net. |
Pelaksanaan ngelekas atau proses berubah
menjadi leak selalu identik dengan sarana sanggah cucuk. Sanggah cucuk ini
terbuat dari bambu yang terdiri dari bentuk ulatan berbentuk persegi lalu
disangga oleh bambu yang dibelah empat. Selain itu ada juga yang diberikan
payasan berupa ambu atau daun enau muda. Di bagian tempat meletakkan sesajen
juga bisanya berbentuk segi tiga.
Dalam artikel berjudul Kepercayaan Orang Bali
terhadap Leyak Sebagai Penyebab Penyakit dan Penanggulangannya yang disusun Nengah
Bawa Atmadja dari Universitas Udayana menyebutkan dalam Lontar Aji Pangleyakan menunjukkan
tentang cara orang nglekas sesuai dengan ilmu yang dipakainya.
Disebutkan saat orang
nglekas menggunakan Aji Pangleyakan Sanghyang Sarasija Maya Hireng , ia
memerlukan peralatan ritual atau sesajen, antara lain sebuah nasi tumpeng
berwarna hitam, seekor ayam panggang berbulu hitam, sebelas buah canang gantal,
canang lengawangi, canang buratwangi, pasepan, dan tempat meletakkan sesajen,
yakni sanggah cucuk.
Ritual tersebut dilakukan di kuburan, yakni pada bagian kuburan
yang biasanya dipakai tempat membakar mayat yang disebut pangluangan. Ritual
dilakukan pada saat tengah malam. Pada saat melaksanakan ritual orang harus
menghadap ke sanggah cucuk.
Penggunaan sanggah cucuk dalam proses ngelekas
juga bisa ditemui dalam Geruritan Basur. Dalam Geguritan ini dikisahkan I Gede
Basur nglekas dengan melakukan ritual di kuburan pada saat tengah malam. Dia
membawa peralatan ritual, yaitu canang buratwangi, daging ayam merah brahma (siap
biying brahma), kertas bergambar (marajah) Dewi Durga, dan tempat meletakkan
sesajen, yaitu sanggak cucuk. I Gede Basur duduk memusatkan pikiran atau
beryoga, menghadap sesajen yang terletak di sanggah cucuk.
Bawa Atmaja juga menuliskan jika peralatan
ritual yang dipergunakan pada saat nglekas tidak boleh hilang, sebab ada
kepercayaan di kalangan orang Bali bhwa kalau peralatan ritual itu dicuri
orang, terutama sanggah cucuknya, maka orang tersebut tidak bisa lagi menjadi
manusia sehingga dia selamanya akan berwujud sebagai leyak.
Lalu kenapa saat ngereh harus menggunakan
sarana sanggah cucuk?
Praktisi Ilmu Leak, Dr. Jro Mangku Gede Made
Subagia, SH., M.Fil.H yang dilansir dari Bali Express mengatakan jika ngereh
sama dengan ngarereh atau mencari, dalam hal ini kasiddhian atau kekuatan
spiritual. Salah satu sarana yang diperlukan yakni sanggah cucuk. Menurutnya
sanggah cucuk merupakan lambang dari suku tunggal dan tri murti. Segitiga pada
sanggah cucuk adalah trimurti, sedangkan tiangnya adalah Sang Hyang Acintya.
Ia menambahkan jika sanggah cucuk adalah
yantra atau simbol. Dengan simbol tersebut, maka manusia yang memiliki
keterbatasan bisa lebih mudah menyatukan pikiran untuk memuja keesaan Tuhan.
Sementara itu, Jiwa Atmaja menuliskan lagi
jika masyarakat Bali percaya bahwa ada orang-orang tertentu yang dianggap mampu
menjadi leyak atau lazim pula disebut bisa ngleyak. Agar bisa menjadi leyak ,
seseorang harus menguasai ilmu gaib atau black magic yang biasanya disebut pangleyakan.
Cara yang ditempuh oleh seseorang untuk
memperoleh pangleyakan antara lain adalah dengan cara belajar pada tokoh
tertentu yang dianggap sebagai pakar leyak. Selain itu, dapat pula terjadi seseorang
memiliki pangleyakan dengan cara newas raya atau memohon langsung kepada Dewi
Durga, yaitu penguasa segala mahluk demonis dan juga penguasa ilmu hitam, yang
bahkan sering pula dianggap sebagai ratu dari segala bentuk leyak.
Tempat memohon pangleyakan adalah di kuburan,
sebab kuburan adalah tempat tinggal Dewi Durga. Dapat pula hal itu dilakukan di
pura Dalem, sebab pura ini berfungsi sebagai tempat suci untuk memuji Dewa Siwa
dan Dewi Durga.
Selanjutnya, seorang dapat pula ngleyak karena
pemberian orang tuanya, atau orang lain yang memiliki pangleyakan. Maka
sifatnnya adalah pewarisan dari seseorang kepada orang lainnya. Pewarisan pangleyakan
itu dilakukan bersamaan dengan proses sosialisasi dalam lingkungan keluarga.
Konon caranya adalah anak yang diasuhnya acapkali
diberi ludah, sehingga apabila si anak sudah dewasa, ada kemungkinan akan mampu
pula ngleyak. Selain itu dapat pula terjadi bahwa seseorang yang bisa ngleyak konon
menjelang ajalnya seringkali tersiksa (kagela-gela), karena rohnya diikat oleh pangleyakan
yang dimilikinya.
Pada saat inilah dia sangat memerlukan orang yang
mau menerima pangleyakan-nya. Secara rahasia dia dapat menyerahkan pangleyakannya
kepada salah seorang anaknya atau orang lain yang disukainya. Penyerahan
tersebut dilakukan dengan cara menyuruh si penerima menghisapnya dari mulut
atau memegang tangannya, dan sejalan dengan ini maka pangleyakan itu pun akan
mengalir dari tubuh si pemilik ke tubuh si penerimanya. Dengan cara ini si
penerima konon bisa pula ngleyak. (TB)