Nyakan Diwang adalah tradisi memasak yang dilakukan di luar pekarangan rumah, tepatnya di depan pintu pekarangan, pada momen Ngembak Geni, sehari setelah perayaan Nyepi.
Tradisi yang diwariskan secara turun-temurun ini masih dilestarikan oleh masyarakat Desa Adat Kayuputih, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng.
Selain memiliki makna filosofis yang mendalam, Nyakan Diwang juga menjadi ajang mempererat tali persaudaraan antarwarga.
Tradisi Nyakan Diwang merupakan bagian dari rangkaian upacara penyepian yang diawali dengan beberapa tahapan penting:
- Melasti
Melasti dilaksanakan tiga atau satu hari sebelum Tilem Kesanga untuk menganyutkan malaning jagat (pengaruh negatif) dan memohon tirta pemarisuda sebagai sarana penyucian.
- Mecaru dan Mebuwu-buwu
Pada Tilem Kesanga, dilaksanakan upacara pecaruan di tengah desa untuk memohon tirta sesepen (tirta suci). Sebelum sore (sandikala), warga mulai mempersiapkan perlengkapan Nyakan Diwang dengan membuat tungku (pawon) di depan pekarangan rumah.
Setelah itu, dilakukan prosesi mebuwu-buwu (membersihkan pekarangan) dan memercikkan tirta sesepen di area suci seperti pura, panti, dan pekarangan rumah.
- Nyepi (Nyipeng)
Nyepi berlangsung selama 24 jam, dimulai dari pukul 00.00 WITA hingga keesokan harinya. Selama Nyepi, warga menjaga kesucian pekarangan dengan menjalankan Catur Brata Penyepian (amati karya, amati lelungan, amati geni, dan amati lelanguan).
Jika ada anggota keluarga yang tidak bisa melaksanakan Nyepi, mereka dianjurkan untuk berada di sekitar tempat yang dekat dengan air, seperti pinggir sungai.
- Ngembak Geni dan Nyakan Diwang
Setelah Nyepi, Ngembak Geni ditandai dengan suara kulkul pada pukul 00.00 WITA.
Warga mulai menyalakan api di tungku yang telah disiapkan dan memasak bersama di depan pekarangan rumah.
Inilah inti dari tradisi Nyakan Diwang, yaitu memasak di luar rumah dengan menggunakan kayu bakar.
Secara filosofis, Nyakan Diwang memiliki makna mendalam. Api yang dinyalakan di depan pintu pekarangan diyakini mampu menetralisir energi negatif yang ada di sekitar rumah, sehingga pekarangan menjadi suci sebelum kembali digunakan untuk aktivitas sehari-hari.
Dari sudut pandang sosial, tradisi ini menjadi sarana untuk mempererat hubungan antarwarga. Selama prosesi, tetangga saling mengunjungi, berbagi masakan, dan memaafkan kesalahan satu sama lain.
Selain itu, anak-anak dan remaja diajak berpartisipasi aktif dalam kegiatan ini, seperti membantu mencari kayu bakar, batu bata, dan bahan lainnya.
Tradisi ini menanamkan nilai gotong royong, kerja sama, dan kebersamaan yang sangat berharga.
Meskipun tradisi Nyakan Diwang sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu, popularitasnya masih terbatas karena minimnya publikasi.
Namun, masyarakat Desa Adat Kayuputih tetap melestarikannya dengan kesadaran dan semangat yang tinggi. Mereka percaya bahwa tidak melaksanakan tradisi ini bisa menimbulkan perasaan cemas karena telah meninggalkan warisan leluhur yang sakral.
Untuk menjaga kelestarian tradisi ini, peran generasi muda sangat penting. Nilai-nilai yang terkandung dalam Nyakan Diwang, seperti semangat kebersamaan, gotong royong, dan kesadaran sosial, perlu terus ditanamkan agar tradisi luhur ini tetap hidup dan menjadi bagian dari identitas budaya bangsa. (TB)
Sumber Foto: Sinmawa Unud