Mengenal Perkawinan dengan Keris di Bali, Sudah Ada Sejak Jaman Kerajaan, Bagaimana Awalnya? Kok Bisa?

Author:
Share
net.

Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 1 menyebutkan, Perkawinan
ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.

Dilanjutkan
pada Pasal 2 perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Selain itu, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perkawinan
memiliki arti yang sangat dalam serta sakral bagi kalangan masyarakat Hindu di
Bali yang berpengaruh dalam kehidupan mereka nantinya. Suatu perkawinan berdasarkan
hukum agama Hindu bertujuan untuk dapat menjadi hubungan suami istri yang kekal
dan abadi. Dalam berbagai sastra dan Kitab Hukum Hindu (Smriti), istilah
perkawinan dalam agama Hindu dikenal dengan nama Wiwaha.
Lalu bagaimana dengan pernikahan seorang wanita dengan keris?

Dalam
artikel Perkawinan Perempuan dengan Keris di Desa Adat Kapal (Latar Belakang,
Proses dan Impikasi Yuridisnya) yang disusun Kadek Dwi Wirasanjaya, I Putu
Sarjana, I Putu Sastra Wibawa dari Fakultas Hukum, Universitas Hindu Indonesia
menuliskan kawin dengan sebilah keris sudah ada sejak dahulu hingga masih
terjadi sampai saat ini. 

Dalam perspektif agama Hindu serta hukum adat di Bali,
seorang perempuan melakukan kawin dengan sebilah keris dikarenakan perempuan
tersebut hamil namun tidak ada laki-laki yang mengaku. Hal ini terjadi karena
adanya janji dari laki-laki bahwa ketika hamil akan dikawinkan namun laki-laki
tersebut tidak menepati janjinya. Pada akhirnya keputusan untuk mengawinkan perempuan
yang tengah hamil dengan sebilah keris tersebut dilakukan agar tidak terjadinya
gangguan kosmis yang dialami oleh desa adat. Karena keris dianggap sebagai
simbol laki-laki atau purusa.

Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur perkawinan seorang manusia dengan
sebilah keris, sehingga perkawinan ini dikategorikan tidak sah. Apabila dilihat
dari sudut pandang Hak Asasi Manusia, maka perkawinan ini hanya ingin melindungi
hak asasi si korban dalam hal ini perempuan dan anak yang masih di dalam kandungannya
untuk mendapatkan pengakuan serta status berdasarkan agama Hindu dan juga hukum
adat Bali. Hingga kini perkawinan dengan keris masih terjadi di beberapa desa
di Bali.

Sementara
itu, rohaniawan Bali, Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda yang dilansir dari
Bali Express mengakui, hingga kini beberapa desa di Bali, seperti di Tabanan
menggunakan keris sebagai pengganti kehadiran seorang laki-laki.  Hal
tersebut memang sudah  diatur dalam sejumlah awig-awig dalam paruman desa.

Ida
mengatakan, permasalahan yang melatarbelakangi adanya kebijkan itu, biasanya
karena hamil di luar nikah atau calon mempelai prianya meninggal sebelum
pernikahan. Tentunya diawali dengan paruman dari desa maupun masyarakat
setempat.

Ida
mengatakan perkawinan dengan keris sudah ada sejak zaman kerajaan yang ada di
Bali. Ketika itu, pernikahan beda kasta sangatlah dilarang keras. Maka, ketika
sang raja berkeinginan meminang seorang gadis yang kastanya lebih rendah, untuk
dijadikan selir maupun istri, dibuatlah kebijaksanaan menggantikan posisi sang
raja dengan kerisnya sebagai simbol dalam prosesi pernikahannya. 
Dalam
tatanan Hindu di Bali, keris merupakan simbolisasi kejantanan laki-laki atau purusa.
Dari situ cara tersebut banyak diadaptasi oleh krama Bali saat ini.

Secara
filosofi keris juga dipandang sebagai perlambang dari nilai ajaran kehidupan
agama Hindu. Selain itu, keris juga merupakan lambang dari kekuatan dan simbol
kekuasaan. Namun, ketika dikaji dari aspek Theologi, Mpu Jaya Acharya Nanda
mengungkapkan hal tersebut keliru. Karena dalam ajaran agama Hindu, ada tiga
jenis perkawinan yaitu Senggama atau perkawinan antara tubuh duniawi, semana atau
mengawinkan pikiran (menyatukan pikiran, menjadikannya satu tujuan yang sama),
dan Samyoga, yaitu mengawinkan jiwa mereka.

Bahkan
menurut Ida, jika dikaji dari segi hak asasi manusia, tentu itu sudah
melanggar. Banyak solusi yang bisa dilakukan untuk mengganti hal itu seperti
ngankening atau mencari laki-laki yang mau dan mampu mempertanggungjawabkan
wanita dan anak tersebut. Dan hal ini menurut Ida akan lebih manusiawi bagi
pihak wanita maupun calon bayinya. (TB)

 

       

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!