Belakangan
ini, banyak orang yang membicarakan tentang kerauhan. Banyak komentar yang
muncul tentang kerauhan ini, baik yang positif maupun ada yang memerikan cap
negatif. Selain itu, beberapa kejadian kerauhan yang dalam hal ini berupa
ngurek berujung pada tertusuk keris. Lalu sebenarnya apa dan bagaimanakah
kerauhan tersebut?
ini, banyak orang yang membicarakan tentang kerauhan. Banyak komentar yang
muncul tentang kerauhan ini, baik yang positif maupun ada yang memerikan cap
negatif. Selain itu, beberapa kejadian kerauhan yang dalam hal ini berupa
ngurek berujung pada tertusuk keris. Lalu sebenarnya apa dan bagaimanakah
kerauhan tersebut?
Kerauhan
berasal dari bahasa Bali dari kata rauh yang artinya datang. Namun antara
kerauhan dan kesurupan tersebut berbeda. Dosen sekaligus praktisi, Komang Indra
Wirawan atau Komang Gases menyebut kerauhan berasal dari kata ‘rauh’ yang
artinya mendatangkan dalam ranah sakral.
berasal dari bahasa Bali dari kata rauh yang artinya datang. Namun antara
kerauhan dan kesurupan tersebut berbeda. Dosen sekaligus praktisi, Komang Indra
Wirawan atau Komang Gases menyebut kerauhan berasal dari kata ‘rauh’ yang
artinya mendatangkan dalam ranah sakral.
Kerauhan
dalam ranah sakral sudah seharusnya ada upakara berupa banten dan kejadiannya
terjadi di pura. Menurutnya, seseorang yang kerauhan dalam kondisi sadar akan
tetapi tak bisa mengendalikan kesadarannya. Sementara kesurupan diakibatkan
karena otak kanan dan kiri tidak sadar penuh.
dalam ranah sakral sudah seharusnya ada upakara berupa banten dan kejadiannya
terjadi di pura. Menurutnya, seseorang yang kerauhan dalam kondisi sadar akan
tetapi tak bisa mengendalikan kesadarannya. Sementara kesurupan diakibatkan
karena otak kanan dan kiri tidak sadar penuh.
Sementara
itu, kerangsukan menurut Gases diakibatkan oleh kesengajaan memasukkan energi
negatif baik berupa roh ke dalam tubuh. Dan kebanyakan sifatnya negatif seperti
bebainan. Selain itu kerangsukan lebih banyak bermain di dunia profan dan tidak
jauh beda dengan kesurupan. “Bedanya dengan kerangsukan, kesurupan hanya
lebih didominasi luapan emosi,” katanya.
itu, kerangsukan menurut Gases diakibatkan oleh kesengajaan memasukkan energi
negatif baik berupa roh ke dalam tubuh. Dan kebanyakan sifatnya negatif seperti
bebainan. Selain itu kerangsukan lebih banyak bermain di dunia profan dan tidak
jauh beda dengan kesurupan. “Bedanya dengan kerangsukan, kesurupan hanya
lebih didominasi luapan emosi,” katanya.
Terkait
kerauhan ia menyebutkan ada beberapa jenis. Kerauhan Dewa terjadi apabila ada
yadnya yang sifatnya Dewani dan menunjukkan sifat halus, seperti perkataannya
halus, etika sesana mengikuti dewa, dia adalah kerauhan dewa. Jika kerauhan prasanak
atau prerencang Ida Bhatara pasti agak sedikit ekstrim seperti mengambil keris,
metebekan, ngambil api seperti Sang Hyang Jaran. Ada pula kerauhan Bhuta, yang
ditunjukkan dengan memakan ayam, atau minum arak sebanyak-banyaknya.
kerauhan ia menyebutkan ada beberapa jenis. Kerauhan Dewa terjadi apabila ada
yadnya yang sifatnya Dewani dan menunjukkan sifat halus, seperti perkataannya
halus, etika sesana mengikuti dewa, dia adalah kerauhan dewa. Jika kerauhan prasanak
atau prerencang Ida Bhatara pasti agak sedikit ekstrim seperti mengambil keris,
metebekan, ngambil api seperti Sang Hyang Jaran. Ada pula kerauhan Bhuta, yang
ditunjukkan dengan memakan ayam, atau minum arak sebanyak-banyaknya.
Sementara
itu, Dosen Filsafat dan Teologi IHDN Denpasar I Made Adi Surya Pradnya
dalam Kerauhan dalam Ritual Agama Hindu Di Bali (Perspektif Teologi Hindu)
menuliskan, waktu kerauhan dalam ritual agama Hindu Bali terbagi menjadi dua
yakni waktu umum dan khusus. Secara umum waktu Kerauhan dapat dibagi menjadi
3 bagian yaitu pada waktu Nedunang Ida Bhattara, Nglungang Ida
Bhattara dan Ngwaliang Ida Bhattara. Sedangkan waktu khusus juga
dibagi tiga yaitu pada waktu kurangnya sarana upacara, pada waktu puncak
upacara dan ketika beliau memberikan nasehat atau bawos.
itu, Dosen Filsafat dan Teologi IHDN Denpasar I Made Adi Surya Pradnya
dalam Kerauhan dalam Ritual Agama Hindu Di Bali (Perspektif Teologi Hindu)
menuliskan, waktu kerauhan dalam ritual agama Hindu Bali terbagi menjadi dua
yakni waktu umum dan khusus. Secara umum waktu Kerauhan dapat dibagi menjadi
3 bagian yaitu pada waktu Nedunang Ida Bhattara, Nglungang Ida
Bhattara dan Ngwaliang Ida Bhattara. Sedangkan waktu khusus juga
dibagi tiga yaitu pada waktu kurangnya sarana upacara, pada waktu puncak
upacara dan ketika beliau memberikan nasehat atau bawos.
Sementara
itu, jenis-jenis kerauhan dalam ritual dikategorikan menjadi empat yakni merangkak
(tubuh menyentuh tanah), ngurek, menari-nari dan diam. “Pada
fenomena Kerauhan dengan gerakan merangkak yang merasuki
tubuh Tapakan Kerauhan adalah ancangan (kendaraan
suci) Ida Bhattara/Bhattari, ketika gerakan ngurek yang merasuki
adalah pepatih Ida Bhattara/Bhattari, yang gerakanya menari-nari
adalah widyadara/ widyadari sedangkan yang diam adalah Ida
Bhattara/Bhattari sendiri,” tulis Pradnyana.
itu, jenis-jenis kerauhan dalam ritual dikategorikan menjadi empat yakni merangkak
(tubuh menyentuh tanah), ngurek, menari-nari dan diam. “Pada
fenomena Kerauhan dengan gerakan merangkak yang merasuki
tubuh Tapakan Kerauhan adalah ancangan (kendaraan
suci) Ida Bhattara/Bhattari, ketika gerakan ngurek yang merasuki
adalah pepatih Ida Bhattara/Bhattari, yang gerakanya menari-nari
adalah widyadara/ widyadari sedangkan yang diam adalah Ida
Bhattara/Bhattari sendiri,” tulis Pradnyana.
Lebih
lanjut ia menuliskan, Tapakan
Kerauhan yang ngurek menggunakan senjata yang telah
diupacarai dengan upacara pemasupatian memiliki beberapa pantangan yaitu tidak
diperkenankan makan daging sapi, karena apabila dilanggar senjata itu akan
menembus badanya. Begitu pula senjata yang telah diupacarai itu tidak
diperkenankan membunuh apapun termasuk binatang, sebab sapi merupakan binatang
suci yang sangat dihormati umat Hindu dan dipercaya sebagai wahana Siwa.
lanjut ia menuliskan, Tapakan
Kerauhan yang ngurek menggunakan senjata yang telah
diupacarai dengan upacara pemasupatian memiliki beberapa pantangan yaitu tidak
diperkenankan makan daging sapi, karena apabila dilanggar senjata itu akan
menembus badanya. Begitu pula senjata yang telah diupacarai itu tidak
diperkenankan membunuh apapun termasuk binatang, sebab sapi merupakan binatang
suci yang sangat dihormati umat Hindu dan dipercaya sebagai wahana Siwa.
Panca
nada yang terdiri atas suara gamelan, kul-kul, genta, kidung dan mantra
juga mempengaruhi kerauhan. Selain karena panca nada proses kerauhan juga
diakibatkan karena reaksi mental. Hal ini terjadi apabila orang kerauhan dalam
keadaan mental atau dalam keadaan dirinya akan tahu bahwa ia akan kerauhan.
nada yang terdiri atas suara gamelan, kul-kul, genta, kidung dan mantra
juga mempengaruhi kerauhan. Selain karena panca nada proses kerauhan juga
diakibatkan karena reaksi mental. Hal ini terjadi apabila orang kerauhan dalam
keadaan mental atau dalam keadaan dirinya akan tahu bahwa ia akan kerauhan.
Ida
Pandita Mpu Jaya Prema Ananda mengatakan bagi masyarakat di desa yang tetap
mempertahankan acara “nuwur bethara” adanya kerauhan ini justru
ditunggu-tunggu. Menurut Ida, jika dilihat dari siapa sutri atau tapakan yang
dijadikan perantara kerauhan, hal itu tak ada yang salah. “Mereka adalah
orang-orang yang terjaga kesuciannya sehari-hari. Mereka bukan orang stress.
Lagi pula dialog yang muncul saat kerauhan itu normal saja, penuh
nuansa kedamaian,” kata Ida.
Pandita Mpu Jaya Prema Ananda mengatakan bagi masyarakat di desa yang tetap
mempertahankan acara “nuwur bethara” adanya kerauhan ini justru
ditunggu-tunggu. Menurut Ida, jika dilihat dari siapa sutri atau tapakan yang
dijadikan perantara kerauhan, hal itu tak ada yang salah. “Mereka adalah
orang-orang yang terjaga kesuciannya sehari-hari. Mereka bukan orang stress.
Lagi pula dialog yang muncul saat kerauhan itu normal saja, penuh
nuansa kedamaian,” kata Ida.
Ida
Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda yang dikutip dari Tribun Bali mengatakan, dalam Tatwa Siwa Purana ada kutipan, apabila ada orang yang
mengaku-ngaku Dewa atau manifestasi Tuhan yang memasuki orang itu (kerauhan),
itu mesti harus diuji coba terlebih dahulu dengan api pembakaran tempurung
kelapa. “Kalau ternyata tidak terbakar oleh api, berarti betul yang
bersangkutan memang kelinggihin atau dimasuki roh suci. Tapi kalau
ternyata terbakar, itu berarti kerauhan bohongan dan menyebabkan pura tersebut
menjadi leteh,” kata Ida.
Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda yang dikutip dari Tribun Bali mengatakan, dalam Tatwa Siwa Purana ada kutipan, apabila ada orang yang
mengaku-ngaku Dewa atau manifestasi Tuhan yang memasuki orang itu (kerauhan),
itu mesti harus diuji coba terlebih dahulu dengan api pembakaran tempurung
kelapa. “Kalau ternyata tidak terbakar oleh api, berarti betul yang
bersangkutan memang kelinggihin atau dimasuki roh suci. Tapi kalau
ternyata terbakar, itu berarti kerauhan bohongan dan menyebabkan pura tersebut
menjadi leteh,” kata Ida.
Ida pun mengatakan ciri-ciri orang kerauhan adalah tidak terbakar oleh api,
tidak basah oleh air, dan masyarakat yang ada di areal tempat kerauhan tersebut
merasakan bulu kuduk merinding. Dalam lontar Krama Pura juga disebutkan, orang
kerauhan atau disusupi oleh kemaha kuasaan Tuhan salah satu tandanya adalah
apabila tubuhnya dibakar, orang yang kesurupan tak akan terbakar oleh api.
Ahli
hipnoterapi, I Gede Wayan Supanca Ariyasa mengatakan fenomena kerauhan bisa
dijelaskan dengan metode hipnotis dan masuk dalam kategori metafisika. Berdasarkan
penelitian peneliti Jepang yang meneliti kerauhan di Bali, diperoleh
hasil orang kerauhan di Bali disebabkan gelombang otak alpha dan
theta meningkat. “Kalau gelombang tersebut meningkat, kemampuan bawah sadarnya
terbuka sehingga menggunakan memori bawah sadar,” katanya.
hipnoterapi, I Gede Wayan Supanca Ariyasa mengatakan fenomena kerauhan bisa
dijelaskan dengan metode hipnotis dan masuk dalam kategori metafisika. Berdasarkan
penelitian peneliti Jepang yang meneliti kerauhan di Bali, diperoleh
hasil orang kerauhan di Bali disebabkan gelombang otak alpha dan
theta meningkat. “Kalau gelombang tersebut meningkat, kemampuan bawah sadarnya
terbuka sehingga menggunakan memori bawah sadar,” katanya.
Kerauhan juga
diaktifkan oleh suara gambelan, karena ada sinyal tertentu sehingga
mempengaruhi turunnya gelombang otak. Sementara itu, terkait kesurupan, penelitian
dari seorang peneliti Singapura yang meneliti 58 pasien menyebutkan kebanyakan orang
yang kesurupan karena ada masalah agama dan budaya. “Terlalu yakin
kalau dirinya ngiring pasti kesurupan, bagi yang tidak yakin jangan
berharap kesurupan,” katanya.
diaktifkan oleh suara gambelan, karena ada sinyal tertentu sehingga
mempengaruhi turunnya gelombang otak. Sementara itu, terkait kesurupan, penelitian
dari seorang peneliti Singapura yang meneliti 58 pasien menyebutkan kebanyakan orang
yang kesurupan karena ada masalah agama dan budaya. “Terlalu yakin
kalau dirinya ngiring pasti kesurupan, bagi yang tidak yakin jangan
berharap kesurupan,” katanya.
Ciri-ciri kesurupan menurutnya
biasanya suka bengong karena gelombang otak turun, kondisi otak tidak fit. Perempuan
yang mengalami menstruasi disebut gampang kesurupan karena emosinya
tidak stabil, dan yang pernah kesurupan akan lebih
gampang kesurupan.
biasanya suka bengong karena gelombang otak turun, kondisi otak tidak fit. Perempuan
yang mengalami menstruasi disebut gampang kesurupan karena emosinya
tidak stabil, dan yang pernah kesurupan akan lebih
gampang kesurupan.
Tanda-tanda
akan kesurupan biasanya kepala agak berat, badan dan lutut lemas,
penglihatan kabur, badan ringan, serta ngantuk keras sekali. Adapun penyebabnya
menurut Ariyasa yaitu lemahnya kesadaran, stress, sehingga suka melamun dan
berteriak apapun yang ia percayai, perasaan bersalah, penyesalan yang tinggi,
kebiasaan, serta ketakutan. “Cara menangani kesurupan yaitu tidak
boleh kasar, pijit lembut bagian tubuhnya atau di antara telunjuk dengan
jempol, kalau tetap kesurupan, pandang serius dengan syaratnya tegas.
Kalau kesurupan masal singkirkan dari orang
yang kesurupan tersebut karena bisa jadi ikut kerauhan,” imbuh
Ariyasa. (TB)
akan kesurupan biasanya kepala agak berat, badan dan lutut lemas,
penglihatan kabur, badan ringan, serta ngantuk keras sekali. Adapun penyebabnya
menurut Ariyasa yaitu lemahnya kesadaran, stress, sehingga suka melamun dan
berteriak apapun yang ia percayai, perasaan bersalah, penyesalan yang tinggi,
kebiasaan, serta ketakutan. “Cara menangani kesurupan yaitu tidak
boleh kasar, pijit lembut bagian tubuhnya atau di antara telunjuk dengan
jempol, kalau tetap kesurupan, pandang serius dengan syaratnya tegas.
Kalau kesurupan masal singkirkan dari orang
yang kesurupan tersebut karena bisa jadi ikut kerauhan,” imbuh
Ariyasa. (TB)
Sangat bermanfaat…menambah wawasan