Misteri Sapi Putih di Desa di Bali Ini Konon Berkaitan dengan Perjalanan Rsi Markandeya, Bisa Sembuhkan Penyakit Medis dan Non Medis

Author:

http://taro.desa.id/

Di
desa ini, lembu atau sapi putih sangat disakralkan dan dilestarikan. Bahkan
masyarakat setempat tak berani memelihara lembu ini secara mandiri. Sehingga
pemeliharaan dilakukan oleh pihak desa.

Adapun
kawasan ini berada di Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar Bali.
Lokasi desa ini pun dekat dengan daerah Kintamani, Bangli sehingga suhu di Taro
sangat sejuk dikala siang maupun malam hari.

Dilansir
dari website Disparda Gianyar disebutkan jika asyarakat Desa Taro,
terutama warga Desa Pakraman Taro Kaja sangat meyakini kesucian dari lembu ini.
Bahkan mereka tak berani memelihara secara pribadi apalagi membunuh hewan suci
tersebut.

Seandainya
ada sapi putih yang lahir dari sapi peliharaannya, ketika mencapai umur enam bulan
pasti diserahkan pada Desa untuk merawat. Sapi tersebut diperlakukan istimewa,
demikian pula dengan keturunan sapi putih tersebut, meskipun lahir berwarna
lain.

Lalu
bagaimanakah asal-usul dari keberadaan lembu atau sapi putih ini?

Dalam
penelitian yang berjudul Lembu Putih Taro Maskot Kabupaten Gianyar oleh Fakultas
Peternakan Universitas Udayana tahun 2015, disebutkan jika asal usul sapi putih
Taro yang berada di kawasan Pura Dalem Pingit Desa Taro berkaitan erat dengan
Pura Agung Gunung Raung yang ada di desa tersebut. Konon lembu putih (lembu)
tersebut di bawa oleh Rsi Markandheya bersama pengikut beliau dari India menuju
Pulau Swarna Dwipa (Jawa), kemudian sampai ke Pulau Bangsul (Bali) untuk
keperluan mengerjakan tanah pertanian.

Keberadaan
lembu putih di Desa Taro menjadi daya tarik tersendiri, karena berbeda dengan
warna sapi Bali pada umumnya. Lembu putih taro ini diyakini memiliki kesucian
yang melebihi hewan-hewan lainnya yang biasa digunakan oleh umat Hindu sebagai
sarana upakara.

Lembu
putih tersebut dipercaya sebagai “Lembu Nandini”, yaitu kendaraan dari “Dewa
Siwa”. Lembu ini sangat di sucikan, sehingga masyarakat tidak ada yang berani
mengganggu ataupun memperlakukan seperti sapi bali biasa dan mendapatkan
perlakuan yang istimewa.

Lembu
putih taro banyak dimanfaatkan dalam pelaksanaan upacara yadnya oleh umat Hindu
di Bali, seperti: Dewa Yadnya (empehan), Rsi Yadnya (Murwa Daksina), dan Pitra Yadnya
Memukur atau ngasti.

Lembu
putih ini juga diyakini dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit medis maupun
nonmedis, yang obatnya tersebut diambil dari kotoran, air mani ataupun susunya.

Para
ahli juga sudah banyak yang meneliti khasiat dari kotoran lembu putih ini, baik
ilmuwan dari Bali maupun dari luar Bali yang mendengar tentang hewan langka
ini.

Hal
yang istimewa lainnya dari lembu putih ini, selain badannya berwarna putih adalah
mata lembu ini juga berwarna merah muda (pink) dimana umumnya sapi-sapi lain
matanya berwarna hitam. Sehingga masyarakat Desa Pakraman Taro Kaja sangat
meyakini kesucian lembu putih ini.

Selain
itu, sapi putih ini juga konon merupakan keturunan Lembu Nandini. Selain itu, menurut
adat desa setempat lembu ini tidak boleh diperjual belikan, dikonsumsi daging
ataupun susunya, apabila pantangan tersebut dilakukan, dipercaya bisa mendatangkan
musibah. Sampai tahun 1974 keturunan sapi putih itu masih ada beberapa ekor
saja dan lembu putih itu sangat dikeramatkan oleh penduduk di desa Taro sampai
sekarang.

Sementara
itu, dilansir dari Bali Express, lembu ini juga secara khusus memiliki nama
tersendiri. Untuk sapi putih betina dipanggil Dayu dan yang jantan Ida Bagus. Penamaan
itu memang tak lepas dari kaitan lembu itu yang diyakini
sebagai duwe Pura Agung Gunung Raung. Penamaan itu pun sudah
dilakukan sejak dulu, dan tetap digunakan sampai saat ini.

Bendesa
Adat Desa Pakraman Taro Kaja, I Made Wisersa yang diwawancarai tahun 2016 mengatakan
masyarakat meyakini keberadaan lembu putih yang disucikan ini, tak terlepas
dari keberadaan Pura Agung Gunung Raung. Sebab sejak dari zaman dulu hingga
saat ini, semua meyakini jika Lembu Putih ini merupakan duwe dari yang
berstana di Pura Agung Gunung Raung.

Beberapa
karya agung yang pernah menggunakan sarana Lembu Putih ini sebagai tawur yaitu
saat dilangsungkannya Karya Eka Dasa Ludra di Pura Besakih. Serta ketika
pelaksanaan karya Panca Wali Krama di Pura Agung Gunung Raung, pada 2011.

Dulu
lembu tersebut dibiarkan hidup secara liar di areal hutan yang mencapai puluhan
hektar tersebut. Kala itu tak ada satu pun masyarakat yang berani mengganggu
apalagi menyakiti Lembu Putih yang hidup mencari makan dengan sendirinya.

Namun
memasuki era akhir tahun 1960-an hingga awal 1970-an, Lembu Putih yang ketika
hidup di alam liar diperkirakan berjumlah hingga 50-an ekor lebih itu, akhirnya
mulai dikandangkan pada lahan seluas 2 hektare.

Keputusan
mengkandangkan Lembu Putih itu, dari cerita yang diketahui Wisersa, selain
karena adanya program bantuan dari pemerintah ketika itu. Keberadaan Lembu
Putih yang hidup liar disebut-sebut sempat beberapa kali mengganggu masyarakat
di desa tetangga.

Bahkan
kini keberadaannya mendapat perhatian serius dari Desa Pakraman Taro Kaja,
melalui sebuah yayasan yang secara khusus mengelola Lembu Putih ini.  Made
Madriana, Ketua Yayasan Lembu Putih Taro tahun 2019 lalu mengatakan total ada
42 lembu di tempat tersebut. Rinciannya 19 jantan dan 23 betina.

Yang
mengejutkan dengan jumlah Lembu Putih yang mencapai 42 ekor, sehari rata-rata
bias menghabiskan hingga 1,4 ton rumput gajah. Rumput itu dipenuhi pihak
pengelola dengan membeli dari delapan warga tiap harinya.

Dari
475 kepala keluarga di Banjar Taro Kaja, secara bergiliran tiap hari ada
delapan warga yang membawa rumput gajah dengan masing-masing tujuh ikat
(sekitar 140kg). Sehingga sehari pengelola mengeluarkan Rp 800 ribu untuk
membeli rumput.

Selain
rumput gajah, Lembu Putih tersebut sesekali juga mendapatkan pelepah kelapa dan
batang pisang dengan air yang dicampur garam. Serta tiga hari sekali rutin
dimandikan. (TB)

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!