![]() |
Desa Sukawati, yang kini menjadi salah satu wilayah penting di Kabupaten Gianyar, Bali, memiliki sejarah panjang yang kaya akan mitos dan peristiwa bersejarah. Dahulu, kawasan ini dikenal sebagai Hutan Timbul sebelum berkembang menjadi pemukiman yang makmur.
Berbagai cerita rakyat dan babad menceritakan perjalanan panjang yang mengubah hutan belantara ini menjadi desa yang dihuni oleh masyarakat yang berbudaya tinggi. Menurut babad setempat, pada abad ke-18, wilayah ini masih berupa hutan lebat yang belum berpenghuni.
Saat itu, kawasan ini menjadi bagian dari Kerajaan Mengwi yang terdiri dari beberapa kantong pemukiman kecil seperti Cahu Pegambangan, Abasan, Langge, dan Laud. Namun, sebuah wabah penyakit yang dikenal sebagai “gring grubug” melanda daerah tersebut, menyebabkan banyak korban jiwa.
Wabah ini diduga disebabkan oleh ilmu hitam seorang ahli pengiwa, Ki Balian Batur, yang bermukim di daerah tersebut. Berbagai upaya dilakukan oleh Raja Mengwi untuk mengalahkan Ki Balian Batur, termasuk mengirim ahli pengiwa terbaik dari kerajaan, tetapi semuanya gagal.
Bahkan, pendekar perang kerajaan yang dibekali senjata pusaka pun tidak mampu menaklukkan Ki Balian Batur. Setelah melalui berbagai pertimbangan, Raja Mengwi meminta bantuan kepada Dalem Klungkung.
Dalem kemudian mengutus putranya, I Dewa Agung Anom, dengan membawa senjata pusaka Ki Sliksik Narantaka untuk mengalahkan Ki Balian Batur. Dengan senjata sakti tersebut, Ki Balian Batur akhirnya dapat dikalahkan, beserta para pengikutnya.
Sebagai bentuk penghargaan, Dalem Klungkung mengizinkan I Dewa Agung Anom untuk memerintah di wilayah Hutan Timbul yang kemudian menjadi cikal bakal Kerajaan Sukawati. Sebelum berangkat, beliau menerima beberapa pusaka kerajaan seperti keris Ki Maleladawa, pepatet Ki Sembahjagat, dan tombak Ki Barugagak sebagai perlengkapan spiritual dan simbol kekuasaan.
Dalam perjalanannya menuju wilayah baru, I Dewa Agung Anom bertemu dengan Ki Gede Mecaling dari Nusa Penida yang memberikan anugerah lontar sakral bernama Ki Pengasih Jagat. Lontar ini diyakini memiliki kekuatan spiritual yang melindungi dan membawa kemakmuran bagi kerajaan yang baru didirikan.
Setibanya di wilayah baru, I Dewa Agung Anom membangun pusat pemerintahan dengan mendirikan Puri Agung Sukawati serta Pura Penataran Agung sebagai tempat pemujaan utama. Berbagai infrastruktur lain seperti taman, telaga, dan jalan-jalan lebar dengan pepohonan rindang juga mulai dibangun, mencerminkan keindahan dan kemegahan kerajaan baru tersebut.
Selain menjadi pusat pemerintahan, Kerajaan Sukawati berkembang sebagai pusat seni dan budaya. Para seniman dari berbagai bidang, termasuk tari, ukiran, dan musik gamelan, menetap di wilayah ini dan mengembangkan kesenian yang kini dikenal luas sebagai bagian dari budaya Bali.
Keberhasilan kerajaan dalam melestarikan seni dan budaya ini tak lepas dari peran tokoh-tokoh seniman besar seperti I Dewa Gede Rai Perit, Made Bambang Duadja, dan Dewa Ketut Belatjing yang membawa pembaruan dalam dunia tari Legong.
Pada masa pemerintahan Dalem Klungkung, nama wilayah ini diubah dari “Bumi Timbul” menjadi “Sukaadnyana,” yang berarti kebahagiaan dan kesejahteraan. Seiring waktu, nama ini mengalami perubahan pengucapan menjadi “Sukawati,” yang dikenal hingga sekarang.
Dari sebuah hutan belantara, Sukawati berkembang menjadi sebuah kerajaan yang memiliki pengaruh besar dalam sejarah Bali. Warisan budaya dan seni yang ditinggalkan terus berkembang hingga kini, menjadikan Sukawati sebagai salah satu pusat seni dan budaya paling penting di Pulau Dewata.
Dengan sejarah yang kaya dan nilai-nilai budaya yang tetap dijaga, Desa Sukawati akan terus menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan sejarah Bali. (TB)