![]() |
Ist |
Desa
Canggu merupakan salah satu desa yang terkenal akan wisatawanya di Bali. Desa
ini termasuk pada wilayah kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali.
Canggu mulai terkenal setelah dibukanya Deus ex Machina. Pantainya membentang
antara Kerobokan dan Pantai Echo Beach yang sejuk penuh dengan bar
tepi pantai yang berwarna-warni, ombak selancar, kafe makanan lengkap, hipsters,
dan gadis pantai.
Begitu
terkenalnya Desa Canggu ini, maka perlu juga dibahas bagaimana sejarah lahirnya
desa ini. Bagaimanakah sejarah dari Desa Canggu? Berikut pembahasannya.
Dilansir
dari website Desa Canggu, diketahui tak banyak data-data tertulis terkait dengan
keberadaan desa ini baik berupa lontar maupun berupa prasasti-prasasti yang
dapat mengungkapkan nama desa ini. Bahkan
dari tetua setempat yang dianggap lebih tahu hal ini juga belum dapat
memberikan penjelasan bagaimana sejarah lahir atau terbentuknya Desa Canggu
tersebut.
Untuk
menelusuri sejarahnya, dimulai dengan membandingkan dengan nama Desa Canggu
yang terdapat di daerah Kerajaan Majapahit yang juga merupakan pelabuhan
Kerajaan Majapahit yang terletak di muara Kali Brantas.
Hal
ini dikarenakan apabila kita mencoba membandingkan tentang masalah nama Desa
ataupun seperti Kecamatan dan sebagainya, maka banyak sekali terjadi nama-nama
yang sama di Bali dengan di Jawa terutama di jaman Majapahit dan lain-lain
misalnya Kerajaan Kediri, di Bali juga terdapat nama Kediri di Tabanan, nama
Gerobogan di Jawa, di Bali juga terdapat Gerobogan di Kecamatan Kuta.
Di
Jawa terdapat nama Banten maka pada jaman Resi Markandika sekitar abad V dan VI
sebelum pulau ini bernama Bali terlebih dahulu diberi nama Banten karena
pengertian banten sama dengan Bali. Oleh karena itu orang yang menjalankan
banten di Bali kadang-kadang disebut balian.
Karena
perkembangan Agama Hindu di Bali masih berlangsung sekitar abad XIV yaitu pada
zaman Majapahit dengan kedatangan maha resi seperti Danghyang Dwijendra atau
Nirartha dengan konsep Padmasananya. Danghyang Astapaka dengan ajaran Budhanya,
Empu Kuturan dengan konsepsi Kahyangan tiganya. Oleh karena itu ada anggapan
bahwa nama Desa Canggu ini kemudian ada hubungan dengan nama Canggu yang ada
pada era Majapahit.
Pihak
desa pun mencoba menghungkannya dengan babad Dalem Samprangan. Keturunan Raja
Bali ketiga yaitu Dalem Ketut Ngelesir dengan pusat Kerajaan di Gelgel menjadi raja
bergelar Sri Semara Kepakisan. Raja-raja Bali saat itu di undang ke Majapahit
yang pada waktu itu diperintah oleh Hayam Wuruk dengan patihnya Gajah Mada dan raja
Bali mengutus patihnya bernama Kyai Petandakan.
Pada
saat patih ini kembali ke Bali diberi sebilah keris sebagai jimat untuk
mempertahankan Bali. Tatkala
Kyai Petandakan naik perahu di Bengawan Canggu sebuah Pelabuhan Kerajaan
Majapahit, maka diceritakan bahwa kerisnya jatuh ke dalam air, sedangkan
urangkanya (sarungnya) masih dipegang.
Beberapa
saat kemudian dengan kekuatan puja mantra dari Kyai Petandakan, anak keris itu
kembali dengan sendirinya masuk kedalam sarungnya. Sehingga dengan demikian
keris itu diberi nama Begawan Canggu.
Setelah
tiba di Bali beliau menuju dalem Gelgel. Dalam perjalanannya ke Gelgel ia
beristirahat di daerah Canggu sekarang dengan membawa keris Begawan Canggu. Sehingga
desa/daerah tempatnya beristirahat tersebut dinamai Canggu.
Secara
keyakinan agama Hindu, oleh karena nama Canggu ini diberi oleh seorang patih
yang memiliki kesucian bathin, maka nama itu memiliki kekuatan tersendiri
sebagai suatu wilayah. Hal ini selanjutnya dapat dibuktikan dengan kedatangan Rsi
dari Majapahit sekitar abad XIV yang bernama Pedanda Sakti Wawu Rauh atau
Danghyang Dwijendra atau Nirartha.
Dalam
perjalananya menuju Dalem Waturenggong (Gianyar), sempat singgah di Canggu
yaitu Pantai Batu Bolong, dimana selanjutnya di pantai ini atas kekuatan yoganya
timbul tirta Empul.
Hal
ini diuraikan dalam lontar Pedanda sakti wawu rauh yang berbunyi sebagai
berikut. “…telah
meninggalkan Desa Nyitdah melalui lautan, secepatnya tiba di Canggu. Lalu
menampak seorang Brahmana (mediksa) yang mana belum sepakat di dalam
pembicaraan lagi sakit merah (panas dingin), lalu membuat tirta empul 7 buah,
dan selanjutnya beliau sembuh kembali.
Di
dalam prasasti yang terdapat di Pura Batur disebutkan bahwa Tirta Empul di Batu
Bolong pesucian Bhatara di Batur. Jadi apabila dirangkum, maka nama Canggu dan Tirta
Empul di Batu Bolong mempunyai kaitan dengan orang-orang Majapahit terutama
patih Kyai Petandakan dan Danghyang Dwijendra yang ternyata mempunyai pengaruh
besar di Bali terutama dalam agama Hindu dengan konsepsi padmasana dan
merupakan nabenya para pendeta atau pedanda di Bali. (TB)