![]() |
Wikimedia.org |
Pura Gelap Besakih, yang terletak di ketinggian setelah perjalanan singkat dari Pura Penataran Agung, merupakan salah satu dari 23 pura yang membentuk kompleks pura terbesar di Bali, Pura Besakih. Tempat ini tidak hanya menjadi pusat spiritual bagi umat Hindu Bali, tetapi juga memiliki sejarah yang kaya akan makna dan simbolisme.
Latar Belakang Sejarah
Pada awalnya, daerah tempat Pura Besakih berdiri saat ini bukanlah tempat yang dihuni, melainkan hutan belantara yang sunyi. Menurut cerita dalam sejarah Bali, saat Pulau Jawa dan Bali masih bersatu sebelum terpisah oleh laut, tinggal seorang petapa yang dihormati, Resi Markandeya, di Gunung Rawang, Jawa Timur.
Resi Markandeya, yang berasal dari India, dikenal karena kesuciannya dan kebijaksanaannya. Suatu hari, dia mendapat amanah dari Hyang Widhi Wasa untuk memimpin pengikutnya merabas hutan di pulau tersebut. Namun, sebelum melakukan itu, mereka harus melakukan upacara yadnya sebagai tanda penghormatan kepada dewa-dewa.
Pendirian Pura Besakih
Dalam perjalanan mereka menuju timur, sekitar 8000 pengikutnya mengikuti Resi Markandeya. Namun, banyak di antara mereka meninggal karena berbagai sebab, yang kemungkinan besar dikarenakan tidak adanya upacara yadnya sebelum merabas hutan.
Resi Markandeya kembali ke Gunung Rawang setelah kejadian tersebut, dan pada perjalanan berikutnya dengan 4000 pengikutnya, mereka membangun pemukiman dan merayakan upacara yadnya di lokasi yang sekarang dikenal sebagai Besakih.
Signifikansi Pura Gelap Besakih
Pura Gelap Besakih, salah satu dari 23 pura di kompleks Besakih, menjadi pusat pemujaan di kompleks Pura Besakih. Nama “Gelap” dalam bahasa Kawi bukan merujuk pada kegelapan dalam arti konvensional, melainkan kepada kilat atau petir, yang melambangkan kekuatan spiritual dan cahaya ilahi. Di pura ini, umat Hindu melakukan piodalan pada hari-hari yang penting dalam kalender Hindu Bali, seperti Soma Keliwon Wariga dan Aci Pengenteg Jagat pada setiap hari Purnama sasih Karo.
Struktur dan Fungsi Pura Gelap Besakih
Pura Gelap Besakih mencakup berbagai pelinggih dan struktur suci, termasuk Meru Tumpang Tiga sebagai palinggih utama, Palinggih Siwa Lingga, Bale Gong, dan Bale Pawedaan. Meru Tumpang Tiga melambangkan Tri Bhuwana, yaitu alam bawah, tengah, dan atas, sementara Palinggih Dasar Sapta Patala mewakili tujuh lapisan alam bawah yang merupakan bagian dari keseluruhan alam semesta.
Pura Gelap termasuk ke dalam Pura Catur Lawa, sebagai Pura Pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Batara Iswara pelindung arah timur alam semesta atau Bhuwana Agung
Filosofi dan Ajaran
Pura Gelap Besakih tidak hanya sebagai tempat pemujaan, tetapi juga sebagai tempat untuk pengembangan spiritual. Di sinilah umat Hindu Bali berusaha untuk menyatukan Bhuwana Agung (alam semesta) dan Bhuwana Alit (alam individu), mencapai harmoni dan keseimbangan dalam kehidupan. Penghormatan terhadap alam dan hukum alam (Rta) sangat ditekankan, karena dianggap sebagai fondasi dari kehidupan yang bahagia dan harmonis.
Kesimpulan
Sebagai salah satu dari kompleks pura terpenting di Bali, Pura Gelap Besakih tidak hanya memainkan peran penting dalam kehidupan spiritual masyarakat Hindu Bali, tetapi juga merupakan penjaga dan pemelihara kebudayaan dan nilai-nilai tradisional. Dengan simbolisme yang dalam dan sejarah yang kaya, pura ini terus menjadi tempat yang dihormati dan dikunjungi oleh umat Hindu serta wisatawan yang tertarik dengan kekayaan spiritual dan budaya Bali.
Dengan demikian, Pura Gelap Besakih tetap menjadi tempat yang sarat makna dan penting dalam kehidupan spiritual masyarakat Bali, meneruskan warisan budaya dan keagamaan yang telah ada selama berabad-abad. (TB)