Sejarah dan Fakta Lengkap Jembatan Tukad Bangkung di Badung, Tertinggi di Asia Tenggara, Dibangun Tahun Berapa?

Author:
Share

Jembatan Tukad Bangkung adalah salah satu ikon infrastruktur Bali yang bukan hanya berfungsi sebagai penghubung antarwilayah, tetapi juga menjadi destinasi wisata karena keindahan panorama alam sekitarnya. Jembatan ini kerap disebut sebagai jembatan tertinggi di Asia Tenggara, sekaligus menjadi bukti kemajuan pembangunan di Pulau Dewata.

Jembatan Tukad Bangkung berada di Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, tepat di perbatasan dengan wilayah Desa Belok/Sidan. Letaknya sangat strategis karena menghubungkan tiga kabupaten utama di Bali, yaitu Badung, Bangli, dan Buleleng.

Sebelum adanya jembatan ini, masyarakat harus menempuh perjalanan memutar melalui jembatan lama yang berjarak sekitar 500 meter ke arah selatan. Dengan adanya Jembatan Tukad Bangkung, jarak tempuh berkurang hingga enam kilometer, sehingga memperlancar mobilitas masyarakat sekaligus mendukung aktivitas perekonomian.

Gagasan pembangunan jembatan ini muncul di era awal 2000-an, seiring meningkatnya kebutuhan infrastruktur penghubung antarwilayah. Pembangunan dimulai pada tahun 2001, dibiayai melalui sistem multiyears dengan dana dari APBD Provinsi Bali. Total biaya pembangunan mencapai sekitar Rp 49 miliar, angka yang cukup besar pada masa itu.

BACA JUGA  Asal Usul Desa Sidatapa, Tapak Jejak Bali Aga di Perbukitan Buleleng

Proses konstruksi berlangsung selama beberapa tahun dengan berbagai tantangan teknis, mengingat struktur jembatan berdiri di atas jurang Tukad Bangkung yang sangat dalam. Setelah lima tahun pembangunan, jembatan ini resmi dibuka untuk umum pada 19 Desember 2006.

Peresmian secara kenegaraan dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 28 April 2007, menandai dimulainya era baru konektivitas wilayah Bali bagian tengah.

Secara teknis, Jembatan Tukad Bangkung memiliki panjang sekitar 360 meter dan lebar 9,6 meter. Pilar utama jembatan menjulang setinggi 71,14 meter dari dasar tanah, dengan pondasi yang menancap hingga 41 meter ke bawah permukaan tanah untuk memastikan kekuatan struktur.

Pembangunan jembatan menggunakan teknologi balanced cantilever, metode modern yang memungkinkan bentangan jembatan disusun dari dua sisi hingga bertemu di tengah.

BACA JUGA  Pemkab Badung Siap Biayai Pemasangan Railing di Jembatan Tukad Bangkung untuk Cegah Ulah Pati

Material utamanya berupa beton bertulang, sehingga jembatan ini diklaim lebih kokoh dan awet dibanding jembatan baja. Bahkan, daya tahannya disebut mampu mencapai 100 tahun dengan perawatan rutin.

Salah satu keunggulan lainnya adalah jembatan ini dirancang tahan gempa hingga skala 7 Richter, sebuah langkah antisipasi penting mengingat Bali berada di kawasan rawan gempa. Uniknya, jembatan ini juga dibangun tanpa atap agar tidak menghalangi pemandangan alam sekitarnya yang hijau dan asri.

Selain menjadi jalur transportasi vital, Jembatan Tukad Bangkung juga berkembang sebagai objek wisata. Lokasinya yang berada di dataran tinggi membuat pengunjung bisa menikmati panorama pegunungan, jurang, serta aliran sungai Tukad Bangkung dari atas ketinggian.

Area sekitar jembatan kini dilengkapi rest area, warung, dan spot foto, menjadikannya destinasi singkat bagi wisatawan lokal maupun mancanegara.

BACA JUGA  Sempat Termenung, Perempuan Asal Buleleng Ulah Pati di Jembatan Tukad Bangkung Badung

Bagi masyarakat sekitar, keberadaan jembatan ini mempercepat distribusi hasil pertanian dan perdagangan. Jalan penghubung yang lebih singkat mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah Badung Utara yang sebelumnya relatif terpencil.

Di balik kemegahannya, Jembatan Tukad Bangkung juga menyimpan sisi lain yang kerap menjadi perhatian publik. Dalam beberapa tahun terakhir, jembatan ini beberapa kali menjadi lokasi aksi ulah pati. Kasus-kasus tersebut memunculkan kekhawatiran sekaligus desakan agar pemerintah memperketat keamanan di area jembatan.

Menanggapi hal itu, pemerintah daerah Badung telah memasang railing atau pagar pembatas tinggi yang saat ini pengerjaannya tengah berlangsung. Selain pendekatan fisik, tokoh masyarakat Bali juga menekankan pentingnya penanganan secara sekala dan niskala, yakni upaya nyata sekaligus spiritual agar jembatan ini kembali menjadi tempat yang aman dan menyejukkan. (TB)

       

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!