Ilustrasi: blackbali.blogspot.com |
Sulinggih
berasal dari kata Su dan Linggih. Su artinya baik, mulia, utama, sedangkan
linggih artinya kedudukan. Dalam buku Perangkat Pemujaan Sulinggih, Saiwa,
Baudha, Bhujangga Waisnawa yang disusun oleh Purwa Sidemen disebutkan bahwa
sulinggih adalah sebuah jabatan keagamaan.
Seperti
halnya semua jabatan, jabatan sulinggih memiliki syarat-syarat, uraian jabatan
yang berisi tugas dan wewenang. Dalam istilah Hindu hal itu disebut sasana
kawikon. Secara tradisional sasana kawikon itu terkait dengan pelaksanaan
ritual agama Hindu. Sasana kawikon tidak saja mengandung syarat dan uraian
jabatan, tetapi juga menyangkut “kode tingkah laku”
Seorang
sulinggih dapat bergiat dalam bidang seni dan budaya, misalnya sastra, melukis,
mengembangkan arsitektur, tetapi sulinggih tidak pantas untuk bergerak di
bidang bisnis. Idealnya seorang sulinggih adalah seorang pemikir, man of
thought, seorang intelektual, bukan man of action, seorang manusia tindakan
yang lebih banyak mengandalkan tubuh atau ototnya.
Disarikan
dari artikel Pemaknaan Diksa dalam Tahapan Menjadi Pandita pada Ajaran Agama
Hindu yang disusun I Made Pasek Subawa dan dimuat dalam SPHATIKA: Jurnal Teologi
Vol. 12 No. 2, September 2021 disebutkan bahwa seorang calon sulinggih harus melengkapi
syarat-syarat dalam proses diksa atau penyucian, baik itu berupa syarat sekala
maupun niskala.
Secara
sekala seorang calon sulinggih harus mengikuti berbagai arahan, ajaran, dan
tuntunan dari guru nabe, selain hal itu calon sulinggih juga akan diuji kemampuannya
oleh PHDI setempat. Berdasarkan keputusan seminar kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama hindu
I-XV butir 44 tentang pedoman pelaksanann diksa, umat Hindu dari segala warga
dapat disucikan atau didiksa menjadi sulingih jika memenuhi syarat.
a.
Laki-laki yang sudah kawin atau nyukla brahmacari.
b.
Wanita yang sudah kawin atau yang tidak kawin (kanya).
c.
Pasangan suami istri.
d.
Umur minimal 40 tahun.
e.
Paham bahasa kawi, sanskerta, Indonesia, mempunyai pengetahuan, pendalaman
intisari ajaran-ajaran agama.
f.
Sehat lahir batin dan berbudi luhur sesuai dengan sasana.
g.
Berkelakuan baik, tidak pernah tersangkut perkara pidana.
h.
Mendapat tanda kesediaan dari sulinggih calon nabenya yang akan menyucikan.
i.
Sebaiknya tidak terikat dengan pekerjaan sebagai pegawai negeri maupun swasta,
terkecuali bertugas dalam hal keagamaan.
Selain
hal tersebut untuk dapat mengikuti upacara diksa, seorang calon sulinggih harus
memenuhi prosedur administrasi sebagaimana ditetapkan dalam ketetapan Sabha
Parisada Hindu Dharma II Nomor V/KEP/PHDP/68 berikut.
a.
Calon sulinggih harus mengajukan permohonan kepada parisada setempat yang
mewilayahinya selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum hari padiksan.
b.
Permohonan disertai atau dilampiri dengan surat keterangan berkelakuan baik,
berbadan sehat, surat keterangan tentang kecakapan, riwayat hidup, dan tidak
tersangkut perkara.
c.
Permohonan ditembuskan kepada pemerintah setempat untuk dimaklumi.
d.
Parisda setempat setelah menerima surat permohonan itu secepatnya melakukan
penyelidikan dan testing bersama guru nabe guna mendapatkan kepastian tentang
terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat tersebut.
e.
Penyelidikan dan testing bila prlu diulang 3 atau 6 bulan kemudian, apabila
ternyata permohonan belum memenuhi syarat, hasil penyelidikan dan test itu
disampaikan kepada parisada pusat dengan tembusan kepada pemerintah setempat.
f.
Parisada yang akan memberikan keputusan, memberikan pernyataan sikapnya
(mengabulkan atau tidak) selambat-lambatnya dua minggu sebelum hari padiksan denga
tembusan keparisada pusat dan pemerintah setempat.
g.
Pemohon yang permohonannya ditolak, dapat mengajukan permohonan lagi setelah
berselang 3 (tiga) bulan kemudian sampai sebanyak tiga kali.
Syarat
tersebut merupakan penilaian yang dilakukan oleh guru nabe dari calon sulinggih
dan parisada wilayah setempat. Hal ini disebut dengan Diksa Pariksa. Ketentuan
mengenai wewenang dari seorang guru nabe tercantum dalam lontar Krama Madiksa, sedangkan
ketentuan tentang wewenang bagi PHDI ada dalam ketetapan Maha Sabha PHDI II No.
V/KRP/PHDI/68 tentang tata keagamaan (kasulingihan, upacara, dan tempat suci)
dan keputusa seminar kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama hindu ke-14
tahun 1986-1987 tentang pedoman pelaksanaan diksa.
Diksa
Pariksa perlu dilakukan agar umat Hindu mempunyai sulinggih yang benar-benar
suci secara lahir maupun batin serta berkualitas, agar mampu melaksanakan
tugasnya dengan baik. Setelah calon sulinggih lulus diksa pariksa kemudian PHDI
mengeluarkan surat keputusan izin mediksa. Dan setelah sah menjadi seorang
sulinggih, PHDI berkewajiban membina dan menyertakan sulinggih yang
bersangkutan dalam membahas masalah-masalah keagamaan atau member peran dalam
mnyelenggarakan upacara-upacara yang bersifat regional maupun nasional.
Sementara
itu, dalam Himpunan Keputusan Seminar Kesatua Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama
Hindu I – IX tentang kawikon juga disebutkan.
1.
Kedudukan Wiku/Pendeta/Sulinggih selaku Dwijati adalah suatu kedudukan khusus
yang hanya bisa didapat dengan memenuhi syarat dan Upacara menurut Gesana serta
sesuai dengan ketentuan-ketentuan Parisada Hindu Dharma Pusat.
2.
Demikian juga mengenai Biseka, Wesa (atribut-atribut khusus) terutama
wewenang-wewenangnya.
3.
Kedudukan khusus dan atribut-atribut tersebut mendapat pengakuan masyarakat
serta perlu mendapat perlindungan yang lebih seksama secara hukum dari
Pemerintah.
4.
Di dalam hal menduduki sesuatu jabatan baik sipil maupun militer perlu mendapat
dispensasi, sehingga dapat menepati ketentuan Dharma Sesananya.
5.
Pidana Adat Agama “NYUMUKA” yakni angwikoni awaknya dawak (menjadikan
dirinya sendiri selaku Pendeta bagi Walaka) pelakunya perlu ditindak dan dijatuhi
hukuman betapa mestinya.
6.
Wiku/Pendeta/Sulinggih adalah memang wajar dalam arti tidak boleh dilarang
melaksanakan pemujaan (dengan api, dan suara bajra) pada Hari Nyepi. (TB)