Istimewa |
Kisah
ini berawal dari kedatangan dari Dang Hyang Nirartha atau Pedanda Sakti Wawu
Rauh ke Bali. Diketahui bahwa Danghyang Nirartha datang ke Bali pada masa
pemerintahan Raja Dalem Waturenggong tahun saka 1411 atau tahun 1489 Masehi.
Danghyang Nirartha datang ke Bali dalam rangka dharmayatra dan tidak akan
pernah kembali lagi ke Jawa.
Sebelum
ke Bali, beliau tinggal di Kediri Jawa Timur. Di tempat ini beliau menikah
dengan putri Dang Hyang Panawaran di Daha menurunkan dua orang anak yaitu Ida
Ayu Swabhawa, dan Ida Kemenuh. Selanjutnya Ida Kemenuh inilah yang
menurunkan Brahmana Kemenuh di Bali.
Dalam
Dwijendra Tattwa dikisahkan dengan kesaktian dan mata bathinnya, beliau melihat
benih-benih keruntuhan kerajaan Hindu di tanah Jawa. Maksud hati hendak melerai
pihak-pihak yang bertikai, akan tetapi tidak mampu melawan kehendak Sang
Pencipta, ditandai dengan berbagai bencana alam yang ditengarai turut
ambil kontribusi dalam runtuhnya kerajaan Majapahit.
Akhirnya
beliau mendapat petunjuk untuk hijrah ke sebuah pulau yang masih di bawah
kekuasaan Majapahit, yaitu Pulau Bali. Sebelum pergi ke Pulau Bali, Dang
Hyang Nirartha hijrah ke Daha (Kediri), lalu ke Pasuruan dan kemudian ke
Blambangan.
Beliau
kemudian mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu
dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam
manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Beliau datang
ke Bali dengan putrinya yakni Ida Ayu Swabhawa.
Sementara
itu, dalam artikel berjudul Membangun Image Bali Sebagai Destinasi ReligiousTourism: Studi Geneaologi Perjalanan Dharmayatra (Pilgrimage) Danghyang NirartaKe Bali yang disusun oleh I Made Sendra dipaparkan, dari Daha, Kediri, perjalanannya
berlanjut sampai ke Pasuruan. Di pasuruan menikah dengan putri Danghyang
Penawasikan melahirkan putra-putra Ida Kuluan, Ida Wetan, Ida Ler dan Ida Lor
yang menurunkan Brahmana Manuaba.
Selanjutnya
beliau meneruskan perjalanan dharmayatra menuju Blambangan dan menikah dengan
adik Raja Dalem Blambangan melahirkan Ida Istri Rai, Ida Sakti Telaga dan Ida
Kaniten yang menurunkan Brahmana Keniten. Setelah sampai di Bali tahun 1489 beliau
menetap di Desa Mas menikah dengan anak Bendesa Mas melahirkan putra-putra Ida
Timbul, Ida Alangkajeng, Ida Panarukan dan Ida Sigaran. Karena beribu dari
Bendesa Manik Mas maka keturunannya disebut Brhamana Mas. Terakhir Dang Hyang
Nirarta menikah dengan dayangnya (penyerowannya) putri Bendesa Mas menurunkan
Ida Patapan.
Mendengar
kedatangan pendeta sakti dari tanah Jawa maka raja Gelgel Dalem Batur Enggong
(Dalem Watu Renggong) mengundang Danghyang Nirartha ke istana untuk mengantarkan
upacara Homayama. Upacara akan berjalan dengan sempurna apabila diselesaikan
bersama-sama dengan pendeta Budha, maka beliau meminta kepada Dalem Watu
Renggong untuk mengundang Danghyang Angsoka penganut aliran Budha Mahayana
(Kasogatan). Namun karena sudah tua Dang Hyang Angsoka mengutus putranya Dang
Hyang Astapaka untuk pergi ke Bali. Dang Hyang Nirartha oleh raja Gelgel
diangkat menjadi guru (Nabhe) dan penasehat (Bagawantha) kerajaan Gelgel.
Dilansir
dari website Disbud Buleleng disebutkan, perjalanan beliau ke Klungkung
dilakukan dari Desa Gading Wani wilayah Buleleng saat ini. Sementara itu, anak-anak
beliau ditinggalkan di Desa Gading Wani. Beliau berjanji akan segera kembali
setelah acara di Klungkung berakhir. Tetapi ternyata, Dang Hyang Nirartha tidak
datang dalam jangka waktu yang lama.
Putri
beliau, Ida Ayu Swabhawa akhirnya sangat gusar. Penduduk desa-desa di
sekitarnya yang berjumlah 8.000 orang dikutuk menjadi wong samar. Semua menjadi
wong samar termasuk dirinya. Ida Ayu Swabhawa dengan ribuan pengiringnya
tinggal di bawah pohon-pohon besar. Pohon-pohon itu memiliki sulur-sulur tempat
bergelayut (ngelanting dalam Bahasa Bali).Di areal pohon itulah Ida Ayu
Swabhawa dibuatkan pelinggih yang disebut Pura Melanting.
Beliau
dengan wong samar itulah yang menjadi penguasa pasar. Barang siapa yang
melakukan transaksi jual-beli pagi tidak sesuai dengan etika moral dharma akan
diganggu hidupnya oleh Dewi Melanting dengan anak buahnya. Kalau kegiatan di
pasar mengikuti dharma maka Dewi Melanting itulah yang akan melindunginya.
Di
samping distanakan di Pura Melanting ada juga stana beliau yang disebut Pura
Tedung Jagat. Pura inilah yang kemudian disebut Pura Pulaki dan juga distanakan
roh suci Dang Hyang Nirarhta. Karena itu, Pura Melanting dan Pura Pulaki
merupakan lambang predana-purusa sebagai tempat pemujaan untuk memohon
kemakmuran ekonomi.
Sementara
itu, ada juga kisah lainnya tentang hal ini. Sugi Lanus dalam catatannya di
Tatkala.co berjudul Dalem Melanting di Pulaki, Dewi Melanting di
Pasar-Sawah-Kebun: Apa Bedanya? Menuliskan, Ketika Dang Hyang Nirarta hijrah ke
Bali, dari Jawa, sampai di Pulaki. Di sana sang pendeta sambil terus berjalan
ke timur, tiba-tiba beliau melihat seekor naga besar yang mulutnya menganga
menakutkan, namun sang pendeta masuk ke tengah mulut naga itu.
Setibanya
beliau di tengah perut naga tersebut beliau menemui sebuah telaga yang berisi
tiga bunga teratai tiga warna. Yang di timur berwarna putih. di selatan berwana
merah, dan di utara berwarna hitam. Lalu oleh sang pendeta dicabut dan
disumpangnya di telinga, yang merah disuntingkannya di telinga kanan, yang
hitam disumpangkannya di telinga kiri dan yang putih di pegangnya, lalu beliau
keluar dari perut naga itu dengan mengucapkan weda mantra.
Istri
dan putra-putra sang pendeta melihat sang pendeta berubah-ubah warna,
kadang-kadang merah. kadang-kadang hitam kelihatannya. Tiba-tiba wajah beliau
bagaikan emas. Bertanyalah sang pendeta kepada istrinya. Sang Patni Kaniten
menyatakan bahwa putra putri beliau semuanya lari dengan tujuan yang
berbeda-beda. Selanjutnya Danghyang Nirartha mencari putra-putrinya untuk
dikumpulkannya kembali. Namun putra beliau yang tertua hilang.
Danghyang
Nirartha mencari kembali putrinya yang hilang tersebut. Tak lama kemudian
putrinya ditemuinya kembali dalam keadaan wajah yang pucat pasi. Selanjutnya
sang pendeta mengajarkan ajaran rahasia kepada putrinya, setelah itu lenyaplah
sang putri, namun tetap berada di tengah asrama itu serta disebut Dalem
Melanting.
Ia
telah berbadankan niskala dan diberi nama Bhatari Melanting, sebagai dewa di
sana. Demikian keutamaan anugerah Danghyang Nirartha kepada putrinya yang
bemama Ida Ayu Swabhawa, yang tak dikenai oleh umur tua dan kematian. Ketika
sang pendeta hendak berjalan, berkatalah istri beliau yang tidak kuat lagi
berjalan yang bernama Sang Istri Patni Kaniten. Sabda sang pendeta, “Adindaku,
di sinilah engkau bertempat tinggal, di desa Melanting, karena putrimu Ida Ayu
Swabhawa telah menjadi sungsungannya orang-orang Melanting sekarang, kanda akan
melenyapkan orang-orang Melanting.”
Orang-orang
Melanting segera dipanggil, jumlahnya kurang lebih delapan ribu orang, disuruh
menjaga putri dan istrinya. Didoakanlah orang orang di sana supaya tidak
kekurangan emas permata, serta makanan dan minuman, serta orang lain tidak
dapat melihat orang-orang di sana, semuanya tidak menolak. Lalu dilenyapkanlah
desa itu oleh Danghyang Nirartha, sampai sekarang desa ini tidak terlihat. (TB)