Gedong Kirtya Buleleng, Rumah Ribuan Lontar Bersejarah di Bali

Author:
Share

Indonesia dikenal dengan kekayaan budaya yang beragam, baik berupa peninggalan fisik maupun non-fisik. Salah satu warisan berharga yang masih terpelihara hingga kini adalah lontar, sebuah manuskrip kuno yang ditulis di atas daun lontar.

Di antara tempat yang melestarikan peninggalan budaya ini adalah Gedong Kirtya, sebuah perpustakaan lontar yang berlokasi di Kabupaten Buleleng, Bali.

Tempat ini menyimpan koleksi lontar berusia ratusan tahun yang menjadi bukti kekayaan literasi masyarakat Bali dan Lombok sejak masa lampau.

Gedong Kirtya berdiri berkat kontribusi para peneliti Belanda yang tertarik mendalami kebudayaan Bali. F.A. Liefrinck dan Herman Neubronner van der Tuuk adalah dua tokoh penting yang mempelopori penelitian terkait adat, bahasa, dan budaya Bali.

Ketertarikan mereka kemudian diikuti oleh sarjana-sarjana lain, termasuk Dr. R. Ng. Purbacaraka dan Dr. W.R. Stuterheim, yang mengadakan pertemuan penting di Kintamani.

BACA JUGA  Koster Tegaskan Bali Tolak Ormas Premanisme, Dorong Persatuan Berbasis Kearifan Lokal

Pertemuan ini menghasilkan pendirian sebuah yayasan dengan misi utama mengarsipkan lontar dan melindungi kekayaan budaya Bali dan Lombok.

Pada 2 Juni 1928, yayasan tersebut mendirikan sebuah gedung yang diberi nama Stichting Liefrinck Van Der Tuuk.

Atas saran Raja Buleleng, I Gusti Putu Jelantik, nama gedung ini kemudian ditambah kata “Kirtya,” yang berasal dari bahasa Sanskerta dan berarti “usaha” atau “jerih payah.”

Gedung ini mulai dibuka untuk umum pada 14 September 1928, bertepatan dengan tahun 1850 Saka, sesuai penanda yang terpahat pada pintu masuk bergaya paduraksa.

Gedong Kirtya memiliki ribuan manuskrip lontar yang disimpan rapi di dalam kotak khusus bernama keropak. Setiap lontar dikelompokkan berdasarkan kategori tertentu, antara lain:

  1. Lontar Sasak, yang berisi tentang budaya Sasak.
  2. Matrastawa, berisi mantra, puja, dan Weda.
  3. Nitisastra, membahas nilai etika.
  4. Wariga, memuat ilmu astronomi dan astrologi.
  5. Usadha, berisi panduan pengobatan tradisional.
  6. Geguritan, kumpulan kidung Bali.
  7. Babad Pamancangah, yang mencatat sejarah leluhur.
  8. Satua, berupa cerita rakyat dengan bahasa Bali.
BACA JUGA  Saudia Airlines Resmi Beroperasi di Bandara Ngurah Rai, Koster Harap Tingkatkan Kunjungan Wisatawan Timur Tengah ke Bali

Selain manuskrip lontar, perpustakaan ini juga menyimpan dokumen dari masa kolonial yang ditulis dalam bahasa Bali dan huruf Romawi.

Koleksi ini terus berkembang, terutama berkat kerja keras Roelof Goris dan pustakawan I Wayan Bhadra.

Pada tahun 1931, Gedong Kirtya telah memiliki sekitar 639 lontar. Jumlah ini terus bertambah hingga mencapai lebih dari 1.757 judul dan 4.867 salinan lontar pada tahun 2015.

BACA JUGA  Roh Pelaku Ulah Pati Terperangkap 60.000 Tahun di Kegelapan Neraka dan Tidak Menyelesaikan Masalah

Gedong Kirtya beralamat di Jalan Veteran, Kelurahan Paket Agung, Kecamatan Buleleng, dan berada di kompleks Sasana Budaya yang dulunya merupakan istana tua Kerajaan Buleleng.

Gedung ini tidak hanya menjadi pusat pelestarian lontar, tetapi juga simbol jerih payah masyarakat dan peneliti dalam menjaga warisan budaya yang tak ternilai.

Dengan ribuan lontar berisi sejarah, etika, mantra, hingga cerita rakyat, Gedong Kirtya menjadi bukti nyata betapa tingginya peradaban literasi masyarakat Bali.

Perpustakaan ini adalah jendela untuk memahami warisan intelektual nenek moyang yang tetap relevan hingga kini. Mengunjungi Gedong Kirtya adalah kesempatan untuk menyelami kekayaan budaya Nusantara yang terus hidup di balik lembaran-lembaran lontar. (TB)

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!