Canang sari adalah salah satu perlengkapan utama dalam ritual keagamaan umat Hindu di Bali. Persembahan ini dapat ditemukan di berbagai tempat suci seperti pura, tempat sembahyang di rumah-rumah, bahkan di jalan-jalan sebagai bagian dari yadnya atau upacara yang lebih besar.
Menurut berbagai sumber, canang sari pertama kali diciptakan oleh Mpu Sangkulputih, yang menggantikan Danghyang Rsi Markandeya sebagai sulinggih di Pura Besakih.
Dalam praktik persembahyangan Hindu di Bali, canang sari memiliki peran yang sangat penting meskipun berukuran kecil. Dalam berbagai upacara keagamaan, canang sari selalu hadir sebagai elemen inti dari setiap banten atau yadnya.
Kata “canang” sendiri berasal dari bahasa Kawi, yaitu “can” yang berarti indah dan “nang” yang berarti tujuan atau maksud. Sedangkan “sari” memiliki arti inti atau esensi. Dengan demikian, canang sari melambangkan permohonan kekuatan suci (widya) kepada Sang Hyang Widhi beserta manifestasi-Nya, baik dalam wujud nyata maupun tak kasat mata.
Setiap elemen dalam canang sari memiliki makna simbolis yang mendalam, melambangkan berbagai aspek kehidupan dan spiritualitas umat Hindu. Berikut adalah bagian-bagian utama dari canang sari beserta maknanya:
1. Ceper (alas canang)
Ceper merupakan dasar dari canang yang berbentuk segi empat, melambangkan tubuh manusia (angga-sarira). Keempat sisi ceper mencerminkan unsur pembentuk kehidupan, yaitu panca maha bhuta, panca tan matra, panca buddhindriya, dan panca karmendriya. Jika canang diletakkan di atas ceper, maka itu melambangkan ardha candra, sedangkan jika menggunakan alas tamas kecil, maka melambangkan windhu.
2. Beras (wija/pija)
Beras dalam canang sari menjadi simbol sang hyang ātma, yang mewakili kehidupan dan jiwa dalam tubuh manusia. Beras juga melambangkan benih kehidupan yang berasal dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujud ātma.
3. Porosan
Porosan dibuat dari daun sirih, kapur, dan gambir. Ketiga unsur ini melambangkan tri premana—bayu (perbuatan), sabda (perkataan), dan idep (pikiran)—yang memungkinkan manusia beraktivitas. Selain itu, porosan juga mewakili trimurti: kapur melambangkan Siwa, daun sirih melambangkan Wisnu, dan gambir melambangkan Brahma. Porosan menjadi simbol bahwa setiap umat Hindu harus memiliki hati yang penuh cinta, welas asih, dan selalu bersyukur kepada Sang Hyang Widhi.
4. Jajan, tebu, dan pisang
Ketiga unsur ini mewakili tedong ongkara, simbol kekuatan upetti, stiti, dan pralina dalam siklus kehidupan semesta.
5. Sampian uras/duras
Sampian ini melambangkan roda kehidupan yang selalu berputar, dengan astaa iswarya (delapan karakteristik kehidupan) yang menyertainya.
6. Bunga dan penataannya
Bunga dalam canang sari bukan hanya sebagai hiasan, tetapi juga memiliki makna simbolis berdasarkan warna dan posisinya:
– Bunga putih di sebelah timur, melambangkan Sang Hyang Iswara.
– Bunga merah di sebelah selatan, melambangkan Sang Hyang Brahma.
– Bunga kuning di sebelah barat, melambangkan Sang Hyang Mahadewa.
– Bunga biru atau hijau di sebelah utara, melambangkan Sang Hyang Wisnu.
– Kembang rampai di tengah, melambangkan kekuatan panca dewata serta kebijaksanaan dalam kehidupan.
Bermacam-macam bunga dalam kembang rampai mencerminkan dinamika kehidupan manusia yang penuh suka dan duka, sehingga kebijaksanaan sangat dibutuhkan untuk menjalani kehidupan dengan seimbang.
7. Lepa atau boreh miyik
Lepa (boreh miyik) merupakan perlambang dari perilaku dan sikap seseorang. Ini mengajarkan bahwa tindakan dan perilaku yang baik akan memberikan nilai positif di mata masyarakat.
8. Minyak wangi
Minyak wangi dalam canang sari melambangkan ketenangan batin dan pengendalian diri. Dalam menjalani kehidupan, manusia sebaiknya selalu menjaga keseimbangan emosi agar hidup tetap harmonis.
Canang sari bukan sekadar sesajen dalam tradisi Hindu Bali, tetapi memiliki makna filosofis yang mendalam. Setiap elemen dalam canang sari melambangkan keseimbangan antara tubuh, jiwa, dan spiritualitas, yang mengajarkan manusia untuk selalu hidup dengan kebijaksanaan, cinta kasih, dan rasa syukur kepada Sang Hyang Widhi. (TB)