Peristiwa ulah pati atau bundir masih kerap terjadi, termasuk di Bali. Meski begitu, tindakan ini dipandang sebagai perbuatan yang sangat berat dan dilarang dalam ajaran Hindu.
Dalam kepercayaan masyarakat Bali, ulah pati bukan hanya tidak menyelesaikan masalah, tapi justru memperburuk nasib roh si pelaku setelah kematian.
Menurut lontar Parasara Dharmasastra, orang yang melakukan ulah pati akan menerima akibat sangat berat di alam kematian.
Dikisahkan bahwa roh mereka akan terperangkap dalam kegelapan neraka selama 60.000 tahun.
Ini menunjukkan betapa besar dosa yang ditanggung oleh pelaku bunuh diri dalam pandangan spiritual Hindu.
Tak hanya itu, lontar ini juga menyebutkan bahwa siapa pun yang menemukan, menolong, menguburkan, atau melakukan upacara kematian untuk orang yang melakukan ulah pati, juga ikut menanggung sebagian dari dosa tersebut.
Hal ini menjadi pengingat bahwa tindakan tersebut tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga berdampak pada orang lain.
Pandangan serupa juga tercantum dalam lontar Yama Purwa Tattwa Atma. Dalam teks ini dijelaskan bahwa jenazah akibat ulah pati harus dikubur terlebih dahulu.
Baru setelah lima tahun, upacara ngaben atau kremasi spiritual bisa dilakukan.
Aturan ini menunjukkan adanya perlakuan khusus terhadap kematian yang dianggap tidak wajar atau bertentangan dengan dharma.
Namun, seiring waktu dan perkembangan pemahaman keagamaan, aturan tersebut telah disesuaikan.
Dalam Pesamuhan Agung Para Sulinggih dan Walaka yang diselenggarakan di Campuhan, Ubud, Gianyar pada 21 Oktober 1961, diputuskan bahwa jenazah akibat ulah pati atau kecelakaan bisa diupacarai seperti orang meninggal biasa.
Meski demikian, upakara atau rangkaian ritualnya tetap harus dilengkapi dengan pembersihan khusus, seperti mecaru, pengulapan, dan guru piduka, sebagai bentuk penyucian spiritual.
Pelaksanaan upacara tersebut kini disesuaikan dengan adat dan tradisi yang berlaku di masing-masing desa.
Hal ini menunjukkan adanya pendekatan yang lebih bijak dan penuh welas asih terhadap keluarga korban, tanpa mengesampingkan nilai-nilai spiritual dan keagamaan yang dijunjung tinggi oleh umat Hindu Bali.
Artikel ini mengingatkan kita bahwa hidup, betapapun sulitnya, lebih mulia dijalani dengan tabah.
Dalam pandangan Hindu, setiap jiwa memiliki karma dan perjalanannya masing-masing.
Menyelesaikan masalah bukan dengan mengakhiri hidup, melainkan dengan mencari jalan dharma dalam menghadapi cobaan hidup. (TB)
Sumber Foto: Freepik