yang sebelumnya berstatus Pura Desa, seperti Pura Beji, Pura Gunung Sekar, Pura Tegal Lebah, dan Pura Sora Lepang, diubah menjadi Pura Subak untuk mendukung aktivitas agraris. Sebagai pusat keagamaan dan pemerintahan, Pura Bong Aya diresmikan sebagai Pura Desa.
Di pura ini dilakukan upacara pemasupatian jagat, yang menjadikan Pura Bong Aya lebih dikenal dengan nama Pura Pasupati.
Saat ini, Desa Sangsit tetap dikenal sebagai salah satu desa yang kaya akan warisan budaya dan sejarah. Keberadaan Pura Beji yang menjadi pusat spiritual masyarakat desa menjadi daya tarik utama. Selain itu, nilai-nilai tradisional dan peran Desa Sangsit dalam sejarah Bali tetap diingat sebagai simbol kejayaan dan perjuangan rakyat Bali di masa lalu.
Dengan latar belakang sejarah yang begitu kaya, Desa Sangsit tidak hanya menjadi tempat tinggal masyarakat adat tetapi juga menjadi bagian penting dari sejarah dan budaya Bali yang patut dilestarikan. (TB)