Di balik lembah hijau dan perbukitan sejuk Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, berdiri sebuah desa tua yang menyimpan sejarah panjang masyarakat Bali kuno: Desa Sidatapa.
Desa ini tidak hanya dikenal sebagai salah satu desa Bali Aga yang masih eksis hingga kini, tetapi juga sebagai cermin keteguhan adat, spiritualitas, dan kearifan lokal yang terjaga lintas generasi.
Awal Mula: Gunung Sari dan Tapa Brata Leluhur
Asal-usul Desa Sidatapa tidak dapat dipisahkan dari kisah legenda para leluhur yang mendiami wilayah bernama Gunung Sari.
Sekitar abad ke-8 Saka (kurang lebih tahun 863 Masehi), tiga kelompok masyarakat Bali Aga—yakni golongan Pasek, Patih, dan Batur—menetap di tiga kawasan berbeda dalam wilayah itu.
Pasek mendiami Leked di barat, Patih di Dasa Kunyit bagian tengah, dan Batur di Sengkarung di timur.
Namun ketenteraman mereka terganggu oleh gangguan supranatural: semut mematikan menyerbu Leked, dan kekuatan gaib—berupa potongan tubuh serta suara binatang buas—menghantui Sengkarung.
Satu-satunya tempat yang aman adalah wilayah Patih. Dalam keresahan, ketiga kelompok tersebut melakukan tapa brata bersama di pusat wilayah Gunung Sari untuk memohon petunjuk kepada Sang Hyang Widhi.
Dari tapa suci itulah muncul sabda untuk menyatukan ketiga kelompok dalam satu desa baru yang didirikan di lokasi tapa.
Tempat tersebut kemudian dijadikan Pura Desa Bale Agung, dan desa yang lahir dari peristiwa sakral itu dinamai Gunung Sari Munggah Tapa.
Peneguhan Nama Sidatapa dan Sumpah Leluhur
Pada tahun 785 Saka, sebagai bentuk penghormatan atas keberhasilan tapa brata leluhur, nama desa diubah menjadi Sidetapa.
Kata sida berarti ‘berhasil’, dan tapa berarti ‘tapa brata’, menyimbolkan keberhasilan spiritual dalam membentuk peradaban baru yang damai dan bersatu.
Dalam proses pembentukan itu, para tetua adat mengikrarkan sebuah bisama (sumpah suci) yang menetapkan prinsip kesetaraan dan keadilan sosial: semua warga bersaudara, menggunakan satu bahasa, satu adat, dan tanpa perbedaan kasta. Barang siapa melanggar bisama, dipercaya akan menerima kutukan.
Versi lain dari legenda ini menyebutkan peran seorang pendeta suci bergelar Dewa Gede Penyarikan, yang datang membawa ajaran Dharma dan menata kembali tatanan desa setelah dilanda wabah. Ia pula yang dipercaya menetapkan nama Sidetapa secara spiritual.
Struktur Sosial dan Kearifan Adat
Sampai hari ini, masyarakat Sidatapa mempertahankan struktur sosial leluhur berdasarkan tiga garis keturunan: Pasek, Patih, dan Batur.
Desa ini terbagi ke dalam tiga banjar utama—Dajan Pura, Delod Pura, dan Lakah—yang merupakan perpanjangan sejarah dari kelompok awal yang menempati wilayah Gunung Sari.
Kepemimpinan desa berjalan dalam dua poros: sistem pemerintahan administratif yang dipimpin oleh perbekel, dan lembaga adat desa pekraman yang mengatur kehidupan religius dan tradisional.
Rumah Adat dan Arsitektur Unik
Salah satu kekayaan budaya Sidatapa adalah rumah adat kuno yang disebut Bale Gajah Tumpang Salu. Bangunan ini bercirikan empat tiang utama (gajah) dan tiga tingkat atap (tumpang salu), dibuat dari batu paras, tanah liat, dan bambu anyaman.
Uniknya, banyak rumah adat di desa ini dibangun membelakangi jalan—suatu bentuk perlawanan arsitektural terhadap masa-masa penindasan spiritual, seperti tekanan dari kerajaan Majapahit atau penguasa seperti Mayadenawa.
Penataan rumah ini bukan sekadar bentuk fisik, tetapi menyiratkan filosofi hidup masyarakat Sidatapa: menjaga keharmonisan dengan alam dan menyembunyikan spiritualitas dari pandangan dunia luar demi kelangsungan adat.
Tradisi Sakral dan Kesenian Desa
Kehidupan masyarakat Sidatapa tak lepas dari ritual dan seni yang mengakar dalam budaya Bali Aga. Setiap tiga tahun sekali, desa ini menggelar Upacara Agung Briyang, sebuah pembersihan besar-besaran untuk menetralkan pengaruh jahat di desa. Salah satu sesajinya adalah kijang hutan yang ditangkap secara ritual.
Tradisi lain adalah Upacara Sanghyang Gandrung, upacara pemanggilan kekuatan roh untuk melindungi desa, diiringi tarian suci yang menggabungkan unsur roh dedari (Sanghyang) dan kekuatan maskulin gaib (Gandrung). Kedua tarian ini melibatkan trans dan dipercaya mampu menyalurkan energi spiritual kepada warga.
Tak kalah penting adalah Tari Rejang, yang memiliki 14 varian di desa ini dan diwariskan kepada anak-anak sejak dini. Selain Rejang, ada pula tari Baris, Pendet, Jangkang, hingga tetabuhan sakral yang khusus digunakan dalam kondisi kerauhan.
Warisan yang Terjaga di Tengah Perubahan
Selain adat dan upacara, Sidatapa juga dikenal sebagai sentra kerajinan anyaman bambu. Hasil karya tangan masyarakatnya tidak hanya dipasarkan secara lokal, tapi juga telah menembus pasar internasional. Ini membuktikan bahwa tradisi tidak harus bertentangan dengan kemajuan, selama dijalankan dengan akar yang kuat.
Meski arus modernisasi terus mengalir, Desa Sidatapa tetap menjadi benteng nilai-nilai lama yang luhur. Ia bukan sekadar kawasan administratif, tetapi tapak jejak peradaban Bali kuno yang masih hidup dan berdenyut hingga hari ini. (TB)