Bali bukan hanya dikenal dengan pantai dan keindahan alamnya, tetapi juga dengan karya seni budaya monumental yang kini telah menjadi ikon dunia: Patung Garuda Wisnu Kencana (GWK).
Patung raksasa yang berdiri di atas bukit Ungasan, Kuta Selatan, Kabupaten Badung ini merupakan hasil dari perjalanan panjang yang penuh liku, dari gagasan di akhir 1980-an hingga akhirnya diresmikan pada 2018.
Gagasan membangun sebuah patung raksasa di Bali dicetuskan oleh seniman Bali, I Nyoman Nuarta, pada tahun 1989. Nuarta, yang dikenal sebagai salah satu pematung terkemuka Indonesia, ingin menghadirkan karya yang bukan sekadar instalasi seni, tetapi juga simbol kebanggaan bangsa dan daya tarik wisata baru.
Pada 1990, konsep itu mendapat lampu hijau dari Presiden Soeharto. Dukungan pemerintah pusat memberi angin segar bagi proyek ini, meski tidak sedikit kalangan yang awalnya meragukan rencana tersebut.
Perdebatan muncul karena sebagian masyarakat menilai pembangunan patung raksasa berpotensi menabrak pakem adat dan tatanan spiritual Bali. Namun, seiring waktu, dialog budaya dan pemahaman yang lebih mendalam akhirnya membawa proyek ini tetap berjalan.
Peletakan batu pertama dilakukan pada 8 Juni 1997, menandai dimulainya pembangunan fisik. Namun, langkah awal ini langsung terhantam krisis moneter Asia 1997–1998. Proyek GWK terhenti karena masalah pendanaan dan keterbatasan sumber daya.
Setelah jeda panjang, proyek kembali dilanjutkan secara serius pada 2013. Perusahaan properti nasional PT Alam Sutera Realty Tbk masuk sebagai pemodal utama, mengambil alih pengelolaan dari Yayasan GWK.
Kehadiran Alam Sutera memberi kepastian finansial sehingga proyek bisa diselesaikan. I Nyoman Nuarta tetap dipercaya sebagai arsitek dan pematung utama, dibantu ratusan pengrajin, teknisi, dan insinyur.
Patung GWK menggambarkan Dewa Wisnu yang menunggang Garuda, burung mitologis yang menjadi simbol kesetiaan dan pengabdian. Tinggi patung mencapai 121 meter termasuk pedestal, dengan lebar bentangan sayap 64 meter. Bobotnya sekitar 4.000 ton, menjadikannya salah satu patung terbesar di dunia, bahkan lebih tinggi dari Patung Liberty di New York.
Material yang digunakan adalah kombinasi tembaga, kuningan, baja, dan beton bertulang. Struktur ini dirancang tahan terhadap angin kencang serta guncangan gempa. Modul-modul patung dibuat di Bandung dan dikirim ke Bali untuk dirakit, sebuah proses rumit yang memakan waktu bertahun-tahun.
Setelah melewati proses panjang lebih dari dua dekade, patung GWK akhirnya rampung dan diresmikan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada 22 September 2018. Dalam sambutannya, Jokowi menyebut GWK bukan hanya kebanggaan masyarakat Bali, tetapi juga ikon baru Indonesia di mata dunia.
Peresmian ini menandai berakhirnya penantian selama 28 tahun sejak ide awal digulirkan. Sejak saat itu, kawasan GWK Cultural Park semakin ramai dikunjungi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, sekaligus menjadi lokasi penyelenggaraan berbagai acara budaya, konser musik, hingga pertemuan internasional.
Awalnya, proyek ini dikelola oleh Yayasan Garuda Wisnu Kencana, namun kemudian dialihkan ke sektor swasta untuk menjamin keberlanjutan pembangunan. Kini, GWK Cultural Park dikelola oleh PT Alam Sutera Realty Tbk, yang mengembangkan kawasan ini menjadi taman budaya terpadu dengan fasilitas seni, wisata, dan komersial.
Lebih dari sekadar monumen, GWK menyimpan pesan filosofis. Dewa Wisnu melambangkan pemelihara alam semesta, sementara Garuda menjadi simbol pengabdian dan keberanian. Kehadirannya di Bali menjadi pengingat bahwa pembangunan harus selaras dengan alam dan budaya, bukan sebaliknya.
Kini, Patung Garuda Wisnu Kencana bukan hanya destinasi wisata favorit, tetapi juga ikon internasional yang mewakili wajah baru Bali. Meski melalui jalan panjang penuh tantangan, karya ini membuktikan bahwa mimpi besar bisa terwujud dengan ketekunan, kolaborasi, dan semangat menjaga budaya. (TB)