Desa Selat yang terletak di Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, Bali, memiliki sejarah panjang yang berakar sejak zaman Bali Kuno.
Pada tahun Caka 1130 atau sekitar abad ke-12 Masehi, desa ini dikenal dengan nama Kanyuruhan.
Pada masa itu, wilayah Bali Dwipa diperintah oleh Raja Sri Aji Jaya Pangus yang berstana di Keraton Pamarajon, Penulisan, Bangli.
Selama masa kepemimpinan Sri Aji Jaya Pangus, beberapa daerah pinggiran mengalami kekacauan.
Untuk menata ulang pemerintahan dan ketertiban masyarakat, sang raja mengeluarkan sejumlah prasasti sebagai bentuk regulasi.
Tercatat sebanyak 23 prasasti ditulis dan disebar di berbagai wilayah Bali Dwipa, salah satunya berada di Desa Kanyuruhan.
Prasasti ini menjadi dasar awig-awig atau aturan adat yang berlaku di desa tersebut.
Di Desa Kanyuruhan ditemukan tujuh lembar prasasti berbahan tembaga yang menetapkan batas-batas wilayah sebagai berikut:
Utara: Toh Langkir
Timur: Air Anipi
Selatan: Patal
Barat: Air Rang Rung
Seiring perjalanan waktu, Desa Kanyuruhan dipimpin oleh Ki Bendesa Pasek Baled.
Ia dipercaya menjalankan awig-awig berdasarkan isi prasasti dan membawa perubahan penting dengan mengganti nama desa menjadi Desa Baledan sebagai penghormatan terhadap namanya.
Selanjutnya, kekuasaan diambil alih oleh I Gusti Ngurah Toh Jiwa Babakan, yang kemudian mengganti nama desa menjadi Desa Selat.
Setelah itu, kepemimpinan beralih ke I Gusti Nengah Sibetan dan nama Desa Selat tetap dipertahankan hingga sekarang.
Memasuki era penjajahan Belanda, struktur pemerintahan desa mulai tercatat secara administratif.
Berikut adalah daftar perbekel atau kepala desa dari waktu ke waktu:
- Ida Made Jelantik (1929–1933), berasal dari Geria Dangin Wani
- I Gusti Gede Oka Tusta (1933–1940)
- I Gusti Gede Taman (1940–1972), menjabat selama 32 tahun
- I Gusti Ngurah Oka (1972–1994)
- I Gede Dewa Badra (1994), menjabat sebagai penjabat sementara
Pada tahun 1995, Desa Selat mengalami pemekaran menjadi dua desa, yaitu Desa Selat dan Desa Peringsari yang masing-masing memiliki 10 dusun.
Setelah pemekaran tersebut:
- I Gusti Bagus Rai (1995–2003), kepala desa definitif pasca pemekaran
- I Wayan Suara Arsana (2003–2005), memekarkan wilayah kembali menjadi Desa Selat dengan 6 Banjar Dinas dan Desa Amerta Bhuana dengan 4 Banjar Dinas, dan seterusnya.
Sejarah panjang Desa Selat mencerminkan perjalanan sosial, budaya, dan kepemimpinan yang beragam.
Dari masa kerajaan hingga era modern, Desa Selat terus berkembang dengan tetap menjaga warisan budaya dan adat yang telah diwariskan turun-temurun. (TB)