Desa Tihingan terletak di Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali. Perjalanan desa ini sudah ada sejak zaman prasejarah.
Keberadaan benda-benda purbakala yang tersimpan di pura-pura setempat menjadi bukti sejarah penting, didukung oleh informasi yang diperoleh dari para tetua desa yang masih mengingat kisah-kisah leluhur mereka.
Sebagai desa administratif, Tihingan dipimpin oleh seorang kepala desa dan terdiri dari empat dusun, yaitu Dusun Tihingan (pusat pemerintahan), Dusun Penasan, Dusun Mungguna, dan Dusun Pau.
Berdasarkan susunan pura dan benda-benda bersejarah di dalamnya, Tihingan diyakini terdiri dari dua desa adat utama, yaitu Desa Adat Penasan, dan Desa Adat Pau.
Kedua desa adat ini dianggap sangat tua, sebelum akhirnya terbentuk Desa Adat Tihingan yang kita kenal saat ini. Proses ini menjadi bagian dari perjalanan sejarah desa yang dapat ditelusuri melalui berbagai peninggalan serta catatan yang tersedia.
Nama “Tihingan” ditemukan dalam Prasasti Kumpulan Dr. Goris, yang berbunyi Kabukating Laku Langkah Kayu Tring Tihing Tanggung Yatha Teriya Besar Seni. Prasasti ini mengisyaratkan bahwa dulunya terdapat kelompok masyarakat yang bertanggung jawab menyediakan kayu serta bambu untuk keperluan upacara yadnya di pura-pura.
Kelompok ini mendapatkan hak khusus dan terbebas dari kewajiban lain di masyarakat.
Hal ini sejalan dengan pola penamaan desa-desa di Bali yang seringkali mencerminkan tugas khusus penduduknya, seperti Sangging (pandai emas), Pande (pandai besi), dan Pegending (pembuat gamelan). Kemungkinan besar, masyarakat awal Tihingan memiliki keahlian dalam mengolah bambu menjadi berbagai perlengkapan ritual, seperti saingan, kukusan, dan sok.
Bukti keberadaan masyarakat Tihingan sejak zaman dahulu diperkuat oleh penemuan patung Siwa dan perlengkapan Siwa Pakeranan di Pura Puseh Tihingan, yang diperkirakan berasal dari abad ke-14. Seiring waktu, pemukiman ini berkembang dan dipandang strategis oleh penguasa Klungkung sebagai benteng pertahanan terhadap kekuatan kerajaan lain.
Pada abad ke-19, Raja Klungkung menempatkan prajurit-prajurit pilihan di sepanjang timur Kali Bubuh, termasuk di Tihingan. Awalnya hanya berupa kawasan hutan bambu dengan populasi kecil, Tihingan berkembang menjadi pemukiman yang ramai dan kemudian menjadi desa adat yang makmur.
Dalam Babad Semarapura, disebutkan bahwa Raja Klungkung I, Dewa Agung Sakti, mengalami gangguan ingatan sehingga putra mahkotanya, Dewa Agung Putra, harus melarikan diri ke Karangasem. Sementara itu, pemerintahan Klungkung diambil alih oleh Dewa Agung Panji yang berkedudukan di Kusamba.
Ketika Dewa Agung Putra kembali untuk merebut takhta, ia akhirnya berkuasa di Kusamba dengan gelar Dewa Agung Putra Kusamba pada tahun 1825. Dalam ketidakstabilan politik ini, Dewa Agung Panji kemudian diminta menjadi raja di Tulikup oleh Dewa Agung Manggis untuk menyingkirkan I Gusti Pinatih dari wilayah tersebut.
Menyadari ancaman ini, Dewa Agung Putra memperkuat pertahanannya di wilayah timur Kali Bubuh dengan memindahkan penduduk dari Karangasem dan daerah timur Kali Unda ke sekitar Penasan dan Tihingan. Desa-desa seperti Toh Jiwa, Wangsean, Lebu, Sukahet, serta Pangi, Pikat, Gunaksa, dan Dawan menjadi bagian dari pertahanan Klungkung.
Seiring waktu, upaya pertahanan ini menyebabkan pemusatan pasukan di sekitar Penasan dan Tihingan, yang kemudian berkembang menjadi komunitas yang semakin besar. Sejarah panjang ini menjadikan Tihingan sebagai desa yang tidak hanya memiliki nilai budaya dan tradisi kuat, tetapi juga peran strategis dalam sejarah politik Klungkung.
Meskipun penulisan ini hanya memberikan gambaran umum, sejarah Desa Tihingan terus menjadi bagian penting dari warisan budaya Bali yang perlu dijaga dan dilestarikan. (TB)