Wayan Lati (70) tengah suntuk
memutar pengenyunan atau alat yang digunakan untuk membuat gerabah secara
manual. Senyumnya mengembang menyambut kedatangan ketika kami menyapanya. “Silahkan
ke sini, masuk saja,” katanya menyambut kami.
memutar pengenyunan atau alat yang digunakan untuk membuat gerabah secara
manual. Senyumnya mengembang menyambut kedatangan ketika kami menyapanya. “Silahkan
ke sini, masuk saja,” katanya menyambut kami.
Kulitnya yang keriput dan umurnya
yang tak muda lagi, namun perempuan yang telah memiliki cicit ini masih
semangat untuk bekerja. Dari seonggok tanah liat ia ubah jadi berbagai macam
jenis gerabah. Dan ketika itu ia mengaku sedang membuat gerabah jenis
pane. Ia bekerja pada pemilik usaha pembuatan gerabah milik Nyokan
Sulasmi yang ada di Jalan Warmadewa, Gang IIA, Banjar Binoh Kaja, Ubung,
Denpasar.
yang tak muda lagi, namun perempuan yang telah memiliki cicit ini masih
semangat untuk bekerja. Dari seonggok tanah liat ia ubah jadi berbagai macam
jenis gerabah. Dan ketika itu ia mengaku sedang membuat gerabah jenis
pane. Ia bekerja pada pemilik usaha pembuatan gerabah milik Nyokan
Sulasmi yang ada di Jalan Warmadewa, Gang IIA, Banjar Binoh Kaja, Ubung,
Denpasar.
“Saya dari kecil sudah bisa
buat gerabah. Saya tidak punya orang tua karena meninggal saat saya masih
kecil, dan saya juga tak bisa membaca,” akunya sambil membentuk gumpalan
tanah liat menjadi gerabah.
buat gerabah. Saya tidak punya orang tua karena meninggal saat saya masih
kecil, dan saya juga tak bisa membaca,” akunya sambil membentuk gumpalan
tanah liat menjadi gerabah.
Dengan telaten, tanah liat yang
awalnya berbentuk kepalan disulap jadi gerabah dengan teknik sangat
sederhana dan semuanya dikerjakan dengan tangan. Kepalan tanah ditaruh di atas
pengenyunan yang telah dialasi papan berbentuk bulat pipih. Tangan kirinya
memutar pengenyunan dan tangan kanannya membentuk lubang pada bagian tengah
kepalan tanah sebesar kepala anak-anak.
awalnya berbentuk kepalan disulap jadi gerabah dengan teknik sangat
sederhana dan semuanya dikerjakan dengan tangan. Kepalan tanah ditaruh di atas
pengenyunan yang telah dialasi papan berbentuk bulat pipih. Tangan kirinya
memutar pengenyunan dan tangan kanannya membentuk lubang pada bagian tengah
kepalan tanah sebesar kepala anak-anak.
Tak butuh waktu lama, hanya 10
menit, sebuah pane kasar pun jadi. “Ini di taruh dulu. Besok dihaluskan
lagi,” katanya sembari menunjukkan beberapa gerabah yang telah
dihaluskan.
menit, sebuah pane kasar pun jadi. “Ini di taruh dulu. Besok dihaluskan
lagi,” katanya sembari menunjukkan beberapa gerabah yang telah
dihaluskan.
Sementara itu, pembuat gerabah lain,
Wayan Sukerni mengaku, bekerja dari pukul 10.00 hingga 17.00 Wita ia bisa
menghasilkan hingga 15 buah gerabah. Di antara semua pembuat gerabah yang
ada di sana, Sukernilah yang paling muda yang kini berusia 46 tahun. “Di
sini saya yang paling muda. Kami bekerja berenam, ada yang umur 80 tahun kerja
di sini,” katanya Sukerni sembari tertawa.
Wayan Sukerni mengaku, bekerja dari pukul 10.00 hingga 17.00 Wita ia bisa
menghasilkan hingga 15 buah gerabah. Di antara semua pembuat gerabah yang
ada di sana, Sukernilah yang paling muda yang kini berusia 46 tahun. “Di
sini saya yang paling muda. Kami bekerja berenam, ada yang umur 80 tahun kerja
di sini,” katanya Sukerni sembari tertawa.
Warga asli Binoh Kelod ini mengaku
tak ada lagi yang mau membuat gerabah binoh yang khas Denpasar ini. “Tidak
ada generasi penerus lagi. Generasi sekarang tidak mau kerja seperti ini,
katanya kotor,” kata Sukerni. Ia pun khawatir bisa saja gerabah Binoh
ini hilang dikarenakan tak ada regenerasi. Apalagi semua dikerjakan secara
manual dengan tangan.
tak ada lagi yang mau membuat gerabah binoh yang khas Denpasar ini. “Tidak
ada generasi penerus lagi. Generasi sekarang tidak mau kerja seperti ini,
katanya kotor,” kata Sukerni. Ia pun khawatir bisa saja gerabah Binoh
ini hilang dikarenakan tak ada regenerasi. Apalagi semua dikerjakan secara
manual dengan tangan.
Untuk bahan pembuatannya berupa
tanah liat didatangkan dari Darmasaba maupun dari Pejaten Tabanan dengan harga
Rp 7 ribu persatu balok tanah. Sedangkan jenis gerabah yang dibuat
yakni gentong, pane, cobek, hingga tipluk. “Biasanya kebanyakan dipakai
untuk sarana upakara. Seperti pane dipakai saat ngaben,” katanya.
tanah liat didatangkan dari Darmasaba maupun dari Pejaten Tabanan dengan harga
Rp 7 ribu persatu balok tanah. Sedangkan jenis gerabah yang dibuat
yakni gentong, pane, cobek, hingga tipluk. “Biasanya kebanyakan dipakai
untuk sarana upakara. Seperti pane dipakai saat ngaben,” katanya.
Permasalahan yang dihadapi juga
yakni, pengeringan yang sulit dikarenakan musim hujan. Jika musim hujan, maka
pengeringannya menjadi terlambat yang akan berimbas pada molornya proses pembakaran.
Selain itu, pembuatannya juga cukup sulit karena diperlukan keahlian agar bisa
membentuk gerabah tersebut. Melenceng sedikit gerak tangan maka
bentuknya tak akan proporsional.
yakni, pengeringan yang sulit dikarenakan musim hujan. Jika musim hujan, maka
pengeringannya menjadi terlambat yang akan berimbas pada molornya proses pembakaran.
Selain itu, pembuatannya juga cukup sulit karena diperlukan keahlian agar bisa
membentuk gerabah tersebut. Melenceng sedikit gerak tangan maka
bentuknya tak akan proporsional.
Sementara itu, pemilik usaha, Nyoman
Sulasmi mengatakan hasil kerajinannya tak lagi diimpor ke luar negeri. Terakhir
penjualan ke luar negeri dilakukan tahun 2002.
Sulasmi mengatakan hasil kerajinannya tak lagi diimpor ke luar negeri. Terakhir
penjualan ke luar negeri dilakukan tahun 2002.
Untuk saat ini pembeli
hanya pedagang lokal di pasar seni seperti di Singapadu maupun ke
Klungkung dan beberapa masyarakat yang membutuhkan untuk upacara
keagamaan. Ia juga membenarkan bahwa kerajinan yang telah ada sejak turun
temurun ini kini tak memiliki penerus.
hanya pedagang lokal di pasar seni seperti di Singapadu maupun ke
Klungkung dan beberapa masyarakat yang membutuhkan untuk upacara
keagamaan. Ia juga membenarkan bahwa kerajinan yang telah ada sejak turun
temurun ini kini tak memiliki penerus.
Harga gerabah ini sendiri
mulai dari Rp 10 ribu hingga Rp 200 ribu yang menurut jenisnya. Sementara untuk
gentong Rp 150 ribu hingga Rp 175 ribu. “Ini
dari tahun penjajahan Belanda sudah ada. Karena perkembangan zaman
perkembangan gerabah mulai goyah dan menipis dan tidak ada generasi
penerus,” katanya.
mulai dari Rp 10 ribu hingga Rp 200 ribu yang menurut jenisnya. Sementara untuk
gentong Rp 150 ribu hingga Rp 175 ribu. “Ini
dari tahun penjajahan Belanda sudah ada. Karena perkembangan zaman
perkembangan gerabah mulai goyah dan menipis dan tidak ada generasi
penerus,” katanya.
Ia mengenang, sekitar tahun 1971, di Binoh ada banyak sekali
usah gerabah. Namun saat ini hanya ada tiga usaha gerabah di
wilayah tersebut. Hal ini juga semakin diperparah oleh pemuda di banjarnya yang
lebih memilih merantau dan berkeja di perusahaan ketimbang membuat gerabah.
(BT)
usah gerabah. Namun saat ini hanya ada tiga usaha gerabah di
wilayah tersebut. Hal ini juga semakin diperparah oleh pemuda di banjarnya yang
lebih memilih merantau dan berkeja di perusahaan ketimbang membuat gerabah.
(BT)