Viral Perempuan Bali Menikah Tanpa Mempelai Pria yang Diajak Nyantana, Apa Itu Perkawinan Nyentana?

Author:
Kolase Telusur Bali

Media
sosial heboh dengan video seorang perempuan cantik Bali yang menikah tanpa mempelai
pria. Dalam video berdurasi 20 detik dikatahui jika awalnya pengantin pria
sudah mau nyentana dengan pengantin perempuan. Bahkan dari awal pacaran hingga
akhirnya mau menikah si lelaki tetap berkomitmen untuk nyentana. Akan tetapi setelah
H-2 mau acara tiba-tiba keluarganya datang untuk menyampaikan bahwa si lelaki
tidak mau nyentana.

Pihak
perempuan pun tidak tahu, kenapa si lelaki tiba-tiba batal nyentana. Karena hal
tersebut, pengantin perempuan terpaksa menikah tanpa pengantin pria demi
keluarga. Ia bahkan sekaligus menjadi purusa dan pradana atau laki-laki dan
perempuan.

Lalu
apakah itu Nyentana?

Dalam
budaya Bali perkawinan memiliki arti penting (disakralkan) untuk melanjutkan
keturunan dan mendapatkan peranan sosial dalam masyarakat dan pada dasarnya
setiap individu perlu hidup bersama sebagai mahluk soasial dalam bermasyarakat
untuk mencapai tujuan tertentu.

Dikutif
dari artikel Kedudukan Duda Mulih Truna Pada Perkawinan Nyentana di Banjar
Pujung Kaja Desa Sebatu yang disusun Ni Luh Made Noviantini, I Ketut Sukadana,
Diah Gayatri Sudibya dari Fakultas Hukum Universitas Warmadewa, Denpasar mengatakan
di Bali ada beberapa macam jenis perkawinan salah satunya adalah perkawinan nyentana.

Masyarakat
Bali yang menerapkan perkawina nyentana adalah suatu keluarga yang tidak
memiliki keturunan anak laki-laki sebagai ahli waris di rumahnya. Maka dari itu
keluarga tersebut harus mengangkat sentana, yaitu dengan meminang seorang anak
laki-laki dan upacara perkawinannya dilakukan di rumah istrinya.

Dalam
perkawinan nyentana laki-laki yang sudah nyentana sudah kehilangan hak
mewarisnya di rumah asalnya. Jadi, jika terjadi perceraian, seorang laki-laki
tersebut disebut sebagai duda mulih truna dimana duda mulih truna ini tidak
berhak lagi mewaris di rumah asalnya karena sudah dianggap ninggal kedaton (meninggalkan
semua hak dan kewajibannya) di rumah asalnya. Laki-laki akan berubah status
hukum di keluarga istrinya. Laki-laki menjadi status pradana (perempuan) dan
perempuan menjadi purusa.

Dalam
hal perkawinan nyentana ini berarti seorang anak laki-laki yang melakukan
perkawinannya nyentana sudah dianggap ninggal kedaton (meninggalkan hak dan
kewajiban) maka dari itu laki-laki nyentana dianggap sudah putus hubungannya
dengan keluarga asalnya hal ini diperkuat oleh awig- awig tentang kewajiban
seseorang yang melakukan perkawinan nyentana.

Sementara
itu dalam artikel Sistem Perkawinan Nyentana dalam Kajian Hukum Adat dan Pengaruhnya
terhadap Akomodasi Kebijakan Berbasis Gender yang disusun Ni Ketut
Sari Adnyani Jurusan PPKn, FHIS, Undiksha, Singaraja mengatakan pada dasarnya
bentuk perkawinan matriarki pada masyarakat Hindu Bali sangat
dipengaruhi  oleh tradisi adat dan hukum agama Hindu sehingga
keberlangsungannya juga berdasarkan kesepakatan bersama dari masyarakat
desa adat setempat.

Nyentana
ini juga disebut dengan nyeburin. Nyentana/nyeburin dikenal pula dengan
sebutan pekidih atau diminta, artinya si laki-laki tersebut diminta menjadi
menantu dan meneruskan keturunan pihak wanita. Konsekuensinya, anak
yang lahir dari perkawinan nyentana itu akan menjadi pewaris dari garis keturunan
ibunya. Jadi anggota yang meneruskan klan bapak mertua. 

Sementara
itu dalam website www.hukumonline.com/
disebutkan jika adat Bali pada umumnya adalah patrilineal. Hanya anak laki-laki
yang dapat meneruskan peninggalan bapaknya dan dapat melanjutkan
kedudukannya sebagai kepala keluarga. Jika tidak ada anak laki-laki, maka
dapatlah seorang anak laki-laki diambil anak, baik oleh si bapak maupun oleh
jandanya atas nama dia jika si bapak meninggal.

Sebagai
gantinya dapatlah si bapak mengangkat anaknya perempuan menjadi sentana. Anak
perempuan itu diberikan hak-hak dan kewajiban sebagaimana seorang anak
laki-laki tertua. Motif utama nyentana adalah kekhawatiran tidak ada
pelanjut keturunan. Ini berkaitan dengan tingginya penghargaan budaya Bali pada
basis patrilineal. Setidaknya, memuat yurisprudensi Mahkamah Agung yang
mengukuhkan sistem patrilineal itu.

Putusan
MA No. 200K/Sip/1958 menegaskan bahwa menurut hukum adat Bali, dalam hal
seorang ayah mempunyai seorang anak laki-laki, maka anak laki-laki inilah
satu-satunya ahli waris. Dalam perkawinan nyentana, seorang laki-laki ikut
dalam keluarga isterinya, tinggal di rumah isteri, dan semua keturunannya
mengambil garis keturunan istri.

Van
Dijk menulis bahwa laki-laki itu dilepaskan dari golongan sanaknya dan
dipindahkan ke dalam golongan sanak si perempuan. Konsekuensinya, anak yang
lahir dari perkawinan nyentana itu akan menjadi pewaris dari garis keturunan
ibunya. (TB)

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!