![]() |
Istimewa |
Pura Kehen, salah satu pura suci umat Hindu di Bali, terletak di Kelurahan Cempaga, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Bali. Lokasinya yang berada sekitar 45 kilometer dari Kota Denpasar menjadikannya mudah dijangkau, sekaligus memancarkan aura keagungan dari masa lalu. Sebagai salah satu pura tertua di Bali, Pura Kehen menjadi saksi perjalanan sejarah spiritual dan budaya masyarakat Bangli.
Sulit menentukan waktu pasti sejarah berdirinya Pura Kehen. Namun, keberadaannya terekam dalam sejumlah prasasti tembaga yang menyimpan jejak sejarah penting. Salah satu prasasti tertua, yang dikenal sebagai Prasasti Hyang Api, bertarikh antara tahun 804 hingga 836 Saka (882–914 Masehi), mencatat nama “Hyang Karinama.”
Nama ini kemudian berkembang menjadi “Hyang Kehen” sebagaimana disebutkan dalam prasasti bertarikh 1126 Saka (1204 Masehi). Prasasti ini mencatat petunjuk untuk pelaksanaan upacara besar di pura tersebut pada masa pemerintahan Raja Sri Dhanadhiraja.
Proses pemugaran besar-besaran dilakukan pada abad ke-12 Masehi oleh Raja Ida Bhatara Guru Sri Adikunti Ketana. Perluasan wilayah pura menghasilkan tiga halaman atau tingkatan utama, yaitu Utama Mandala, Madya Mandala, dan Nista Mandala, yang menjadi ciri khas tata ruang pura di Bali.
Sebagai Pura Kahyangan Jagat, Pura Kehen disungsung oleh masyarakat Bangli yang dahulu tergabung dalam kesatuan adat bernama Gebog Domas, mencakup wilayah dengan 800 kepala keluarga. Selain itu, terdapat kelompok desa-desa penyangga yang dikenal sebagai Bebanuan Pura Kehen, yang terdiri dari sejumlah banjar, seperti Banjar Blungbang, Banjar Pule, Banjar Penglipuran, dan lainnya.
Persatuan ini mencerminkan semangat kebersamaan dalam menjaga kelestarian pura. Tradisi ini terus berlangsung hingga kini, terutama saat upacara piodalan yang rutin digelar setiap enam bulan sekali pada Buda Kliwon Sinta atau Buda Kliwon Pagerwesi.
Sejarah Pura Kehen juga didukung oleh sembilan lembar prasasti tembaga berbahasa Kawi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Bali dan Indonesia. Prasasti-prasasti ini dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Prasasti Pura Kehen A: Membahas aturan adat atau awig-awig.
2. Prasasti Pura Kehen B: Berisi catatan tentang pernikahan.
3. Prasasti Pura Kehen C: Menguraikan pelaksanaan upacara dari purnama kasa hingga tilem kesanga.
Salinan prasasti ini kini disimpan di Gedung Kirtya, Singaraja, dan juga diarsipkan di Pura Kehen.
Pada masa kerajaan, Pura Kehen mendapat pengayoman dari Raja Bangli, baik berupa dukungan moral maupun material. Setelah runtuhnya sistem kerajaan, tanggung jawab ini dilanjutkan oleh Pemerintah Kabupaten Bangli, yang hingga kini tetap berperan aktif dalam menjaga keberlangsungan tradisi dan upacara di pura.
Pura Kehen bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga simbol persatuan dan budaya masyarakat Bangli. Dengan sejarah panjang yang dimulai sejak abad ke-9, pura ini menjadi warisan tak ternilai yang terus dirawat oleh krama Bangli dan masyarakat Bali pada umumnya. Kekayaan sejarah dan spiritualnya menjadikan Pura Kehen sebagai salah satu ikon budaya Bali yang patut dilestarikan. (TB)