Sejarah Desa Tajun Buleleng, Berkaitan dengan Pura Bukit Sinunggal, Pernah Bernama Desa Tanjung

Author:
Share

Desa Tajun merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Menyusun sejarah desa ini bukanlah tugas yang mudah, mengingat keterbatasan sumber tertulis yang tersedia. Namun, berdasarkan prasasti kuno, terutama Prasasti Raja Sri Kesari Warmadewa yang tertanggal 19 Agustus 914 M, dapat ditelusuri jejak awal keberadaan desa ini.
Menurut Prasasti Raja Sri Kesari Warmadewa, pada masa lalu, di wilayah yang kini dikenal sebagai Desa Tajun, terdapat Pura Gunung Sinunggal (atau Bukit Sinunggal). Sebelum tahun 914 M, pura ini merupakan tempat pemujaan bagi masyarakat Bali Utara dan berada di bawah kekuasaan raja yang berkuasa saat itu. 
Dalam prasasti disebutkan bahwa pura ini awalnya berada di Desa Air Tabar, yang kala itu masuk dalam wilayah Indrapura. Seiring waktu, nama Indrapura mengalami perubahan fonetik menjadi Depaha.
Desa Air Tabar menjadi penjaga utama Pura Bukit Tunggal dan dipimpin oleh beberapa tokoh berpengaruh, seperti Mpu Dang Hyang Agenisarma, Sri Naga, Bajra, dan Tri. Keempat tokoh ini memiliki tugas utama dalam menjaga persatuan masyarakat serta melaporkan berbagai peristiwa penting kepada Raja Sri Kesari Warmadewa di Istana Singhamandawa, yang berlokasi di antara Desa Bedulu dan Desa Pejeng saat ini.
Pada masa pemerintahan Raja Sri Wijaya Mahadewi, sejumlah senapati diperintahkan untuk menyusun piagam baru yang mengatur peribadatan di Pura Bukit Tunggal. Para senapati tersebut antara lain Sang Senapati Balem Bunut (Tuha Kulup), Sang Senapati Waranasi (Tuha Neko), dan Sang Senapati Makudur (Tuha Semut). 
Prasasti ini kemudian ditatah di Istana Raja oleh Sang Danu, disaksikan oleh beberapa tokoh kahakiman, yaitu Sumbul, Kumpi Kulupbok, dan Kumpi Maranjaya. Piagam tersebut akhirnya diresmikan pada 29 Februari 984 M.
Pada masa pemerintahan Raja Suradipa, beberapa tokoh spiritual, seperti Mpu Dalas Raya, Mpu Tatwani Wandana, dan Mpu Sida Karya, mengajukan permohonan untuk memperbarui prasasti yang telah rusak dan tidak lagi relevan dengan kondisi saat itu. Raja Suradipa mengabulkan permohonan ini, dan prasasti baru disusun serta diresmikan pada 23 November 1115 M.
Dalam tradisi Bali kuno, tempat suci umumnya dibangun di daerah yang lebih tinggi, seperti bukit. Pura Bukit Tunggal, yang pada masa lalu menjadi pusat pemujaan raja dan masyarakat Bali Utara, juga terletak di lokasi yang lebih tinggi. Kala itu, desa-desa yang bertanggung jawab mengelola pura ini berada di sebelah utaranya, seperti Desa Air Tabar, Desa Bayad (sekarang Bayat), Desa Tunjung, dan Desa Indrapura (Depaha).
Namun, akibat seringnya terjadi perampokan di Desa Air Tabar, masyarakat setempat memutuskan untuk pindah ke bagian selatan Pura Bukit Tunggal. Di lokasi baru ini, mereka membangun permukiman yang kemudian dikenal sebagai Desa Tanjung. Seiring perjalanan waktu, nama desa ini berubah menjadi Tajun atau Tetajun, yang kemudian menjadi identitas desa yang kita kenal saat ini.
Demikianlah sejarah singkat Desa Tajun, yang berasal dari peradaban kuno dan terus berkembang seiring waktu. Desa ini memiliki jejak sejarah yang kuat, menunjukkan bagaimana masyarakatnya beradaptasi dan bertahan dalam berbagai dinamika zaman. (TB)
   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!