Setelah Hari Saraswati dan Banyu Pinaruh, umat Hindu di Bali kembali menjalani rangkaian penting dalam kalender pawukon, yakni Soma Ribek. Perayaan ini jatuh setiap Soma Pon Wuku Sinta, atau Senin penuh anugerah, yang berlangsung setiap 210 hari sekali.
Bagi masyarakat Hindu, Soma Ribek bukan sekadar tradisi turun-temurun, melainkan bentuk penghormatan terhadap pangan—khususnya beras—sebagai sumber kehidupan.
Secara sederhana, kata Soma berarti Senin, sedangkan Ribek dimaknai sebagai penuh atau berlimpah. Karena itu, Soma Ribek dipandang sebagai hari penuh karunia.
Dalam kepercayaan Hindu Bali, perhitungan Soma Pon Wuku Sinta juga melambangkan tiga unsur kehidupan: air, udara, dan api. Ketiganya diyakini sebagai “amerta” atau karunia utama yang menopang hidup semua makhluk.
Ritual utama pada hari Soma Ribek biasanya dilakukan di jineng (lumbung padi) atau tempat penyimpanan beras. Umat menghaturkan banten Soma Ribek yang berisi berbagai simbol kesejahteraan, mulai dari tape, tebu, jaja kukus putih-kuning, hingga tipat sari.
Bagi keluarga yang tidak memiliki jineng, upacara tetap bisa dilakukan di rumah, dengan meletakkan sesajen pada tempat penyimpanan beras. Semua persembahan itu ditujukan untuk menghormati Dewi Sri, yang dipandang sebagai sumber kesuburan dan kemakmuran.
Sama seperti hari raya suci lainnya, Soma Ribek juga memiliki sejumlah larangan yang dijalankan masyarakat. Beberapa di antaranya adalah:
- Tidak menumbuk padi atau menyosoh gabah.
- Tidak menjual beras maupun hasil pangan.
- Tidak memetik hasil kebun atau panen.
- Dilarang tidur siang, karena diyakini Sang Hyang Pramesti Guru tengah melakukan tapa brata.
Pantangan ini dimaknai sebagai bentuk penghormatan terhadap anugerah pangan yang telah diberikan oleh alam semesta.
Soma Ribek tidak hanya mengajarkan syukur, tetapi juga mengingatkan manusia untuk bijak menggunakan ilmu pengetahuan (Saraswati) demi menjaga keberlangsungan hidup. Setelah ilmu diraih, panganlah yang menopang kehidupan sehari-hari.
Melalui perayaan ini, umat Hindu Bali diingatkan untuk menjaga keseimbangan antara pikiran, ucapan, dan tindakan dengan tetap berpijak pada nilai-nilai kesucian alam dan pangan.
Di tengah derasnya arus modernisasi, Soma Ribek tetap bertahan sebagai tradisi luhur Bali. Ia menjadi simbol penghormatan terhadap beras, pangan, dan alam semesta. Lebih dari itu, Soma Ribek adalah pengingat bahwa kesejahteraan lahir dari rasa syukur dan keselarasan dengan alam. (TB)