Mayoritas Siswa Tak Bisa Membaca di Buleleng Ternyata Anak Berkebutuhan Khusus, DPR RI Minta Penanganan Serius

Author:
Share

Polemik mengenai ratusan siswa SMP di Kabupaten Buleleng yang disebut tidak bisa membaca akhirnya diklarifikasi dalam pertemuan resmi antara Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI dengan jajaran Pemerintah Provinsi Bali dan Pemerintah Kabupaten Buleleng, Kamis 22 Mei 2025 di Kantor Gubernur Bali.

Pertemuan yang berlangsung di Ruang Wiswasabha Pratama ini merupakan bagian dari kunjungan kerja BAM DPR RI dalam menyerap aspirasi masyarakat, khususnya di bidang pendidikan dasar dan menengah. Rombongan BAM dipimpin langsung oleh Ketua Tim, Dr. Muhammad Haris, dan diikuti anggota lintas fraksi DPR RI.

Dalam pernyataannya, Haris menyebutkan bahwa BAM menaruh perhatian serius pada pemberitaan yang menyebutkan sebanyak 375 siswa SMP di Buleleng tidak bisa membaca, termasuk 155 siswa yang dikatakan buta huruf total. BAM ingin memastikan informasi tersebut proporsional dan tidak menimbulkan stigma negatif terhadap daerah maupun siswa.

“Kami datang untuk mengklarifikasi langsung agar tidak terjadi salah persepsi publik. Sebagai alat kelengkapan DPR, kami wajib memastikan laporan seperti ini ditindaklanjuti bersama mitra kerja,” tegas Haris.

BACA JUGA  Biodata dan Profil Dewa Ayu Putu Rai Sukerti, Pemeran Tuan Putri dalam Drama Gong Bali

Sekda Provinsi Bali, Dewa Made Indra, yang mewakili Gubernur Bali, menegaskan bahwa pendidikan SMP menjadi kewenangan kabupaten. Karena itu, Pemerintah Kabupaten Buleleng yang berwenang langsung dalam pengelolaannya, sementara provinsi hadir untuk mendukung dan memperkuat sinergi lintas lembaga.

Klarifikasi Bupati Buleleng: Bukan Anak Normal, Tapi Siswa Inklusi

Menanggapi hal tersebut, Bupati Buleleng, dr. Nyoman Sutjidra, Sp.OG., menyampaikan bahwa jumlah siswa yang disebut tak bisa membaca sebenarnya berjumlah 354 orang, bukan 375 seperti diberitakan. Lebih penting lagi, sebagian besar dari mereka adalah siswa sekolah inklusi yang mengalami hambatan intelektual, bukan anak-anak reguler.

“Mereka adalah anak-anak dengan kebutuhan khusus. Tidak adil jika disebut sebagai siswa normal yang tidak bisa membaca,” kata Sutjidra.

Hasil asesmen yang dilakukan bersama Dewan Pendidikan dan Undiksha menunjukkan bahwa sekitar 13–15 persen dari siswa mengalami hambatan membaca berat, sementara sisanya memiliki kemampuan membaca yang tidak lancar. Mayoritas siswa juga diketahui memiliki IQ di bawah rata-rata, termasuk 48% yang masuk kategori disabilitas intelektual (IQ < 70), dan 31,25% lainnya berada di kategori borderline (IQ 70–80).

BACA JUGA  Mengapa Umat Hindu Menggunakan Bija? Ini Penjelasan Makna, Fungsi hingga Mantra

Langkah Nyata: 1 Mahasiswa 1 Siswa

Kepala Disdikpora Buleleng, I Made Astika, M.Pd., mengungkapkan bahwa pihaknya telah bekerja sama dengan Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) dalam program pendampingan intensif. Sebanyak 375 mahasiswa diterjunkan untuk mendampingi siswa satu per satu, dengan bimbingan dari 60 dosen dan tim psikolog.

“Tujuan kami jelas, yakni memberi pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing siswa. Ini bukan soal angka, tapi soal keadilan pendidikan,” ujar Astika.

Sayangnya, para siswa ini masih tersebar di 60 sekolah reguler yang belum memiliki fasilitas dan guru pendamping khusus (GPK) yang memadai. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi penyelenggaraan pendidikan inklusi di Buleleng.

Selain pendampingan, Pemkab Buleleng juga menggulirkan program pembagian perlengkapan sekolah gratis bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu, serta strategi untuk menurunkan angka putus sekolah karena faktor ekonomi.

BACA JUGA  Gek Wik Penari Joged Bumbung Viral Dipanggil Satpol PP Bali, Rai Dharmadi: Jangan Nodai Warisan Budaya

DPR RI Akan Perjuangkan Peningkatan Pendidikan Inklusi

Merespons klarifikasi tersebut, Ketua Tim BAM DPR RI, Muhammad Haris, menyatakan bahwa informasi ini sangat penting sebagai rujukan dalam membentuk narasi publik yang lebih adil dan mendorong kebijakan nasional yang berpihak pada anak berkebutuhan khusus.

“Kami ingin memastikan bahwa setiap anak Indonesia, termasuk yang memiliki hambatan belajar, mendapat hak pendidikan yang layak. Kami siap membawa rekomendasi ini ke pusat,” ujar Haris.

Ia menyebutkan, upaya peningkatan jumlah SLB, pelatihan guru, serta penempatan guru pendamping menjadi hal mendesak yang perlu segera diwujudkan melalui intervensi pemerintah pusat.

Kunjungan kerja ini turut dihadiri anggota BAM dari berbagai fraksi, termasuk Satori dan Tamanuri dari Fraksi NasDem, serta Ellen Esther Palealu dari Fraksi Demokrat. (TB)

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!