Desa Megati yang terletak di Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan, Bali, memiliki latar sejarah yang sarat dengan kisah mitos dan pengaruh spiritual yang kuat.
Nama “Megati” bukanlah sembarang sebutan, melainkan lahir dari warisan leluhur yang penuh makna dan perenungan mendalam, meskipun belum ditemukan prasasti atau naskah kuno yang secara resmi menjelaskan asal-usul desa ini.
Secara etimologis, nama “Megati” diyakini berasal dari kata dasar pagat atau pegat yang berarti “putus”.
Kata ini mengalami perubahan linguistik menjadi Megati, yang berarti “memutuskan”.
Pemaknaan ini merujuk pada tindakan spiritual atau keputusan penting yang dilakukan oleh tokoh suci di masa lampau, yang kemudian dipercaya memberi identitas pada wilayah tersebut.
Menurut kisah turun-temurun, leluhur masyarakat Megati membuka hutan belantara dan menetap di daerah tersebut dengan penuh penghormatan spiritual.
Mereka dipimpin oleh seorang tokoh suci yang memiliki pengikut setia. Saat mengalami kesulitan pangan, tokoh suci ini memohon petunjuk kepada Hyang Kuasa dan melakukan persembahyangan di Pura Dalem.
Dari sana, mereka dipercaya menerima anugerah berupa biji-bijian yang disebut jijih, yang kemudian ditanam dan berkembang menjadi sumber penghidupan masyarakat.
Tempat penanaman jijih ini kemudian dikenal sebagai Jelijih. Dalam usaha mengelola pertanian, dibangun sistem irigasi dan petak-petak sawah yang disebut carik, dengan pusat pengairan utama yang disebut temuku aya.
Tempat suci di sumber air ini pun diyakini sebagai beji, tempat yang hingga kini masih disucikan oleh masyarakat Megati.
Seiring berjalannya waktu, para pengikut tokoh suci tersebut mulai memperluas lahan pertanian ke arah hilir sebagai bentuk penghormatan terhadap pendahulunya.
Wilayah-wilayah baru bermunculan, seperti Serampingan di sebelah timur persawahan, yang dihuni oleh penduduk baru yang memilih menetap dekat dengan para tetua.
Sebagian besar masyarakat pada masa itu bermukim di Jelijih, yang menjadi pusat kehidupan sekaligus kegiatan pertanian.
Tokoh suci yang memimpin awal peradaban ini dipercaya beryoga dan “menghilang” secara gaib, meninggalkan tempat tersebut tanpa jejak fisik namun dengan pengaruh spiritual yang kuat.
Dalam lontar kuno yang dibaca oleh Singgin Wikarman, disebutkan adanya pelinggih Gedong Jempeng atau Sri Shadana yang diyakini merupakan bagian dari konsep pemujaan dari Mpu Magati.
Nama ini dianggap memiliki hubungan erat dengan Ida Mpu Kuturan, seorang tokoh besar dalam sejarah spiritual Bali.
Muncul juga nama tempat Sesandan, yang diyakini berasal dari kata “sesandekan” atau tempat beristirahat tokoh spiritual setelah melewati wilayah Megati.
Tempat ini menjadi bukti bahwa pengaruh dan pergerakan leluhur spiritual tidak hanya terbatas di satu titik, tetapi meluas hingga ke pegunungan.
Sejarah Desa Megati adalah perpaduan antara kepercayaan, mitos, dan interpretasi spiritual yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Meskipun belum ditemukan catatan sejarah formal seperti prasasti atau manuskrip tertulis yang menjelaskan asal-usul desa ini secara pasti, namun kisah-kisah lisan dan keyakinan masyarakat memberikan warna tersendiri bagi eksistensi Megati.
Nama “Megati” pun menjadi simbol dari kekuatan spiritual dan keputusan luhur yang membentuk jati diri desa ini hingga kini. (TB)