Sejarah Desa Siangan Gianyar, Dulu Bernama Bumi Siaga Pinge

Author:
Share
Siangan adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar, Bali. Jaraknya sekitar 5 kilometer dari pusat Kota Gianyar dan sekitar 25 kilometer dari Denpasar. Desa ini memiliki enam banjar adat, yaitu Banjar Selat, Teruna, Triwangsa, Siladan, Roban, dan Buditirta.  
Wilayahnya didominasi oleh lahan persawahan seluas 252,35 hektare, serta tegalan dan hutan yang mencapai 74,24 hektare. 
Asal-usul Desa Siangan masih menjadi misteri karena tidak ada sumber yang pasti mengenai sejarahnya. Berdasarkan lontar Batur Kelawasan Mekeplug Tukad Mbah Geni yang ditemukan di Puri Denpasar Bangli, disebutkan bahwa wilayah yang kini dikenal sebagai Siangan dulunya bernama Bumi Siaga Pinge. 
Sekitar tahun 1089 Masehi, kawasan ini dibuka oleh para Rsi dari pegunungan. Pada saat itu, daerah tersebut masih berupa hutan belantara dengan berbagai jenis vegetasi, seperti alang-alang, pohon bila, pohon timbul, serta pohon jarak dan saga. Para Rsi dan pengikutnya, yang merupakan orang-orang Bali Mula, mulai menebangi hutan tersebut untuk dijadikan tempat tinggal.  
Beberapa Rsi yang menetap di wilayah ini antara lain Ki Dukuh Ambengan di perbukitan alang-alang di timur, Ki Dukuh Dablang di perbukitan dengan hutan pohon bila di barat, Ki Dukuh Semalung di daerah Lokaserana dan Tegal Linggah, Ki Dukuh Suda Ning di Purna Desa, serta Ki Dukuh Semedang dan Ki Gde Bendesa Batur di tengah-tengah hutan Siaga Pinge. 
Mereka kemudian membangun tempat pemujaan yang tersebar di berbagai titik sesuai dengan arah mata angin. Beberapa pura yang didirikan antara lain Kahyangan Madwe Gama Muang Madwe Karang, Kahyangan Gunung Sari, Kahyangan Segara, Kahyangan Ganter, Kahyangan Erjeruk, dan Kahyangan Dalem Agung Prajapati.  
Wilayah Siaga Pinge, yang kini dikenal sebagai Siangan, memiliki batas-batas yang ditentukan berdasarkan kondisi alam pada masa itu. Di timur terdapat perbukitan alang-alang yang disebut Bukit Munggu atau Kulub. 
Di selatan terdapat perbukitan dengan hutan labu dan glagah luas yang dikenal sebagai Lokaserana dan Glagah Linggah. Di barat terdapat perbukitan hutan bila dan timbul yang dinamai Pangukur-Ukuran Bumi Klusu Penggel. Di utara, ada perbukitan hutan girang yang disebut Purna Basa. Sementara itu, bagian tengahnya merupakan pusat wilayah Siaga Pinge dengan hutan pohon jarak dan saga.  
Para Rsi yang menetap di kawasan ini mendirikan berbagai pura untuk melanjutkan ajaran spiritual mereka. Ki Dukuh Dablang membangun Pura Ganter dan Pura Pangukur-ukuran di hutan Girang. Ki Dukuh Ambengan mendirikan Pura Panataran Agung Patapan di hutan alang-alang, sedangkan Ki Gde Bendesa Batur membangun Pura Panataran Madwe Karang dan Pura Panataran Madwe Gama di hutan Siaga Pinge.  
Dalam lontar juga disebutkan bahwa air suci bernama Tirta Mbah Gni Sindhu Sapuh Jagat, yang berjumlah 118 mata air, mengaliri dan menyuburkan seluruh Bali. Air ini berasal dari puncak Gunung Tuluk Bayuh, wilayah Danau Batur. Disebutkan pula bahwa dari hasil yoga dan tapa Hyang Semeru, lahirlah lima Rsi yang dikenal sebagai Panca Rsi. Mereka adalah Mpu Drya Akah, Mpu Kayu Selem, Mpu Tarunyan, Mpu Celagi, dan Mpu Kayuan, yang masing-masing bertapa di berbagai wilayah Bali.  
Seiring waktu, keturunan para Rsi ini tersebar ke berbagai daerah. Di bawah kepemimpinan Mpu Drya Akah yang bergelar Bhujangga Sakti, muncul dua padukuhan besar, yaitu Padukuhan Batur Petak dan Padukuhan Batur Ning. Keturunan mereka kemudian menjadi tokoh-tokoh penting yang mendirikan berbagai desa di Bali, termasuk Siangan.  
Sejarah Desa Siangan, meskipun tidak sepenuhnya jelas, menunjukkan bahwa desa ini memiliki akar budaya dan spiritual yang kuat. Keberadaan pura dan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi menjadi bukti bahwa wilayah ini telah lama menjadi pusat kehidupan masyarakat Hindu di Bali. (TB)
   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!