Di tengah gemerlap kehidupan modern Denpasar, ibukota Bali, terdapat sebuah tradisi kuno yang tetap bertahan – Ritual Maburu.
Dilaksanakan oleh Desa Adat Panjer, ritual ini menjadi salah satu prosesi sakral dalam menyambut Hari Raya Nyepi.
Maburu, yang berarti “berburu” dalam bahasa Indonesia, bukan sekadar tradisi biasa melainkan sebuah upacara penuh makna untuk menyucikan diri dan alam semesta.
Maburu digelar saat Tawur Kesanga, sehari sebelum Nyepi, bertepatan dengan pawai ogoh-ogoh di seluruh Bali.
Namun di Panjer, ritual ini memiliki keunikan tersendiri. Prosesinya dimulai tiga hari sebelum Nyepi dengan rangkaian upacara yang sarat makna.
Pertama dilakukan Paruman di Bale Agung, di mana Ida Bhatara (Dewa yang berstana di Panjer) melakukan musyawarah simbolis.
Kemudian dilanjutkan dengan Pamelastian di Pura Segara, sebuah prosesi pembersihan dan penyucian dua hari sebelum Nyepi.
Sehari sebelum Nyepi, dilakukan Ngider dan Upakara di Bale Agung berupa persembahan dan prosesi mengelilingi Bale Agung sebanyak tiga kali.
Puncak ritual terjadi ketika beberapa pemangku (pendeta) mengalami kerasukan (kerauhan) dan berlari menuju Pura Tegal Penangsaran untuk “berburu” simbol-simbol tertentu.
Mereka mencari babi hitam yang melambangkan sifat Tamas atau kegelapan, ayam yang melambangkan sifat Rajas atau nafsu, serta itik yang melambangkan sifat Satwam atau kebaikan.
Ketiga hewan ini merupakan perwujudan Tri Guna, tiga sifat dasar manusia dalam filosofi Hindu.
Tujuan utama Maburu adalah mentransformasi sifat raksasa (keburukan) menjadi sifat dewa (kebaikan), sehingga umat Hindu bisa menyambut Nyepi dengan hati dan pikiran yang bersih.
Saat ritual dimulai, seluruh warga Desa Panjer berkumpul di Pura Desa untuk melakukan persembahyangan.
Setelah itu, para pemangku mulai menari diiringi alunan gamelan Bali yang khas.
Dalam keadaan ini, beberapa pemangku akan mengalami kerasukan.
Roh Bhuta Kala yang memasuki tubuh mereka kemudian berlari dengan cepat menuju Pura Tegal, seolah sedang melakukan perburuan.
Di Pura Tegal, mereka diberikan caru (sesajen) sebagai simbol pengorbanan. Setelah itu, roh-roh tersebut “dinyomya” atau dipulangkan ke alamnya.
Seluruh prosesi ini bertujuan untuk menenangkan Bhuta Kala agar tidak mengganggu ketenangan yang harus terjaga selama Nyepi.
Selain Maburu, masyarakat Bali juga mengenal Pawai Ogoh-Ogoh sebagai cara lain untuk mengusir Bhuta Kala.
Keduanya memiliki perbedaan yang menarik. Maburu bersifat ritual sakral dengan melibatkan kerasukan dan perburuan simbolis, sementara Ogoh-Ogoh adalah perwujudan Bhuta Kala dalam bentuk fisik yang diarak keliling desa kemudian dibakar.
Meski berbeda bentuk pelaksanaannya, kedua tradisi ini memiliki tujuan yang sama: menciptakan harmoni antara manusia, alam, dan roh leluhur sebelum memasuki hari hening Nyepi.
Yang membuat tradisi ini istimewa adalah lokasinya yang berada di kawasan perkotaan Denpasar.
Meskipun dikelilingi oleh kehidupan modern, warisan leluhur ini tetap terjaga dengan baik.
Generasi muda terus dilibatkan dalam pelaksanaan ritual ini agar tidak punah dimakan zaman. Bagi warga Panjer, Maburu bukan sekadar tradisi tahunan, melainkan identitas spiritual yang harus dipertahankan.
Ritual Maburu menjadi bukti nyata bahwa kearifan lokal Bali mampu bertahan meski di tengah arus modernisasi.
Prosesi ini mengajarkan pentingnya penyucian diri dan alam sebelum menyambut Tahun Baru Saka.
Bagi para traveler yang penasaran dengan ritual unik ini, datanglah ke Desa Panjer, Denpasar saat perayaan Tawur Kesanga.
Bagaimana pendapatmu tentang tradisi Maburu ini? Jika tertarik dengan budaya Bali lainnya, jangan lupa untuk mengikuti blog ini agar tidak ketinggalan cerita-cerita unik lainnya. (TB)
Sumber gambar Instagram @gustikrisnaa