Dalam tradisi Hindu Bali, upacara Satu Oton merupakan sebuah peringatan hari kelahiran yang sangat sakral. Upacara ini biasanya dilakukan ketika bayi telah mencapai usia 210 hari menurut sistem penanggalan pawukon, atau setara dengan sekitar enam bulan dalam kalender Bali.
Masyarakat Bali mengenalnya dengan istilah “otonan”, yang tidak hanya sebagai momentum merayakan kelahiran, tetapi juga sebagai sarana penyucian diri.
Tujuan utama dari upacara ini adalah untuk menebus segala kesalahan dan kekurangan yang mungkin terbawa dari kehidupan sebelumnya. Diharapkan melalui ritual ini, sang bayi mendapatkan kesempatan untuk menjalani hidup yang lebih suci dan seimbang, serta dijauhkan dari berbagai pengaruh buruk.
Salah satu rangkaian penting dalam otonan pertama ini adalah pemotongan rambut yang bertujuan untuk menyucikan ubun-ubun atau Ciwa Dwara. Doa-doa juga dipanjatkan kepada Ibu Pertiwi agar turut menjaga dan membimbing si kecil sepanjang hidupnya.
Menariknya, pelaksanaan otonan bisa bervariasi tergantung pada desa kala patra atau tradisi setempat. Misalnya, di wilayah Tampaksiring, Gianyar, upacara pemotongan rambut bayi baru dilaksanakan pada saat bayi mengalami tiga kali otonan, yakni saat berusia sekitar satu setengah tahun.
Secara etimologis, istilah otonan berakar dari bahasa Jawa Kuno. Kata “wetu” atau “metu” berarti lahir atau menjelma, yang kemudian berkembang menjadi “weton”, dan akhirnya menjadi “oton” dalam bahasa Bali. Sementara itu, dalam bahasa Sanskerta, konsep kelahiran disebut “janma”, dan hari kelahiran dikenal sebagai “janmadina” atau “janmastami”.
Sistem penanggalan yang digunakan dalam menentukan hari otonan berbeda dengan kalender masehi. Umat Hindu di Bali menggunakan sistem kalender Bali-Jawa yang berlandaskan pada siklus wuku. Satu tahun dalam kalender ini terdiri dari 30 wuku, atau 210 hari.
Karena itu, hari kelahiran seseorang diperingati setiap 210 hari, bukan setahun sekali seperti dalam perhitungan masehi. Contohnya, jika seseorang lahir pada Rabu Pahing wuku Wariga, maka setiap kali hari itu kembali, disebutlah hari otonannya.
Adapun tujuan otonan tidak hanya sebagai pengingat hari lahir. Upacara ini juga bertujuan untuk menyucikan diri melalui ritual Byakala dan Prayascitta, menghilangkan pengaruh negatif atau kekotoran batin yang mengganggu keseimbangan spiritual.
Otonan juga menjadi sarana untuk mempererat hubungan dengan Tuhan, para leluhur, serta orang tua dan keluarga, sebagai bentuk rasa syukur atas anugerah kehidupan yang diberikan.
Pelaksanaan otonan biasanya dimulai dengan membersihkan diri, seperti mandi dan keramas, lalu mengenakan pakaian bersih. Setelah itu, barulah upacara dilakukan di tempat suci keluarga atau balai upacara. Persembahan berupa banten pun disiapkan sesuai dengan jenis upacara yang diadakan, bisa dalam bentuk besar (utama), sedang (madya), atau sederhana (kanistama).
Untuk upacara kanistama, beberapa jenis banten yang umum disiapkan antara lain:
- Byakala atau Byakaon: Menggunakan sidi sebagai alas, berisi taledan, buah-buahan, beras, benang, sirih, dan perlengkapan simbolis lainnya.
- Peras: Disusun dari taledan dengan buah-buahan, kulit peras, nasi, sirih, benang, ayam panggang, dan canang sari.
- Pengambeyan: Menyertakan buah, nasi tumpeng, tipat pengambeyan, dan lauk-pauk seperti ayam panggang.
- Ajuman atau Sodan: Berisi nasi, daging, dan bisa dilengkapi dengan ketupat serta ayam tutu.
- Sayut Lara Meraradan: Memiliki unsur simbolik untuk menghanyutkan penyakit dengan air kelapa muda, nasi urab, dan elemen-elemen pembersihan lainnya.
- Dapetan: Merupakan banten pelengkap dengan nasi, benang, buah, dan canang.
Selain itu, bentuk sederhana dari banten otonan dapat menggunakan Pejati, Gebogan kecil, dan masing-masing satu soroh dari banten peras, pengambeyan, soda, serta dapetan.
Di hari pelaksanaan, seorang pemangku atau tokoh yang dituakan biasanya memimpin upacara. Diawali dengan pengambilan tirta pengelukatan untuk menyucikan seluruh banten dan perangkat upacara, kemudian dilanjutkan dengan persembahan banten Byakala di pintu atau halaman rumah.
Yang diupacarakan akan melakukan penghormatan dengan doa dan tangan mengarah ke bawah sebagai lambang kerendahan hati.
Setelah itu, berbagai jenis banten lainnya dipersembahkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, para dewata, serta leluhur. Upacara dilanjutkan dengan persembahyangan keluarga, dan doa-doa dipanjatkan demi keselamatan serta kebahagiaan bersama.
Kemudian dilakukan upacara Sayut Lara Meraradan dan Dapetan untuk menghilangkan penyakit serta beban batin. Akhir dari prosesi ini adalah ngeleb dan ngalungsur sesajen, yang kemudian diikuti dengan makan bersama menggunakan banten yang telah diberkati.
Upacara Satu Oton bukan sekadar ritual, tetapi merupakan simbol kedekatan manusia dengan Sang Pencipta dan sesama makhluk, serta bentuk nyata dari rasa syukur atas anugerah kehidupan yang diberikan. Upacara ini mengajarkan nilai kesucian, penghormatan terhadap leluhur, dan pentingnya menjaga keseimbangan lahir batin sejak dini. (TB)
Sumber foto: @putusofyan