Bali tak hanya dikenal dengan keindahan alam dan adat istiadatnya, tapi juga dikenal dengan tajennya atau sabung ayam.
Lebih dari sekadar pertarungan ayam, tajen merupakan ritual sakral yang telah hidup ratusan tahun dan masih bertahan di tengah tantangan zaman. Namun tajen juga menjadi ladang perjudian.
Asal Usul Tajen: Dari Tabuh Rah ke Tradisi Turun-Temurun
Tajen sudah dikenal sejak masa kejayaan Majapahit, dan berkembang pesat di Bali sekitar abad ke-13. Akar dari tradisi ini berakar pada praktik keagamaan bernama Tabuh Rah, yang berarti “meneteskan darah.”
Dalam konteks upacara Hindu Bali, Tabuh Rah adalah bentuk pengorbanan untuk menjaga keseimbangan alam serta mengusir kekuatan negatif (Bhuta Kala).
Pelaksanaan Tabuh Rah biasanya dilakukan di wantilan atau halaman pura. Tiga ayam jantan dikorbankan dalam duel suci tanpa taruhan.
Darah yang mengalir dipercaya menyucikan tempat upacara dan menjadi media persembahan kepada kekuatan tak kasatmata.
Tiga Wajah Tajen: Religius, Terang, dan Branangan
Tajen di Bali memiliki beragam bentuk berdasarkan konteks pelaksanaannya:
- Tabuh Rah – Tajen murni untuk kepentingan upacara. Dilaksanakan tanpa perjudian dan sepenuhnya bersifat sakral.
- Tajen Terang – Diadakan secara terbuka dengan izin, dan biasanya menjadi ajang penggalangan dana pembangunan adat atau pura. Pengelolaannya diawasi aparat desa dan disesuaikan dengan kearifan lokal.
- Tajen Branangan – Merupakan tajen ilegal yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Mengandalkan taruhan tinggi dan sering dikaitkan dengan praktik perjudian liar.
Makna Filosofis: Lebih dari Sekadar Adu Ayam
Dalam pandangan masyarakat Bali, ayam jantan dalam tajen bukan hanya hewan aduan, tetapi simbol keberanian, pengorbanan, dan keseimbangan kosmis. Pertarungan ayam mencerminkan perjuangan manusia melawan energi destruktif yang mengganggu harmoni dunia.
Tidak heran, tajen—terutama Tabuh Rah—masih menjadi bagian penting dalam upacara-upacara besar seperti Ngaben, Piodalan, hingga Bhuta Yadnya.
Antara Warisan dan Kontroversi
Tajen bukan tanpa kontroversi. Pemerintah Indonesia pernah melarang sabung ayam secara nasional pada tahun 1981 karena dianggap sebagai bentuk perjudian.
Namun, pelaksanaan tajen dalam konteks keagamaan tetap diperbolehkan. Di Bali, hal ini dipahami dengan baik: tajen suci boleh, tajen judi dilarang.
Kini, sebagian besar praktik tajen difokuskan kembali ke nilai adat dan religi. Upaya ini dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan serta menjaga warisan budaya tetap relevan dan bermartabat. Meski begitu masih juga digunakan taruhan secara sembunyi-sembunyi.
Penutup: Melestarikan dengan Bijak
Tajen di Bali adalah cermin filosofi lokal yang dalam. Ia hidup di antara nilai sakral, tradisi sosial, dan realitas hukum. Ketika dilakukan dalam konteks yang tepat, tajen tidak hanya menyatukan masyarakat tetapi juga menyampaikan pesan spiritual yang kuat: bahwa hidup selalu berada dalam pertarungan antara keseimbangan dan kekacauan, dan hanya dengan pengorbanan dan keharmonisan, keseimbangan itu bisa dijaga. (TB)