Sejarah Kabupaten Karangasem Bali, Syarat Pernikahan, dan Dinasti Arya Batan Jeruk

Author:
Share
Istimewa

Kabupaten
Karangasem merupakan salah satu kabupaten yang berada di ujung timur pulau
Bali. Kabupaten Karangasem memiliki luas 839,54 km persegi atau 83.954 Ha.

Kabupaten
Karangasem terdiri atas 8 Kecamatan, 75 desa, dan 3 kelurahan. Delapan
kecamatan ini meliputi Kecamatan Rendang, Sidemen, Manggis, Karangasem, Abang,
Bebandem, Selat, dan Kubu.

Perjalanan
sejarah Kabupaten Karangasem ini pun sangat panjang dan bermula dari Dinasti
Arya Batan Jeruk. Inilah sejarah singkat dari Karangasem yang diringkas dari
website resmi Pemerintah Kabupaten Karangasem.

Setelah
Raja Gelgel, Dalem Waturenggong wafat pada tahun saka 1472 atau tahun masehi
1550 terjadi dinamika di Kerajaan Gelgel. Pada awalnya, Ida I Dewa Pamayun
didaulat menggantikan kedudukan raja yang telah wafat walaupun masih
kanak-kanak didampingi oleh semua para mentri seluruhnya dan Patih Agung tetap
dijabat oleh Kriyan Batan Jeruk.

Kriyan
Batan Jeruk memangku Ida I Dewa Pamayun di sebelah kanan dan Ida I Dewa Anom
Sagening di sebelah kiri saat pertemuan para menteri.

Kemudian
didudukkan di samping, dan kemudian di belakang singgasana. Dang Hyang Astapaka
memperingati Kriyan Batan Jeruk agar tidak bekelakuan seperti itu, seolah-olah
menduduki jabatan raja.

Kesalahpahaman
ini kemudian berlanjut, Kriyan Batan Jeruk pada tahun saka 1478 atau tahun
masehi 1556 menyerang istana bersama I Dewa Anggungan yang berkeinginan
menduduki jabatan raja.

Akhirnya
Kriyan Batan Jeruk menderita kekalahan dan pergi ke arah timur tiba di Desa Jungutan
Bungaya. Beliau lalu dibunuh oleh pasukan Kriyan Dhawuh Nginte. Sementara itu,
sanak keluarga Kriyan Batan Jeruk diselamatkan di Watuaya Karangamla.

Ida
Anglurah Batan Jeruk, yang sebelumnya merupakan mahapatih Kerajaan Gelgel yang
wafat di desa Bungaya itulah merupakan awal mula terbentuknya Kerajaan
Karangasem di bawah dinasti Arya Batan Jeruk.
Sebelum Kerajaan Karangasem di bawah dinasti Arya Batan Jeruk berkuasa, di
bawah kekuasaan Kerajaan Gelgel, Karangasem merupakan raja vasal yang dipimpin
oleh Ida I Dewa Karang Amla.

Penyebutan
wilayah Karangasem sebelumnya berubah-ubah yang ditemukan dari berbagai teks,
dari Karang Adri, Kamalasana, Amlanagantun, dan Karang Amla.

Pada
saat I Gusti Agung Arya Batan Jeruk wafat di wilayah Kerajaan di bawah
kekuasaan Ida I Dewa Karang Amla, beliau meninggalkan seorang putra angkat
bergelar I Gusti Agung Pangeran Oka dan seorang istri cantik jelita. I Gusti
Agung Pangeran Oka bersama permaisuri I Gusti Agung Arya Batan Jeruk kemudian
tinggal di Desa Budakeling, di pasraman Danghyang Astapaka.

I
Gusti Agung Pangeran Oka begitu tekun mengikuti kegiatan spiritual sehari-hari
yang dilaksanakan Dang Hyang Astapaka. Sementara itu, janda I Gusti Agung Arya
Batan Jeruk sering kali pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari.

Pada
suatu hari, saat hari pasaran tiba, janda I Gusti Agung Arya Batan Jeruk
seperti biasanya pergi ke pasar. Pada hari yang bersamaan, Ida I Dewa Karang
Amla juga bermaksud melihat-lihat suasana hari pasaran. Di suatu persimpangan
jalan, keduanya bertemu. Ida I Dewa Karang Amla terkesima dengan kecantikan
janda I Gusti Agung Arya Batan Jeruk sehingga serta merta lalu jatuh cinta.

Tidak
lama setelah pertemuan itu, Ida I Dewa Karang Amla kemudian melamar janda I
Gusti Agung Arya Batan Jeruk untuk diperistri. Lamaran tersebut kemudian
diterima asalkan mau memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Syaratnya adalah agar
I Gusti Agung Pangeran Oka menjadi pewaris Kerajaan Karangasem, dan persyaratan
itupun disetujuinya.

Alhasil
perkawinan antara Ida I Dewa Karang Amla dengan janda I Gusti Agung Arya Batan
Jeruk akhirnya terjadi. I Gusti Agung Pangeran Oka, juga akhirnya ikut di
boyong ke Desa Balepunduk (Desa Selagumi) tempat Ida Anglurah Karang Amla
mengedalikan pemerintahan kerajaan Karangasem pada waktu itu.

Setelah
tiba waktunya, akhirnya I Gusti Agung Pangeran Oka akan ditetapkan sebagai raja
menggantikan Ida I Dewa Karang Amla. Namun, karena lebih suka melaksanakan
kegiatan spiritual bersama Dang Hyang Astapaka penetapan sebagai raja itupun
ditolaknya.

Kekuasaan
kerajaan akhirnya diserahkan kepada putra atau cucunya. Adapun I Gusti Agung
Pangeran Oka kemudian mengikuti kata hatinya mengikuti Dang Hyang Astapaka
menjalani kehidupan suci di Bukit Mangun, Desa Toya Anyar. Pada waktu
dilimpahkannya kekuasaan kepada I Gusti Agung Pangeran Oka, Kerajaan Karangasem
di bawah dinasti sebenarnya sudah terbentuk.

Putra
I Gusti Pangeran Oka bernama I Gusti Nyoman Karang kemudian melakukan upacara
abiseka pada Buda Wage Merakih Isaka 1533 atau pada hari Rabu Wage Merakih
Tahun 1611 atau tepatnya pada hari Rabu, 22 Juni 1611.

Dengan
demikian, keberadaan Kerajaan Karangasem di bawah dinasti Arya Batan Jeruk
telah dibangun oleh I Gusti Pangeran Oka dan diresmikan pada tanggal 22 Juni
1611. Bersamaan dengan abiseka Ida Anglurah I Gusti Nyoman Karangasem.

Berdasarkan
ini pula dapat diketahui Kota Karangasem didirikan pada waktu yang sama
ditandai dengan lokus imperium Karangasem yang baru di Puri Kelodan Karangasem.
Setelah Kerajaan Karangasem terbentuk, maka sepanjang sejarahnya terjadi pasang
surut sesuai perkembangannya. Sesuai data sejarah yang tersedia, Kerajaan
Karangasem telah melakukan perluasan-perluasan wilayah kerajaan di wilayah
Bali, bahkan sampai ke Lombok.

Di
Bali, Kerajaan Karangasem melakukan invasi ke Buleleng dan Jembrana. Di Lombok,
Kerajaan Karangasem eksis sampai akhir abad ke-1915. Sebelum itu, setelah
berakhirnya Puputan Jagaraga di Buleleng pada tahun 1849, kekuasaan Kerajaan
Karangasem di Buleleng dan Jembrana berakhir.

Setelah
dua peristiwa perang yang melanda Kerajaan Karangasem, maka wilayah yang
dikuasai semakin menyusut pula. Raja Karangasem Ida Anak Agung Gde Djelantik,
pada tahun 1908 tercatat hanya membawahi 21 Punggawa, yaitu Karangasem, Seraya,
Bugbug, Ababi, Abang, Culik, Kubu, Tianyar, Pesedahan, Manggis, Antiga, Ulakan,
Bebandem, Sibetan, Pesangkan, Selat, Muncan, Rendang, Besakih, Sidemen, dan
Talibeng.

Pasca
dikalahkannya Kerajaan Karangasem di Buleleng dan Lombok oleh tentara Kerajaan
Belanda, Kerajaan Karangasem dihapuskan. Secara legalitas formal Kerajaan
Karangasem merupakan Gouverments Landschap Karangasem di bawah otoritas
Pemerinahan Hindia Belanda.

Pada
tahun 1896, Raja I Gusti Gde Jelantik diangkat sebagai stedehouder (wakil
pemerintah Belanda) oleh Gubernur Djendral Hindia Belanda. Walaupun Kerajaan
Karangasem talah berubah status sebagai bagian dari wilayah Kerajaan Belanda di
Hindia Belanda, stadehouder I Gusti Gde Jelantik tetap melaksanakan
pemerintahan dengan sistem pemerinahan tradisional.

Setelah
berakhirnya pemerintahan I Gusti Gde Jelantik, Pemerintah Hindia Belanda
memutuskan untuk mengangkat I Gusti Bagus Jelantik sebagai stedehouder
berdasarkan besluit No. 22, tanggal 28 Desember 1908.

Saat
Pemerintah Hindia Belanda mulai merasa lemah karena rongrongan tentara Jepang
dan akibat krisis perang dunia II, dimanfaatkan oleh I Gusti Bagus Jelantik
untuk mengajukan permohonan kepada Gubernemen agar Kerajaan Karangasem
diijinkan membentuk pemerintahan sendiri.

Tidak
lama setelah itu, berdasarkan staatblaad No. 529 berupa Keputusan Gubernur
Djendral Hindia Belanda No. 1, tertanggal 30 Juni 1938, maka terhitung mulai
tanggal 1 Juli 1938 I Gusti Bagus Jelantik diangkat menjadi pimpinan
zelfbestuur Karangasem. Bersamaan dengan terbentuknya Zelfbestuur Karangasem, terbentuk
pulalah zelfbestuur-zelfbestuur lain di seluruh Bali, yaitu zelfbestuur
Klungkung, Bangli, Gianyar, Badung, Tabanan, Jembrana, dan Buleleng.

Setelah
terbentuknya zelfbestuur (swapraja) di seluruh Bali, atas inisiatif Residen
L.J.J. Caron, pada tahun 1929 gelar raja sebagai zelfbestuurder disesuaikan
dengan linggih (titel adat) Bali. Raja Klungkung menggunakan gelar “Dewa
Agung”; Buleleng, Jembrana, Gianyar, dan Bangli menggunakan gelar “Anak Agung”;
Badung dan Tabanan menggunakan gelar “Cokorda”; dan Karangasem menggunakan
gelar “Anak Agung Agung”.

Pada
tahun 1946 setelah Jepang menyerah, Bali menjadi bagian dari Pemerintah Negara
Indonesia Timur dan swapraja di Bali diubah menjadi Dewan Raja-Raja yang
berkedudukan di Denpasar dan diketuai oleh seorang Raja.

Selanjutnya,
pada bulan Oktober 1950, Swapraja Karangasem berevolusi berbentuk Dewan
Pemerintahan Karangasem yang diketuai oleh ketua Dewan Pemerintahan Harian.
Dewan tersebut dipimpin oleh Kepala Swapraja (Raja) serta dibantu oleh para
anggota Majelis Pemerintah Harian.

Pada
tahun 1951, istilah Anggota Majelis Pemerintah Harian diganti menjadi Anggota
Dewan Pemerintah Karangasem. Berdasarkan UU No. 69 tahun 1958 terhitung mulai
tanggal 1 Desember 1958, daerah-daerah swapraja diubah menjadi Daerah Tingkat
II Karangasem dan kini Kabupaten Karangasem. (TB)

 

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!