Tari Sanghyang Dedari, Tarian Sakral Bali yang Sarat Makna Spiritualitas

Author:
Share

Pulau Bali dikenal tidak hanya sebagai surga wisata alam, tetapi juga sebagai pusat kebudayaan dan spiritualitas yang masih kuat dijaga hingga kini. Salah satu warisan budaya yang masih dilestarikan adalah Tari Sanghyang Dedari, sebuah tarian tradisional yang memiliki nilai sakral dan digunakan sebagai bagian dari ritual keagamaan.

Makna dan Fungsi Tari Sanghyang Dedari

Tari Sanghyang Dedari bukan sekadar seni pertunjukan, melainkan sebuah ritual spiritual yang berfungsi untuk memohon keselamatan serta menangkal marabahaya bagi masyarakat setempat. Tarian ini berasal dari budaya pra-Hindu yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat Bali.

Unsur sakral dalam tarian ini tercermin dari waktu pelaksanaannya yang hanya dilakukan saat upacara adat tertentu, lokasi pementasan yang biasanya berada di pura atau tempat suci, serta kondisi penarinya yang dipercaya mengalami kesurupan atau kerauhan sebagai media masuknya roh suci.

Asal Usul dan Sejarah Tarian

Berdasarkan kisah dari Desa Bona, Blahbatuh, Gianyar, Tari Sanghyang Dedari pertama kali muncul saat desa tersebut dilanda wabah penyakit. Ketika sekelompok anak perempuan bermain di halaman pura usai upacara, mereka menyanyikan lagu Sanghyang. Salah satu anak tiba-tiba menari dan mengalami kerauhan. Warga percaya roh suci tengah memberikan petunjuk, sehingga tarian tersebut kemudian disakralkan sebagai sarana penolak bala.

BACA JUGA  Sosok Nyoman Subrata alias Petruk, Pelawak Legendaris Asal Bali, Rekan Duet Dolar yang Tak Terlupakan

Sejak saat itu, tarian ini menjadi bagian penting dalam ritual desa, digunakan untuk mengusir wabah serta memohon perlindungan dari alam gaib.

Unsur-Unsur Penting dalam Pertunjukan

Tari Sanghyang Dedari memiliki tiga elemen utama yang menjadikannya berbeda dari tarian Bali lainnya:

  • Api suci sebagai simbol pemurnian
  • Gending Sanghyang atau nyanyian pemujaan
  • Penari yang berada dalam keadaan tidak sadar atau kerauhan

Ketiga unsur tersebut menyatu dalam satu kesatuan ritus, yang diyakini mampu menghadirkan kekuatan gaib untuk melindungi masyarakat.

BACA JUGA  Biodata, Sosok dan Profil Marmar Herayukti, Seniman Ogoh-ogoh hingg Tato Asal Denpasar

Proses dan Tahapan Ritual

Pelaksanaan Tari Sanghyang Dedari diawali dengan pemilihan penari, biasanya anak-anak perempuan berusia 8 hingga 11 tahun yang dianggap masih suci. Persiapan dimulai dua minggu sebelumnya dan dilanjutkan dengan upacara matur piuning tiga hari sebelum pertunjukan, sebagai permohonan kelancaran.

Pada hari pelaksanaan, dilakukan sembahyang bersama di Pura Pejenengan, lalu prosesi ngukup di Pura Paibon untuk memanggil roh Sanghyang. Setelah roh dipercaya masuk ke tubuh penari, barulah tarian dimulai dan dipentaskan di Catus Pata (pusat desa) dan Pura Pejenengan. Dalam satu rangkaian upacara, pertunjukan bisa digelar hingga lima kali dalam 15 hari.

Rangkaian ritual ditutup dengan prosesi nyineb, yaitu pemulangan roh suci ke tempat asalnya, disertai dengan pemindahan perlengkapan tarian ke Pura Setra Sanghyang.

Perkembangan di Era Modern

Walaupun awalnya hanya dipentaskan dalam konteks ritual keagamaan, saat ini Tari Sanghyang Dedari juga kerap ditampilkan sebagai bagian dari pertunjukan budaya di wilayah wisata seperti Ubud, khususnya di Puri Saren Agung. Versi ini biasanya dilakukan tanpa unsur kerauhan dan hanya bertujuan memperkenalkan budaya Bali kepada wisatawan.

BACA JUGA  ST Canti Graha Sesetan Juara I Ogoh-Ogoh di Kasanga Festival 2025, Angkat Bibianu

Meskipun mengalami adaptasi, masyarakat adat Bali tetap menjaga versi sakral dari tarian ini agar tidak kehilangan nilai spiritual dan makna aslinya.

Penutup

Tari Sanghyang Dedari merupakan wujud nyata dari kekayaan budaya dan spiritualitas Bali yang masih hidup hingga kini. Lebih dari sekadar tarian, ini adalah simbol komunikasi antara manusia dan alam gaib, serta menjadi bagian penting dalam tradisi masyarakat Bali.

Jika Anda berkesempatan mengunjungi Bali, menyaksikan pertunjukan ini dapat menjadi pengalaman yang tidak hanya menarik, tetapi juga membuka wawasan tentang bagaimana seni dan spiritualitas berpadu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali. (TB)

Sumber gambar: Disbud Buleleng

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!