Kampung Loloan di Jembrana, Bali, merupakan salah satu kawasan bersejarah yang mencerminkan perpaduan budaya yang harmonis antara Islam dan Hindu.
Keunikan kampung ini tidak hanya terletak pada sejarah panjangnya tetapi juga dalam bahasa yang digunakan warganya, yakni dialek Melayu yang khas.
Sejarah Kampung Loloan bermula pada abad ke-17 ketika kelompok masyarakat Bugis tiba di Bali setelah menghindari tekanan dari kolonial Belanda.
Dilabsir dari situs nu.or.id, sekitar tahun 1669, para pelarian tersebut pertama kali berlabuh di muara Sungai Ijo Gading, tepatnya di daerah Perancak, yang kala itu dikenal sebagai Kampung Bajo.
Setelah beberapa waktu menetap, mereka melanjutkan perjalanan ke utara hingga tiba di kawasan yang kini dikenal sebagai Loloan.
Saat itu, wilayah Jembrana dipimpin oleh Raja ke-IV, I Gusti Arya Pancoran. Sang raja memberikan izin bagi pendatang Bugis untuk menetap di daerah yang saat itu disebut Tibu Bunter.
Pemimpin mereka, Daeng Nahkoda, kemudian mendirikan sebuah pemukiman yang diberi nama Bandar Pancoran, yang menjadi cikal bakal Kampung Loloan.
Keberadaan masyarakat Bugis di Loloan membawa pengaruh besar dalam sektor ekonomi di Jembrana.
Mereka aktif dalam perdagangan hasil bumi, bahkan berperan sebagai perantara yang menjual produk-produk lokal hingga ke Palembang dan Singapura.
Selain hasil pertanian, mereka juga mengembangkan usaha tekstil, seperti pembuatan kain tenun dan songket.
Sebagai imbalan atas izin menetap di wilayah Jembrana, masyarakat Loloan berperan sebagai garda terdepan dalam pertahanan kerajaan jika terjadi serangan dari luar.
Peran strategis ini membuat mereka semakin terintegrasi dalam kehidupan sosial dan politik setempat.
Hingga kini, Kampung Loloan tetap mempertahankan identitas budayanya yang unik.
Masyarakatnya mayoritas beragama Islam dan masih menggunakan dialek Melayu dalam komunikasi sehari-hari.
Perpaduan budaya terlihat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam arsitektur rumah tradisional yang sebagian masih berbentuk rumah panggung khas Melayu, meskipun jumlahnya semakin berkurang akibat modernisasi.
Kampung ini juga dikenal memiliki beberapa masjid dan pesantren yang telah berdiri sejak lama, menunjukkan kuatnya tradisi keislaman di kawasan ini.
Di sisi lain, pengaruh budaya Bali tetap terasa dalam kehidupan sehari-hari, mencerminkan akulturasi yang harmonis.
Selain kelompok Bugis yang tiba lebih dahulu, gelombang pendatang lainnya datang dari berbagai wilayah.
Pada tahun 1799, kapal dari Kesultanan Pontianak membawa rombongan yang dipimpin oleh Syarif Abdullah Yahya al-Qadri.
Mereka diterima oleh Raja Jembrana, Putu Seloka, yang memberikan lahan seluas 80 hektar untuk pemukiman di Loloan Barat dan Loloan Timur.
Menurut kajian sejarah, keberadaan masyarakat Melayu Loloan juga dipengaruhi oleh interaksi antara pendatang Bugis dengan komunitas setempat, termasuk percampuran pernikahan yang membentuk identitas khas Melayu Bali.
Bahasa yang mereka gunakan, yang disebut “base Loloan” atau “omong kampung,” merupakan campuran antara Melayu dan Bali, menunjukkan bagaimana dua budaya ini telah berasimilasi selama berabad-abad.
Secara administratif, Kampung Loloan terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Loloan Barat dan Loloan Timur, dengan populasi sekitar 1.200 kepala keluarga.
Kampung ini berjarak sekitar 30 km dari Pelabuhan Gilimanuk dan 95 km dari Denpasar.
Meskipun menghadapi arus modernisasi, masyarakat Loloan masih mempertahankan tradisi mereka, termasuk kuliner khas seperti plecing ayam kampung dan kopyor, yang sering disajikan saat Ramadan.
Selain itu, rumah panggung Melayu yang dahulu mendominasi mulai tergantikan oleh rumah-rumah modern. (TB)