Kisah Dibalik Pelaksanaan Sapuh Leger bagi Mereka yang Lahir Wuku Wayang

Author:
Ilustrasi Ngewayang

Dikisahkan
dua orang putra Bhatara Siwa atau Bhatara Guru memiliki otonan yang sama yaitu
sama-sama lahir pada Wuku Wayang. Mereka berdua bernama Bhatara Kala dan Sang
Hyang Rare Kumara. Jauh sebelum Rare Kumara lahir, Dewa Siwa pernah memberikan
ijin kepada Bhatara Kala untuk menadah atau memangsa makhluk yang memiliki
otonan sama dengannya.
Oleh
karena adiknya sendiri memililiki otonan yang sama, Bhatara Kala meminta ijin
kepada Dewa Siwa untuk memangsa Rare Kumara. Namun, Kala diminta menunggu agar
adiknya tersebut besar. Karena Siwa takut putranya dimangsa, maka dikutuklah
Rare Kumara sehingga tak pernah dewasa.  
Setelah
dirasanya adiknya sudah dewasa, Kala menemui Rare Kumara dan bermaksud
memangsanya. Namun atas perintah Dewa Siwa, Rare Kumara diminta untuk berlari
menuju ke Kerajaan Kertanegara.
Mengerahui
adiknya lari, Kala mengejarnya. Ia mencium tapak kaki Rare Kumara dan
mengikutinya dan dilihatlah sang adik berlari. Setelah bersembunyi di beberapa
tempat yaitu rimbun bambu buluh, di balik kayu bakar, dan tungku perapian, Rare
Kumara pun sampai di Kertanegara.
Kertanegara
digempur oleh Bhatara Kala, dan Rare Kumara berlari hingga saat malam ia sampai
di tempat pertunjukan wayang. Oleh dalang wayang, Rare Kumara diminta
bersembunyi di resonator gamelan gender.
Saking
laparnya, Kala datang ke tempat pertunjukan wayang dan memakan sesajinya.
Melihat hal itu, dalang menegur Kala agar mengembalikan sesaji yang telah
dimakannya. Karena terpojok, Kala pun berhutang pada dalang dan kepada dalang
itu, ia berikan mantra magis. Mantra itu membuat dalang bisa membebaskan semua
makhluk hidup dari kekotoran.
Dalang
kemudian menghaturkan sesaji sebagai pengganti anak yang dilahirkan Tumpek
Wayang, sehingga selamatlah Rare Kumara. Rare Kumara pun dibawa kembali ke
kahyangan oleh Dewa Siwa.
Begitulah
kisah ringkas yang melatarbelakangi dilaksanakannya Sapuh Leger pada anak yang
lahir wuku Wayang. Kisah ini diambil dari Lontar Kidung Sapuh Leger.
I
Dewa Ketut Wicaksana dalam Wayang Sapuh Leger menyebut istilah sapuh leger
berasal dari kata sapuh dan leger. Sapuh berarti alat untuk membersihkan,
sementara leger artinya tercemar atau kotor. “Secara harfiah sapuh leger
artinya pembersihan atau penyucian dari keadaan yang tercemar atau kotor,”
tulis Wicaksana pada halaman 33.
Sedangkan
wayang yang dipentaskan dalam sapuh leger ini disebut wayang sapuh leger.
Sehingga wayang sapuh leger menurut Wicaksana merupakan sebuah drama ritual
dengan sarana pertunjukan wayang kulit yang bertujuan untuk membersihkan atau
menyucikan diri seseorang akibat tercemar atau kotor secara rohani.
Di
Bali hingga kini diyakini bahwa anak yang lahir pada wuku Wayang patutlah
melakukan upacara lukatan atau pembersihan yang disebut sapuh leger. Hal ini
dimaksudkan agar terhindar dari kejaran Kala dan tak ditimpa malapetaka.
Menurut
Wicaksana, wuku Wayang dimaknai sebagai waktu menjelang peralihan atau transisi
sehingga dianggap rawan dan berbahaya. Secara mistis pada saat ini
dipersonifikasikan sebagai seorang raksasa tinggi, besar, menyeramkan bernama
Bhatara Kala.
Adapun
sarana panglukatan yang digunakan saat melakukan sapuh leger ini yaitu bejana
(periuk tanah) berisi air bening ditopang dengan wanci, air cendana, bija, alat
pedupaan dan bunga berwarna 11 macam, senyiru segehan gede lengkap dengan
tetabuhan tuak, arak, dan beren. Sedangkan jenis-jenis wayang yang digunakan
sebagai sarana panglukatan yaitu Twalen, Sang Hyang Siwa, Sang Hyang Acintya,
dan Kekayonan. 
Wicaksana
menerangkan tentang jalannya upacara lukatan, yang dimulai dari Sang Dalang
turun dari tempatnya ngwayang menuju natar di mana anak atau orang yang dilukat
sudah menanti. Orang tersebut duduk menghadap utara atau ke timur beralaskan
alat bajak untuk pria dan alat pertenunan untuk wanita serta segenggam padi
utuh.
Dalang
berdiri berhadapan membawa dupa, setelah dimantrai lalu ditancapkan ke tanah
sebagai saksi. Selanjutnya mengambil air bersih untuk membersihkan kedua tangan
yang akan dilukat. Toya panglukatan diambil oleh dalang ditaruh di atas
ubun-ubun anak yang akan diruwat lalu dimantrai.
Dalang
mengambil padma busung untuk memercikkan toya panglukatan tersebut. Kemudian
toya panglukatan dituangkan kepada anak yang dilukat untuk diminum, dan
diraupkan ke muka sebanyak tiga kali. Setelah itu baru toya panglukatan
disiramkan ke tubuh sang anak.
Anak
yang dilukat bersama kedua orang tuanya melakukan persembahyangan kehadapan
Sanggah Surya dan kehadapan wayang. Acara terakhir yaitu natab banten otonan.
Sementara
itu, Dosen Bahasa Bali Unud, Putu Eka Guna Yasa menyebut, karena wuku kelahiran
Rare Kumara sama dengan Bhatara Kala yaitu wuku Wayang, maka Rare Kumara
dianggap mamada-mada sehingga Bhatara Kala memiliki hak memakan adiknya.
Guna
menyebut, dalang merupakan Siwa yang ada di dunia, karena dalam kakawin Arjuna
Wiwaha ada ungkapan seseorang yang suci hanya berbataskan kelir dengan Bhatara
Siwa. “Ahletan kelir sira saking sang hyang jagat karana. Kalau kelir yang
dimaksud kita angggap sebagai kelir wayang, maka Bhatara Siwa yang dianggap
berbatasan dengan kita kan dalang, dan tirta sapuh leger dari dalang juga
merupakan tirta Siwa,” kata Guna.
Akademisi
yang juga seorang praktisi Komang Indrawan atau Komang Gases menyebutkan peruwatan
wayang sapuh leger yang dilakukan bagi mereka yang lahir wuku Wayang
memiliki tujuan bukan hanya membersihkan badan secara jasmani, tapi juga membersihkan
bhuana alit dan  bhuana agung.
Menurutnya
mebayuh, melukat, mesudamala hanya pertanda untuk mengingatkan kepada diri agar
bisa menjaga perkataan, perbuatan, maupun pikiran. “Tujuan sapuh leger kan
bisa juga kita lihat dari katanya yaitu sapuh yang berarti
membersihkan dan leger itu leget atau kotor. Sehingga sama artinya
dengan membersihkan sesuatu yang kotor.” katanya.
Menurutnya,
mereka yang lahir saat wuku Wayang atupun melik bukanlah orang yang cacat atau
salah lahir, tapi ia orang yang lahir secara spesial di wuku itu. Karena pada
saat lahir di wuku Wayang Ida Bhatara Siwa mepica (memberikan) penganugrahan
kepada Bhatara Kala secara moitologi. (TB)

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!