Sejarah Desa Kuwum, yang terletak di Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, memiliki keterkaitan erat dengan perkembangan Kerajaan Belayu dan Mengwi. Berdasarkan catatan dari Babad Mengwi dan sumber lisan dari para penglingsir, asal-usul desa ini dapat ditelusuri sejak masa kerajaan.
Pada zaman dahulu, wilayah Desa Kuwum merupakan bagian dari Kerajaan Belayu, yang saat itu menjadi kerajaan bawahan di bawah kekuasaan Kerajaan Mengwi. I Gusti Agung Putu, pendiri Kerajaan Mengwi, adalah cucu dari I Gusti Agung Maruti, seorang patih di Kerajaan Gelgel yang sempat melakukan pemberontakan terhadap raja Gelgel, Dalem I Made, antara tahun 1651 hingga 1670.
Setelah mengalami kekalahan dalam perang di Beringkit, I Gusti Agung Putu sempat ditahan dan diserahkan kepada Raja Tabanan. Namun, atas permintaan Raja Marga, ia kemudian dibawa ke Marga dan dibesarkan di sana bersama I Gusti Ngurah Celuk, adik Raja Marga.
Saat beranjak dewasa, I Gusti Agung Putu menjalani pertapaan di Gunung Mangu dan mendapatkan wahyu serta kesaktian yang membantunya merebut kembali kekuasaan di Kapal. Dengan izin Raja Marga, ia bersama I Gusti Ngurah Celuk dan sekitar 40 pengikutnya membuka hutan di sebelah selatan Marga, yang dikenal sebagai Wrat Mara Negara.
Konon, di tengah proses perintisan wilayah ini, ia bersemedi di Alas Rangkan di Keramas, Gianyar, dan mendirikan Pura Dalem Rangkan sebagai tempat pemujaan leluhur.
Ketika I Gusti Agung Putu mendirikan Puri Belayu pada awal abad ke-18, hubungan antara Belayu dan Marga mulai merenggang. Sebuah insiden terkait penggantian keris pusaka dengan keris palsu menyebabkan ketegangan antara kedua kerajaan.
Marga kemudian bersekutu dengan Tabanan, sementara Belayu tetap setia kepada Mengwi. Untuk menjaga perbatasan antara Belayu dan Marga, sejumlah penduduk yang dikenal memiliki keberanian dan kesaktian ditempatkan di Kuwum.
Mereka berasal dari berbagai wilayah, termasuk Belayu Batannyuh, Umadiwang, Peken Beringkit, Jebaud, serta dari kawasan Mengwi seperti Mambal, Gerih, dan Bongkasa.
Kuwum semakin berkembang ketika I Gede Pasek, seorang penduduk Bongkasa, mendapatkan hadiah tanah dari Raja Mengwi sebagai penghargaan atas jasa kakeknya yang pernah mengobati raja tersebut. I Gede Pasek kemudian ditugaskan sebagai parekan (pengikut) di Puri Belayu dan Mengwi, serta diberikan hak untuk membuka hutan di sebelah utara Belayu. Dengan sekitar 40 kepala keluarga, ia mendirikan permukiman yang kemudian dikenal sebagai Kuwum Ancak.
Namun, terjadi konflik besar ketika Raja Belayu, I Gusti Agung Raka, berupaya mempersunting putri I Gede Pasek. Ketegangan ini berujung pada pertempuran yang dimulai di tempat judi sabung ayam di Puri Belayu, yang kemudian berkembang menjadi penghancuran Kuwum Ancak.
Banyak penduduk yang mengungsi ke arah barat laut, tepatnya ke Bija, sementara sisanya tunduk kembali kepada Belayu. Untuk mengisi kembali Desa Kuwum Ancak, penduduk dari Belayu dan Mengwi dikirim ke wilayah tersebut.
Desa Kuwum kemudian terbagi menjadi beberapa wilayah, yaitu Kuwum Mambal, Kuwum Tegallinggah, Kuwum Anyar, dan Kuwum Ancak. Setiap wilayah dihuni oleh penduduk dari daerah yang berbeda.
Kuwum Anyar, misalnya, dihuni oleh seorang Brahmana bernama Ida Made Tegal beserta 20 kepala keluarga pengikutnya. Untuk melindungi desa dari serangan Marga, dibuatlah banjar-banjar yang melintang dari barat ke timur, serta parit pertahanan di sebelah utara desa yang dipenuhi ranjau.
Pada tahun 1850, Kuwum dipenuhi oleh kubu-kubu pertahanan akibat berbagai serangan. Ketika Mengwi runtuh pada tahun 1892 setelah diserang oleh pasukan dari Tabanan, Badung, Gianyar, Ubud, dan Bangli, Kuwum semakin diperkuat dalam struktur politik Belayu. Kuwum pun menjadi bagian dari Desa Adat Belayu, bersama dengan desa-desa lain seperti Selambawak, Kukuh, Tegaljadi, Umabian, dan Bajera.
Namun, seiring waktu, Kuwum mulai mengambil jalannya sendiri. Pada tahun 1964, Kuwum secara bertahap mulai terpisah dari Desa Adat Belayu dan membentuk struktur adat sendiri.
Kuwum Ancak kemudian berkembang menjadi Desa Adat Kuwum Ancak, sedangkan Kuwum Tegallinggah, Kuwum Anyar, dan Kuwum Mambal membentuk satu desa adat dengan kelengkapan pura Trikayangan.
Untuk memastikan kesetiaan penduduk Kuwum, pengawasan ketat dilakukan oleh keluarga kerajaan Belayu. Setiap banjar memiliki pengawas masing-masing:
– Banjar Kuwum Tegallinggah diawasi oleh Puri Dangin
– Banjar Kuwum Mambal diawasi oleh Puri Saren Kelod
– Banjar Kuwum Ancak diawasi oleh Puri Saren Rangki
– Banjar Kuwum Anyar diawasi oleh Puri Anyar
Sebagai bentuk penghormatan kepada Raja Belayu, penduduk Kuwum melaksanakan upacara Mesaji (Mepaeed) setiap tahun pada Purnama Sasih Kedasa, sekitar bulan April. Upacara ini dilakukan di Puri Batukaru untuk memohon restu keselamatan dari Dewa di Pura Besakih serta meminta air suci (Pekuluh) bagi pertumbuhan padi dan palawija, yang menjadi sumber penghidupan utama masyarakat Kuwum.
Pada tahun 1995, Desa Kuwum mengalami perubahan signifikan dengan berkembangnya jumlah dusun dari empat menjadi lima. Struktur pemerintahan desa pun mengalami berbagai pergantian kepemimpinan dari masa ke masa, mulai dari zaman penjajahan hingga era modern. Kepala desa pertama di Kuwum adalah I Ketut Moyongan (Pan Ruki) (1951-1963), kemudian I Gusti Ngurah Kantor (1964-1976), dan seterusnya.
Seiring dengan laju perkembangan zaman dan era globalisasi, Desa Kuwum terus berkembang dan beradaptasi. Jejak sejarahnya yang panjang, mulai dari masa kerajaan hingga era modern, menjadi bagian penting dari identitas masyarakatnya. (TB)