The Octopus Queen Karya Seniman Ketut Putrayasa Berdiri di Atas Karang Nusa Penida

Author:
Share

Sebuah karya seni instalasi raksasa menjulang setinggi 25 meter berdiri di perbukitan karang Broken Beach, Nusa Penida. Karya berjudul The Octopus Queen ciptaan seniman I Ketut Putrayasa itu menjadi sorotan publik bukan hanya karena ukurannya yang gigantik, melainkan juga simbolisme yang dikandungnya: arca berhala modernitas.

Berbahan bambu dengan kerangka logam, instalasi ini menampilkan sosok perempuan bermahkota 21 tentakel gurita. Figur imajiner tersebut digambarkan tengah mempersembahkan bunga teratai, simbol siklus kehidupan. Wajahnya tenang, namun tentakelnya siap menjulur, menghadirkan kesan dualitas: pelindung sekaligus pengancam.

BACA JUGA  Sejarah Desa Suana Nusa Penida Klungkung, Dari Slendep hingga Song Wana

Penulis budaya dan pelukis Tatang B.Sp dalam tulisannya menyebut The Octopus Queen bukan sekadar karya visual, melainkan refleksi tentang paradoks modernitas. “Ia berdiri sebagai entitas pasca-auratik, tanpa sakralitas, hanya menjadi perayaan khas kehidupan pascamodern kita. Ia menjelma berhala baru: industri wisata dan kapitalisme global,” tulis Tatang.

Dengan metafora gurita—hewan yang dikenal cerdas, adaptif, dan berdaya lentur—karya ini dikaitkan dengan kekuatan kapitalisme global yang menggurita, menancapkan pengaruh ke berbagai aspek kehidupan, termasuk pariwisata Bali. Tatang menyinggung teori survival of the fittest yang bergeser menjadi survival the fastest: siapa yang paling cepat beradaptasi dan berinovasi, dialah yang bertahan.

BACA JUGA  Anggar Kasih di Bali, Rahinan Kasih yang Menyucikan Batin dan Alam, Lengkap Makna hingga Banten

Menurutnya, The Octopus Queen bukan sekadar patung monumental, melainkan penanda zaman. “Ia menghadirkan wajah paradoks Bali: di halaman depan diasuh industri wisata, di halaman belakang dijaga budaya. Keduanya terus bernegosiasi dalam proses menjadi Bali,” ujarnya.

Dari kejauhan, patung ini menyatu dengan kontur karang Nusa Penida, seakan menjadi lanskap baru di tengah eksotika laut. Namun di balik keelokan itu, Tatang melihat simbol sihir kapitalisme yang membelit. “Hari-hari ini kita berada di sebuah zaman ketika sihir kaum pemodal lebih sakti ketimbang mantra para dukun,” tulisnya. (TB)

   
BACA JUGA  Sejarah Desa Klumpu Nusa Penida Klungkung, Bermula dari Kehidupan Agraris Masyarakatnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!