![]() |
Ist |
Di
Kabupaten Karangasem Bali, ada sebuah pura yang belakangan semakin ramai
dikunjungi. Pura ini bernama Pura Pajinengan Gunung Tap Sai atau yang lebih
sering disebut dengan Pura Tap Sai. Lokasi dari pura ini adalah di Dusun
Puragai, Desa Adat Besakih, Desa Pempatan, Kecamatan Rendang, Kabupaten
Karangasem, Bali.
Pura
Tap Sai ini terletak di lereng barat laut Gunung Agung, di tengah hutan. Karena
keberadaan pura ini di tengah hutan maka suasana alamnya tenang, damai, hening
dan sakral, terletak di wilayah terpencil dan tersembunyi. Namun demikian
kendaraan, baik itu mobil dan bus bisa langsung parkir ke Pura.
Untuk
mencapai pura ini lewat jalur Rendang-Kubu. Kini umat Hindu dari seluruh Bali
sudah mulai sembahyang ke pura ini. Pemedek yang datang memohon keselamatan
hingga doa restu. Dilansir dari artikel Pangempon Pura Pajinengan Gunung Tap
Sai Kabupaten Karangasem – Bali, untuk Desain Konservasi Mandala Pura
yang disusun I Wayan Runa, I Nyoman Warnata, dan I Nyoman Nuri Arthana yang
dimuat di Jurnal Abdi Daya Vol. 1, No. 1, Maret 2021 disebutkan jika kata Tap
Sai berasal dari bahasa Bali yakni matapa sai sai atau bertapa atau semedi
setiap hari.
Salah
seorang pemangku di pura setempat, Jro Mangku Santa mengatakan nama Jineng pada
Pura Pajinengan Gunung Tap Sai diambil dari Gunung Jineng yang ada di sana,
yang secara umum namanya Gunung Agung.
Konon
tempat berdirinya pura itu dulunya adalah tempat bersemedi. Tidak diketahui
dengan pasti kapan pura itu mulai ada. Jro Mangku yang berusia kepala lima
ini memberikan gambaran bahwa pura tersebut sudah ada sejak dirinya masih kecil
dan bangunannya tidak sebagus sekarang.
Begitu
juga dengan palinggihnya juga dahulu tidak beragam. Dia menegaskan bahwa adanya
banyak palinggih dan pura semakin terawat sejak dilakukan rehab pura tahun 2000‐an. Upacara besarnya setelah
pembangunan itu digelar yaitu sekitar tahun 2014. Sejak saat itulah mulai
ramai.
Pernyataan
Mangku Santa ini, juga dibenarkan Jro Mangku Nengah Ngebeng dan Jro Mangku
Istri Ketut Tirta. Mereka menyebutkan, ada tiga dewi berstana di pura ini,
yakni Dewi Saraswati, Dewi Sri, dan Dewi Laksmi (Bhatara Rambut Sedana), dan
sering pula disebut Tri Upa Sedana. Umat Hindu percaya bahwa dengan memohon ke
pura ini akan mendapat anugerah.
Banyak
juga pengunjung datang untuk memohon agar lancar dalam bisnis dan memohon
keturunan karena memang ada palinggih Lingga Yoni alami. Pada
utama mandala pura Tap Sai ada pelinggih Lingga Yoni yang dililit akar pohon
secara alami. Dipercaya oleh umat di tempat itulah sebagai tempat untuk memohon
anak atau keturunan, jodoh, segala permasalahan kesehatan serta memohon tamba
(obat) dan juga rejeki.
Bagi
mereka yang akan sembahyang diharapkan mematuhi aturan yang ada, yakni dilarang
langsung ke mandala utama. Ada beberapa tahapan sembahyang yang harus diikuti.
Dimulai dari yang paling bawah di palinggih Ratu Penyarikan Pengadang Adang.
Kemudian
dilanjutkan sembahyang di palinggih Ratu Gede Mekele Lingsir, sebuah palinggih
batu besar bertuliskan huruf Bali. Setelah itu naik lagi ke palinggih Widyadara
Widyadari. Kemudian dilanjutkan pangayengan Pura Dalem Ped di Nusa
Penida.
Selanjutnya
naik lagi menuju Beji. Di Beji, pengunjung malukat dengan tirta yang disebut
tirta bang, yang merupakan salah satu jenis tirta di pura itu. Ada tiga tirta
dari sumber air berbeda di pura ini, yakni tirta bang, tirta selem, dan tirta
putih.
Khusus
untuk tirta putih belum dialirkan ke bawah karena masih harus mendaki.
Sedangkan tirta selem sudah bisa diminta di areal mandala utama. Setelah
malukat di beji ini, baru diperkenankan masuk areal mandala madya.
Di
madya mandala terdapat sebuah palinggih Ganesha atau Sanghyang Gana. Setelah itu
dilanjutkan ke mandala utama yang merupakan kompleks palinggih Ida Bhatari Tri
Upa Sedana. Palinggih Lingga Yoni juga ada disini. Setelah itu, dilanjutkan
sembahyang di palinggih Ratu Hyang Bungkut
Setelah
persembahyangan di mandala utama, maka setiap umat atau pemedek akan diberikan
seikat dupa yang berisi 11 dupa untuk melakukan permohonan khusus di Lingga
Yoni tersebut.
Sementara
dilansir dari balitoursclub.net, sarana persembahyangan atau banten yang
dihaturkan di pura ini tidak diperkenankan menggunakan sarana daging babi. Umat
yang bersembahyang harus mengikuti aturan persembahyangan agar tidak terjadi
hal-hal negatif.
Selain
itu, di pura ini juga memiliki 3 kali hari besar saat piodalan yaitu pada hari
Budha Cemeng Klawu merupakan piodalan utama saat hari Rambut Sedana, kemudian
hari Sukra Umanis Klawu saat piodalan Bhatara Sri dan pada Saniscara Umanis
Watugunung saat piodalan Sang Hyang Aji Saraswati. Hal ini dikarenakan di pura
ini merupakan stana dari Tri Upa Sedana.
Pura
ini akan semakin ramai didatangi oleh umat saat hari khusus seperti Purnama,
Tilem, Kajeng Kliwon serta hari raya Hindu lainnya. Bahkan umat yang
bersembahyang bisa sampai malam hari.
Di
pura ini konon sering ada kejadian unik, suara-suara tertentu seperti terdengar
pohon tumbang, suara tanah longsor, suara binatang dan ternyata tidak ada
apa-apa, tidak jarang juga pemedek yang kerauhan saat melukat. (TB)