Pasamuhan Alit Kebudayaan Bali 2025: Pariwisata dan Budaya Harus Saling Menghidupi

Author:
Share

Majelis Kebudayaan Bali (MKB) bersama Dinas Kebudayaan Provinsi Bali menggelar Pasamuhan Alit Kebudayaan Bali (PAKB) 2025 pada 22–23 Oktober 2025 di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Denpasar. Dengan mengangkat tema “Menjaga Tanah Bali dan Ketahanan Budaya dalam Industri Pariwisata Bali”, forum ini menjadi ruang strategis untuk merumuskan arah baru pembangunan kebudayaan Bali di tengah tekanan pariwisata dan modernisasi yang kian masif.

Acara dihadiri oleh para budayawan, akademisi, tokoh adat, seniman, pegiat lingkungan, serta perwakilan pemerintah daerah. Forum dua hari ini diharapkan mampu melahirkan rekomendasi konkret bagi keberlanjutan budaya Bali di tengah derasnya arus globalisasi dan komersialisasi pariwisata.

Ketua Harian MKB, Prof. Dr. I Komang Sudirga, mengingatkan bahwa pariwisata membawa keuntungan besar bagi perekonomian Bali, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran terhadap pelestarian nilai dan identitas budaya lokal.

“Menghadapi tantangan ke depan, kita perlu membangun rasa militansi, sutindih, wirang, dan jengah terhadap tanah serta kebudayaan Bali. Jika tidak, kita akan menyesal di kemudian hari,” tegasnya.

Menurutnya, masyarakat Bali harus kembali menanamkan kesadaran kolektif bahwa budaya bukan sekadar tontonan pariwisata, melainkan fondasi spiritual dan sosial yang menjaga keseimbangan hidup masyarakat.

BACA JUGA  Pasamuhan Alit MKB: Bali di Persimpangan, Ritual Sakral Kini Jadi Komoditas Pariwisata

Tokoh pariwisata dan akademisi, Ida Pandita Mpu Brahmananda (Prof. I Gede Pitana), menilai bahwa konsep pariwisata budaya Bali kini mulai melenceng dari prinsip awalnya. Ia mengingatkan kembali pesan dari Masterplan SCETO 1974: “Don’t change Bali, let Bali change the visitors.”

Menurutnya, pariwisata dan budaya tidak boleh saling meniadakan, melainkan saling menghidupi.

“Pariwisata budaya harus dikelola dengan nilai dan taksu Bali. Dengan begitu, ia tidak hanya menjadi sektor ekonomi, tetapi juga sarana pelestarian budaya,” ujarnya.

Pitana juga mendorong penerapan konsep “One island, one management” agar pembangunan di Bali lebih terpadu dan tetap berbasis kearifan lokal.

Dalam sesi bertema “Menjaga Tanah dan Manusia Bali”, Prof. Dr. I Dewa Gede Palguna menyoroti fenomena krisis kepemilikan tanah yang semakin memprihatinkan. Harga tanah yang melonjak dan penguasaan asing menyebabkan warga Bali makin sulit memiliki lahan di daerahnya sendiri.

“Ancaman terbesar bagi Bali bukan datang dari luar, tetapi dari dalam. Jika kita tidak sadar, orang Bali akan menjadi tamu di tanah sendiri,” tegas Palguna.

Ia juga memaparkan krisis multidimensi yang melanda Bali: mulai dari kemiskinan ekstrem, kemacetan, krisis air, hingga beban sosial adat. Dengan 80% ekonomi Bali bergantung pada pariwisata, ketahanan budaya dan lingkungan menjadi sangat rentan.

BACA JUGA  Asal Usul Desa Sidatapa, Tapak Jejak Bali Aga di Perbukitan Buleleng

Sebagai solusi, Palguna menekankan pentingnya memperkuat Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dan menjaga independensi desa adat agar tetap menjadi benteng spiritual masyarakat, bukan alat politik.

“Kalau desa adat rusak, maka rusaklah seluruh tatanan sosial dan spiritual Bali,” katanya.

Akademisi agraria Prof. Dr. Wayan P. Windia menyebut, keberlanjutan budaya Bali bergantung pada tiga elemen utama: agama Hindu, krama Bali, dan tanah Bali. Menurutnya, hilangnya salah satu unsur ini akan mengancam eksistensi budaya secara menyeluruh.

Ia menyoroti lemahnya dukungan terhadap desa adat dan subak, dua sistem tradisional yang telah menjaga keseimbangan sosial dan ekologi Bali selama berabad-abad.

“Banyak anggaran kebudayaan terserap untuk seni pertunjukan, sementara aspek fundamental seperti bahasa, aksara, dan pengetahuan lokal justru terabaikan. Padahal roh budaya Bali ada di sana,” jelas Windia.

Windia juga mengingatkan dampak serius alih fungsi lahan dan migrasi besar-besaran yang menggerus struktur sosial masyarakat Bali. Ia mengusulkan edukasi masyarakat adat, validasi data krama Bali, serta transparansi anggaran pelestarian budaya.

BACA JUGA  Delegasi Laamu Atoll Council Maldives Hadir ke Denpasar, Bahas Tata Kelola dan Pariwisata Berkelanjutan

Dalam sesi penutup, Prof. Dr. I Made Bandem menawarkan konsep Desa Budaya sebagai model penguatan identitas lokal. Gagasan ini menempatkan desa adat sebagai pusat kebudayaan, pendidikan, dan ekonomi kreatif yang berbasis nilai-nilai Bali.

“Pariwisata berbasis komunitas harus menjadi model utama. Keuntungan pariwisata harus kembali untuk masyarakat desa, bukan hanya investor,” tegas Bandem.

Desa Budaya dibangun atas tiga pilar: pelestarian warisan budaya, penguatan SDM dan lembaga adat, serta ketahanan ekonomi kreatif desa. Ia menilai, ketika desa kuat secara budaya, maka Bali akan berdaulat dalam jati dirinya sendiri.

Pada hari kedua, Kamis (23/10), forum akan menghadirkan generasi muda dan pegiat budaya untuk merumuskan solusi kreatif dan relevan terhadap tantangan masa kini. Ketua Harian MKB, Prof. Sudirga, menegaskan bahwa hasil Pasamuhan ini akan dirumuskan menjadi rekomendasi kebijakan bagi pemerintah daerah.

“Masukan dari para pakar dan peserta akan menjadi dasar kebijakan dalam menjaga, melestarikan, serta menyesuaikan warisan budaya Bali dengan dinamika zaman,” pungkasnya. (TB)

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!