![]() |
Istimewa |
Diskriminasi
di banyak hal yang masih dialami teman tuli menutup kesempatan mengaktualisasi
diri dan menunjukkan perannya dalam masyarakat.
Begitu
pula ruang yang terbatas untuk menyampaikan aspirasi, cenderung membuat teman
tuli sulit beradaptasi dengan kondisi masyarakat yang dinamis.
Padahal
kenyataannya, meski bisu-tuli, mereka memiliki suara yang sama dengan kita.
Bahkan tak jarang begitu kontradiktif, bertolak belakang: nungkalik.
Mereka
memiliki kemampuan bahkan kemauan yang jauh lebih besar, untuk menghapus sekat
dan batas “kekurangan” di dalam diri mereka.
Nungkalik,
secara sederhana bisa dimaknai sebagai terbalik, bisa pula bertolak belakang.
Karya
ini didasari realitas sederhana mengenai kontradiksi yang ada dalam pandangan
kultural masyarakat.
Pandangan
umum mengenai kekurangan adalah kelemahan, runtuh ketika dibenturkan pada
realitas yang sebenarnya.
“Menjadi
tuli”, metode yang dilakukan Koreografer Jasmine Okubo dari Kitapoleng Bali
menjadi satu pendekatan untuk menyelami kehidupan mereka lebih dalam.
Dan
kesenian, menjadi medianya.
Kesenian
beserta kelenturan yang dimiliki memberi potensi tak terhingga untuk
mengekspresikan suara-suara yang tak terdengar; suara-suara yang mengendap di
kedalaman diri mereka.
“Kami
akan mementaskan pertunjukan Nungkalik di Artjog 2022. Proses ini menjadi
menarik, menjadi tantangan tersendiri bagi saya juga seluruh tim produksi
Kitapoleng. Dalam garapan ini kami harus menggunakan bahasa isyarat untuk
menjelaskan konsep, memberi pemahaman dan pemaknaan terhadap teks, juga tentu
saja ekspresi-ekspresi lainnya melalui tari atau koreografi. Yang sangat
membanggakan, teman-teman tuli yang terlibat memiliki semangat luar biasa.
Mereka berlatih keras untuk menghapal dan mempraktekan garapan baru ini.
Semangat dan kegigihan teman tuli, seakan menampar saya, menampar kita semua
akan dedikasi dan kesungguhan kerja yang mereka lakukan,” kata Jasmine di
sela-sela latihan Nungkalik di Maha Art Gallery.
Maha
Art Gallery telah menjadi ruang untuk mempertajam, memperkaya, sekaligus
mewujudkan gagasan Nungkalik.
Di
ruang ini, proses produksi bisa berjalan nyaman dengan adanya penerimaan penuh
dari seluruh tim.
“Saya
sangat bersyukur sudah dibantu peminjaman fasilitas ruangan yang proper dan
nyaman untuk tempat latihan,” ucapnya.
Dalam
pertunjukan Nungkalik yang akan dipentaskan pada Sabtu, 6 Agustus, pukul 19.30
WIB di Museum Nasional Yogyakarta ini, ada 4 (empat) teman tuli yang menjadi
penari utama, yakni Wahyu, Salsa, Yogi, dan Ayu.
Mereka
memadukan elemen gerak (bahasa isyarat), tari, musik, serta visual mapping yang
menekankan pada kedalaman makna, puitika tubuh, dan interaksi visual.
Nungkalik,
tentu saja tak sekedar pertunjukan seni semata.
Lebih
dari itu, Nungkalik seolah membuka ruang kesadaran bersama bahwa ada sesuatu
yang mesti dan layak untuk diperjuangkan bersama-sama.
Menilik
persiapan dan produktivitas kerja yang telah dilakukan, pertunjukan ini
digadang-gadang menjadi pertunjukan istimewa.
“Visual
di sini tidak hanya sebagai latar pertunjukan. Kami berusaha menciptakan dan
merealisasikan visual yang dinamis sekaligus interaktif untuk menggali
kemungkinan dan segala potensi dalam pertunjukan.
Pemilihan
kostum juga komponen artistik lainnya pun harus mampu merepresentasikan makna,
pesan, dan wacana yang kami hadirkan bagi publik yang lebih luas,” kata
direktur artistik dan visual, Dibal Ranuh.
Nungkalik
dan berbagai pemikiran yang mendasarinya ini dapat dikatakan matang.
Manajer
produksi Pranita Dewi menjelaskan, untuk mewujudkan Nungkalik ini membutuhkan
keterlibatan dan partisipasi seluruh pihak, baik dari sisi transportasi,
kebutuhan artistik dan properti, kostum dan sebagaianya.
Sebab
itulah, mereka membuat crowd funding untuk menjaga api selalu menyala.
“Kami
selalu ingin berkolaborasi dengan segala pihak, seperti halnya dengan Maha Art
Gallery. Momentum ini menjadi kesempatan besar bagi kita untuk menunjukkan
kepedulian sekaligus dukungan terhadap semangat teman tuli. Semoga banyak yang
tergerak dan memberi apresiasi bagi kerja-kerja kreatif teman tuli
mengaktualisasi diri di tengah diskriminasi yang sampai saat ini masih mereka
alami. Semoga kita semua bersepakat, bahwa kita tidak menjadi bagian dari
diskriminasi itu,” katanya.
Pemilik
Maha Art Gallery sekaligus Ketua Nawa Cita Pariwisata Indonesia (NCPI) Bali,
Agus Maha Usadha, mengatakan segala bentuk potensi harus dikembangkan, apalagi
bersentuhan langsung dengan dunia kesenian yang memang begitu lekat dengan
karakteristik budaya Bali.
Sejauh
ini, NCPI sebagai organisasi yang bergerak di dunia pariwisata memang memiliki
fokus dan kepedulian besar terhadap pengembangan segala potensi sumber daya
manusia yang ada.
“Kesenian
menjadi pilar penting dalam pariwisata Bali sehingga sangat patut dan wajib
untuk difasilitasi. Posisi kami di sini sangat jelas, berkolaborasi dan
mendukung kegiatan berkesenian dari Kitapoleng Bali. Kita harus bergerak
bersama. Karena itu kami mengundang seluruh pihak untuk berkolaborasi dan ikut
berkontribusi untuk mewujudkan pertunjukan anak-anak bisu-tuli ini,” pungkas
Agus yang juga menjabat sebagai Wakil Kadin Bali. (TB)