Hindu Nusantara Bangkit! Umat Hindu Tanimbar Kei Maluku Bangun Balai Serba Guna Pesanggrahan Pemangku

Author:
Istimewa

Umat
Hindu di luar Bali terus menunjukkan geliatnya untuk kemajuan Hindu Nusantara.

Salah
satunya dilakukan oleh Umat Hindu yang ada di Tanimbar Kei, Maluku.

Umat
Hindu di sini kini sedang membangun balai serba guna pesanggrahan pemangku Pura
Wuar Masbaat.

Pembangunan
ini pun dilakukan dengan cara bergotong royong bahu membahu.

Proses
pembangunan ini dibagikan oleh akun facebook Relawan Hindu YCDK.

Relawan
Hindu YCDK Pusat merupakan relawan dengan program peduli Hindu etnik di
daerah-daerah terpencil, pedalaman, atau terpinggirkan.

“Giat
kerja bakti hari ini pembangunan bertahap: Balai Serba Guna ‘Pesanggrahan
Pemangku’ Pura Wuar Masbaat-Tanimbar Kei,” tulis akun Relawan Hindu YCDK pada
Sabtu, 30 Juli 2022 lalu.

Berikut
ini adalah sekilas tentang keberadaan umat Hindu di Tanimbar Kei.

Dilansir
dari phdi.or.od, disebutkan bahwa pada zaman dahulu, sekitar tahun 1810, ada
seorang tokoh spiritual yang berasal dari Bali.

Beliau
bernama Ketut yang sering di sebut dengan nama Tebtut.

Beliau
mempunya istri yang berasal dari desa Tanimbar Kei, bernama Nen Sikre. Di sana kemudian
mengajarkan ajaran spiritual kegamaan, yaitu ajaran agama Hindu. 

Tetapi
jauh sebelum beliau datang, sebutan agama Hindu sudah ada di desa ini.

Sebutan
agama Hindu bagi umat di desa Tanimbar Kei sudah ada sebelum zaman penjajahan
Belanda, sejak zaman kerajaan Majapahit.

Jauh
sebelum masuknya agama Hindu, masyarakat di desa Tanimbar Kei sudah memegang
teguh adat, tradisi dan kepercayaan setempat, yaitu kepecayaan terhadap
benda-benda sakral dan mitu (leluhur) yang suci.

Setelah
masuknya ajaran Hindu di desa ini, tokoh adat desa Tanimbar Kei menerima ajaran
agama Hindu sebagai suatu keyakinan masyarakat setempat.

Hal
ini dibuktikan dengan simbol-simbol yang masih terdapat di rumah-rumah adat
yang ada di dalam ajaran Hindu.

Salah
satunya, yaitu keyakinan tentang mitu dan sirih pinang, terkandung nilai-nilai
ajaran Hindu mengenai konsep Panca Sraddha dan kerangka dasar ajaran
Hindu.

Menurut
hikayat setempat, leluhur orang Kei berasal dari Bal (Bali), ketika itu
merupakan wilayah kerajaan Majapahit di kawasan Barat Nusantara.

Konon,
dua perahu utama berlayar dari pulau Bali, masing-masing dinahkodai oleh dua
orang, masing-masing bergelar Hala’ai Deu dan Hala’ai Jangra.

Setibanya
di perairan kepulauan Kei, dua perahu ini berpisah.

Perahu
rombongan Deu berlabuh untuk pertama kalinya di Desa Letvuan, Pulau Kei Kecil,
sedangkan perahu rombongan Jangra menepi di desa Ler-Ohoylim, pulau Kei
Besar. 

Letvuan
dijadikan pusat pemerintahan, tempat dikembangkannya hukum adat Larvul Ngabal
(darah merah dan tombak Bali) atas gagasan Putri Dit Sakmas.

Bukti
hubungan dengan Bali ini di Kei kecil mencakup beberapa benda warisan dan
sebuah tempat berlabuh yang dinamakan Bal Sorbay (Bali-Surabaya), yakni tempat
perahu keluarga kerajaan itu dulu berlabuh.

Bukti-bukti
itu kini dapat ditemui di Desa Tanimbar Kei, Kecamatan Kei Kecil Barat,
Kepulauan Kei, Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku.

Desa
Tanimbar Kei terbagi menjadi dua lokasi, yaitu Ohoratan (kampung atas) dan
Tahat (kampung bawah), serta satu dusun, yaitu  Dusun Mun.

Kampung
atas berada tepat di atas tebing yang tingginya sekitar 25 m.

Kampung
atas sangat disucikan dan disakralkan oleh umat Hindu di desa Tanimbar Kei
karena memiliki peninggalan seperti tempat-tempat suci dan rumah adat yang
masih ada sampai sekarang.

Benda-benda
peningalan seperti rumah adat, arca (wadah), meriam peningalan zaman Belanda,
gelang dari timah, tembaga, mas, dan uang gobang (pis bolong) sangat berperan
dalam melaksanakan proses ritual adat. 

Pada
zaman dahulu masyarakat yang bermukim di kampung atas mayoritas merupakan
masyarakat dan tokoh adat beragama Hindu.

Seiring
dengan perjalan waktu, banyak anggota masyarakat beralih ke agama lain.

Anggota
masyarakat yang beralih ke agama lain berpindah tempat tinggal ke kampung bawah
dan dusun Mun.

Ini
merupakan aturan tradisi mitu (leluhur) yang tidak boleh dilanggar.

Karena
akan berdampak buruk bagi kesejahteraan keluarga tersebut dan masyarakat desa
Tanimbar Kei.

Kampung
bawah sudah ada sejak zaman dahulu dan masyarakat yang bermukim di sana pada
mulanya juga mayoritas beragama Hindu.

Seiring
dengan perkembangan zaman, masyarakat yang bermukim di kampung bawah terdiri
dari pemeluk agama Islam, Katholik, dan Protestan. 

Berkembangnya
komunitas Katholik dan Protestan di desa Tanimbar Kei terjadi karena pernikahan
campur antara masyarakat Hindu desa Tanimbar Kei dengan penduduk desa lain yang
setelah menikah kemudian tingal di desa Tanimbar Kei. 

Pada
tahun 1969, hasil rapat para tokoh adat menetapkan agar komunitas Non-Hindu
dari kampung atas pindah bermukim di kampung bawah dan di dusun Mun.

Ini
semua bertujuan untuk menghormati para leluhur dan menghormati proses
kesakralan ritual tradisi yang sering dilakukan di kampung atas.

Dusun
Mun terletak tidak jauh dari kampung atas dan kampung bawah.

Mayoritas
masyarakat yang tingal di dusun Mun beragama Islam.

Masyarakat
yang tinggal di dusun Mun masih memiliki hubungan persaudaraan yang sangat erat
dengan umat yang berda di kampung atas dan kampung bawah. 

Semua
masyarakat yang berada di ketiga lokasi ini merupakan keturunan satu nenek
moyang dan bersaudara.

Awal
perpindahan masyarakat ke lokasi baru dusun Mun ini, disebabkan karena sekitar
tahun 1967 terjadi kesalapahaman karena masyarakat beragama Kristen membunyikan
lonceng gereja pada saat umat Hindu sedang melaksanakan tradisi Tate’e.

Maka
disitulah awal mulanya masyarakat desa Taimbar Kei membentuk dusun Mun sebagai
tempat bermukim komunitas Islam, Katolik dan komunitas Protestan.

Ajaran
Islam masuk ke desa Tanimbar Kei dibawa oleh Mabal Latar yang berasal dari desa
Banda Eli. Sejak diterimanya Mabal Latar, masyarakat dari desa Banda Eli
kemudian menetapkan masyarakat Desa Tanimbar Kei sebagai pela (saudara).

Ritual-ritual
yang dijalankan dipimpin oleh tokoh-tokoh adat yang telah dipercayakan oleh
masyarakat setempat.

Ritual
sesajen seperti sirih, kapur pinang, tembakau, kopi dan sopi, tidak lepas dari
setiap kegiatan ritual karena merupakan suatu ciri khas desa ini dalam menjalankan
proses ritual kapada Sang Hyang Widhi dan para leluhur. 

Sejak
sekitar tahun 1952 tokoh adat masyarakat Hindu di desa Tanimbar Kei
berkeinginan untuk membangun tempat suci Pura.

Karena
tidak ada orang yang dapat mendorong dan memotifasi masyarakat untuk membantu
niat baik tokoh adat maka ini belum bisa diwujudkan. 

Maka
wacana itu berlalu begitu saja karena umat di desa ini belum mengerti tata cara
untuk membangun tempat suci pura ini.

Hal
ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan kritis seperti, “Mengapa umat Hindu yang
mayoritas belum mempunyai tempat ibadah, sedangkan umat lain yang minoritas
sudah mempunyai sarana tempat ibadah?”

Selain
merasa terpojokkan oleh pertanyaan-pertanyaan seperti ini, kurangnya
pengetahuan dan pemahaman umat tentang sraddha menyebabkan banyak umat Hindu
beralih memeluk agama lain.

Menghadapi
kenyataan ini, PHDI Kabupaten Maluku Tenggara yang di ketuai oleh M. Yamko
berinisiatif mengadakan rapat dengan tokoh-tokoh adat dan masyarakat Hindu di
desa Tanimbar Kei.

Setelah
enam kali rapat, dicapai kesepakatan dan keinginan untuk membangun pura dengan
nama Pura Wuar Masbaat.

Pura
mulai dibangun pada 27 Agustus 2007 dengan bantuan dana pertama dari Depag RI
dan kemudian bantuan dari umat sedharma dan dari pemerintah daerah setempat. (TB)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!