Ist |
Di Bali, seorang pemangku saat muput banten atau upacara
biasanya menggunakan genta atau kleneng. Akan tetapi, ada salah satu desa di
Bali yang pemangkunya tak menggunakan genta. Dan bahkan pemangku di sini pantang
untuk menggunakan genta.
Hal ini terjadi di Desa Les, Kecamatan Tejakula, Kabupaten
Buleleng, Bali. Desa Les ini merupakan salah satu desa Bali Mula atau Bali Aga.
Lalu kenapa pemangku di sini tidak boleh menggunakan genta? Berikut salah satu
dari tiga versi penyebabnya.
Dosen Program Studi Jawa Kuno Unud, I Ketut Jirnaya dalam
hasil penelitiannya yang berjudul Pantangan Pemangku di Desa Les Buleleng
Memakai Genta Saat Melaksanakan Upacara Yadnya: Sebuah Kajian Tuturan mewawancarai
krama bernama I Made Sidarta yang mendapat cerita dari Jero Bayan Bara. Dulu di
Desa Les pernah ada seorang sulinggih yang sangat sakti karena dapat
menyembuhkan penyakit yang sedang melanda masyarakat. Di samping itu beliau
juga sempat mengajarkan agama Hindu dan menata kehidupan masyarakat.
Dalam perbincangan Ida Pedanda dengan para tetua di desa
Les banyak yang menyangkut tradisi adat (dresta) yang berjalan di desa Les.
Pada saat itu, Ida Pedanda menanyakan masalah Pemangku pada saat muput upacara
yadnya. Para tetua di desa Les menjelaskan bahwa Pemangku di desa Les ketika
muput upacara yadnya hanya memakai see atau sesapan menggunakan bahasa Bali.
Isi see tersebut, menyampaikan sajen apa yang dibuat, untuk apa membuat sajen,
kepada siapa ditujukan, dan doa (pangrestiti) dari sang Pemangku agar semua
diberikan keselamatan.
Ida Pedanda kemudian menjelaskan bahwa agem-ageman
(pegangan) para Pemangku patut memakai bajra ketika muput upacara yadnya,
sesuai dengan ajaran agama Hindu. Oleh karena Ida Pedanda sangat dihormati atas
kepintaran dan kesaktian beliau, maka apa yang dikatakan itu dimaknai sebagai
ajaran yang benar.
Mulai saat itu para Pemangku di desa Les memakai bajra
ketika muput upacara yadnya. Selanjutnya Ida Pedanda menanyakan masalah upacara
pitra yadnya. Para tetua yang hadir saat itu kembali menjelaskan bahwa ketika
ada karma (warga) yang meninggal, ia akan dikubur. Setelah 42 hari (bulan
pitung dina) kalau keluarganya memiliki dana, maka akan dilanjutkan dengan
prosesi upacara metuun. Ida Pedanda memaknai prosesi upacara pitra yadnya di
desa Les masih sangat tradisional.
Pada saat itu Ida Pedanda menjelaskan bahwa upacara pitra
yadnya menurut agama Hindu harus melalui proses Ngaben dengan bakar mayat
langsung, bakar tulang (ngebet), dan Nyapuh. Para tetua di desa Les Ketika itu
menyetujui. Mulailah membuat kuburan Pengabenan yang sangat luas yang dikenal
dengan nama Sema Gede yang berlokasi di sebelah barat pertigaan desa Les ke
Selatan.
Menurut versi tuturan ini Ida Pedanda terasa kerasan
tinggal di desa Les. Untuk membalas bakti masyarakat desa Les, beliau
menghibahkan bajra dan Siwakarana sebagai simbolis beliau masih ada di desa
Les. Akhirnya bajra dan Siwakarana beliau di simpan di Gedong Pura Geria.
Di samping itu, Ida Pedanda merasa masih sangat
dibutuhkan oleh masyarakat desa Les terutama untuk membimbing ke arah
spiritual, maka salah satu pengiring (setara asisten) beliau agar menetap di
desa Les. Kini beliau berstana di Pura Sengguhu (sebelah Barat permandian
desa).
Dituturkan kembali beliau Ida Pedanda setelah berpamitan
dengan masyarakat desa Les, beliau terhitung balik lagi ke desa Les sebanyak
dua kali lagi. Baliknya ini atas titah pewisik dari Ida Betara Ratu Gede yang
berstana di Pura Sanggah Desa. Ida Pedanda memang orang suci, pintar, dan
sakti.
Beliau memiliki kemampuan untuk menerima pewisik dari Ida
Betara. Ida Betara Ratu Gede merasa senang dengan kehadiran Ida Pedanda dan
mohon agar melanjutkan untuk membina umat di desa Les. Hanya satu pesan Ida
Betara Ratu Gede, “tolong jangan diubah dresta (tradisi) yang sudah ada di
sini.”
Ketika ada komunikasi gaib seperti itu, dresta (tradisi)
desa adat Les sudah terlanjur diubah. Efek dari perubahan dresta tersebut,
banyaklah krama yang sakit kemudian meninggal dunia. Lama-lama krama semakin
sedikit dalam kurun waktu yang relatif singkat (gumi rered).
Prajuru desa adat rapat dan diputuskan untuk segera
melaksanakan upacara yadnya mahayu-ayu, mohon kepada Betara-Betari yang
berstana di desa Les agar menghentikan wabah yang melanda desa dan
menyelamatkan krama. Pada saat upacara mahayu-ayu dilaksanakan, ada seorang
gadis yang kerasukan roh halus (kerauhan). Ia menari, teriak-teriak, dan
berlaku aneh.
Di samping itu, orang yang kesurupan tersebut menuding-nuding
para tetua yang hadir dalam upacara tersebut sembari berkata, “Penyakit ini aku
yang membuat sampai banyak abdiku yang meninggal, kenapa sudah kuberi dresta
yang gampang dan biaya ringan, kalian ubah semuanya. Ini menyebabkan aku tidak
senang. Aku sangat sayang sama kalian semua makanya aku kasi jalan hidup yang
sederhana, tetapi tidak salah!” Pada saat itu ada salah seorang Prajuru Desa
yang menyahut, “Maaf Ratu Batara, soalnya disuruh mengubah oleh Ida Pedanda,
kami tidak kuasa menolaknya.”
Ida Betara melalui yang kesurupan kembali berkata, “Aku
ini Betara, mana lebih tinggi Betara dibandingkan dengan Ida Pedanda yang masih
berujud manusia. Pokoknya kalau tidak mau kembali ke dresta dulu, abdi (panjak)
ku di sini akan kuhabisi!”. Berdasarkan rapat desa adat disepakati kembali ke
dresta kuna. Desa melaksanakan upacara Guru Piduka atau Kesisipan.
Setelah itu muncul lagi persoalan, yaitu masalah bajra
yang terlanjur dimiliki oleh para Pemangku. Jika ditaruh di rumah Pemangku
masing-masing, tidak berani karena benda suci. Akhirnya diputuskan atas saran
desa adat agar bajra tersebut disimpan di gedong pura tempat masing-masing
Pemangku bertugas.
Itu sebabnya sampai sekarang di empat pura tersimpan bajra
meliputi: Pura Jeroan Bale Agung, Pura Dangka, Pura Puseh, dan Pura Sanggah
Desa. Setelah peristiwa tersebut, masyarakat desa adat Les kembali ke dresta
kuna, keadaan masyarakat menjadi tenteram. (TB)