![]() |
Sumber Ilustrasi id.wikipedia.org |
Dalam
keputusan bersama ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Bendesa Agung
Majelis Desa Adat (MDA), ketua Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan
(Listibiya), Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali dan Rektor ISI Denpasar
tentang Penguatan dan Perlindungan Tari Sakral Bali tanggal 17 September 2019
dikeluarkan beberapa janis dan nama tari sakral yang ada di Bali. Salah satunya
yakni tari Rejang. Dan dalam pembagian jenis tari Rejang, Rejang Renteng adalah
salah satunya yang dianggap sakral.
keputusan bersama ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Bendesa Agung
Majelis Desa Adat (MDA), ketua Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan
(Listibiya), Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali dan Rektor ISI Denpasar
tentang Penguatan dan Perlindungan Tari Sakral Bali tanggal 17 September 2019
dikeluarkan beberapa janis dan nama tari sakral yang ada di Bali. Salah satunya
yakni tari Rejang. Dan dalam pembagian jenis tari Rejang, Rejang Renteng adalah
salah satunya yang dianggap sakral.
Belakangan
ini tari Rejang Renteng ini banyak dipentaskan di pura oleh krama istri (warga
perempuan) saat ada upacara di Pura saat ada upacara yadnya misalnya berupa
odalan. Namun tarian ini dilakukan tak hanya di pura saja, bahkan saat festival
tarian ini pun ditarikan secara masal. Pernah juga digunakan untuk mencetak
Rekor MURI. Dan dengan adanya keputusan bersama ini, semua jenis tarian sakral
di Bali termasuk Rejang Renteng dilarang dipentaskan di luar tujuan sakral
(upacara dan upakara agama Hindu).
ini tari Rejang Renteng ini banyak dipentaskan di pura oleh krama istri (warga
perempuan) saat ada upacara di Pura saat ada upacara yadnya misalnya berupa
odalan. Namun tarian ini dilakukan tak hanya di pura saja, bahkan saat festival
tarian ini pun ditarikan secara masal. Pernah juga digunakan untuk mencetak
Rekor MURI. Dan dengan adanya keputusan bersama ini, semua jenis tarian sakral
di Bali termasuk Rejang Renteng dilarang dipentaskan di luar tujuan sakral
(upacara dan upakara agama Hindu).
Tari
Rejang Renteng ini merupakan pengembangan dari Dinas Kebudayaan Provinsi Bali
tahun 1999. Inspirasinya dari tari Renteng yang ada di Desa Adat Saren, Nusa
Gede, Nusa Penida. Ida Ayu Made Diastini dalam makalahnya yang berjudul Filosofi
Kostum dan Gerakan Tari Rejang Renteng yang disampaikan pada workshop Tari
Rejang Renteng di Art Center, 21 Februari 2019 menuliskan, berdasarkan
penjelasan tim peneliti Disbud Badi saat itu, gerakan pada tari Renteng hanya
terdiri dari pengawak dengan gerakan yang diulang-ulang membentuk pola lurus ke
belakang. Jumlah penarinya ganjil, berputar membentuk lingkaran dengan gerakan
sederhana dan diakhiri penari ke luar pura.
Rejang Renteng ini merupakan pengembangan dari Dinas Kebudayaan Provinsi Bali
tahun 1999. Inspirasinya dari tari Renteng yang ada di Desa Adat Saren, Nusa
Gede, Nusa Penida. Ida Ayu Made Diastini dalam makalahnya yang berjudul Filosofi
Kostum dan Gerakan Tari Rejang Renteng yang disampaikan pada workshop Tari
Rejang Renteng di Art Center, 21 Februari 2019 menuliskan, berdasarkan
penjelasan tim peneliti Disbud Badi saat itu, gerakan pada tari Renteng hanya
terdiri dari pengawak dengan gerakan yang diulang-ulang membentuk pola lurus ke
belakang. Jumlah penarinya ganjil, berputar membentuk lingkaran dengan gerakan
sederhana dan diakhiri penari ke luar pura.
Diastini
mengatakan, Renteng memiliki arti tua atau renta. Akan tetapi bukan berarti tua
dalam hal fisik, melainkan dalam arti yang lebih luas yakni sudah kawin, sudah
dituakan, dan yang ngerentang adalah mereka yang sudah menjadi pemangku. Tari
ini tak dikatahui penciptanya dan dari keterangan kelian adat setempat saat itu,
I Made Nase dan para pemangku pura, tari ini lahir dikarenakan adanya pawisik
atau wahyu niskala. “Tari Renteng ini ditarikan para orang tua atau pemangku
yang sudah Kasudi (terpilih secara niskala) dengan sarana upacara abnten
pemendak,” tulis Diastini.
mengatakan, Renteng memiliki arti tua atau renta. Akan tetapi bukan berarti tua
dalam hal fisik, melainkan dalam arti yang lebih luas yakni sudah kawin, sudah
dituakan, dan yang ngerentang adalah mereka yang sudah menjadi pemangku. Tari
ini tak dikatahui penciptanya dan dari keterangan kelian adat setempat saat itu,
I Made Nase dan para pemangku pura, tari ini lahir dikarenakan adanya pawisik
atau wahyu niskala. “Tari Renteng ini ditarikan para orang tua atau pemangku
yang sudah Kasudi (terpilih secara niskala) dengan sarana upacara abnten
pemendak,” tulis Diastini.
Diastini
menambahkan, awalnya penari berjumlah genap, namun ada kejadian aneh saat
ditampilkan di Pura Puncak Mundi, dimana penari yang ada di bagian belakang
tiba-tiba menghilang. Penari ini kemudian di temukan meninggal di semak-semak.
Sejak saat itu penari Renteng ini berjumlah ganjil yakni 3, 5, 7, dan 9.
menambahkan, awalnya penari berjumlah genap, namun ada kejadian aneh saat
ditampilkan di Pura Puncak Mundi, dimana penari yang ada di bagian belakang
tiba-tiba menghilang. Penari ini kemudian di temukan meninggal di semak-semak.
Sejak saat itu penari Renteng ini berjumlah ganjil yakni 3, 5, 7, dan 9.
Pada
gerakan tari Renteng tak ada istilah pepeson, pengawak, dan pekaad. Sementara
pada tari Rejang Renteng ditambahkan beberapa gerakan sesuai pakem tari Bali.
Gerakan pepeson dalam tari Rejang Renteng diambil dari gerakan Mendet dalam
tari wali, pengawak merupakan gerakan asli yang diambil dari tari Renteng, dan
pekaadnya dengan mengulang kembali gerakan pepeson serta menggunakan
pengembangan dari gerakan-gerakan tari Rejang Dewa. Pertama kali dipentaskan,
Rejang Renteng ini menggunakan pengiring gong kebyar, dalam perkembangan
selanjutnya menggunakan semarapegulingan, gong gede, semarandana, maupun gong
angklung.
gerakan tari Renteng tak ada istilah pepeson, pengawak, dan pekaad. Sementara
pada tari Rejang Renteng ditambahkan beberapa gerakan sesuai pakem tari Bali.
Gerakan pepeson dalam tari Rejang Renteng diambil dari gerakan Mendet dalam
tari wali, pengawak merupakan gerakan asli yang diambil dari tari Renteng, dan
pekaadnya dengan mengulang kembali gerakan pepeson serta menggunakan
pengembangan dari gerakan-gerakan tari Rejang Dewa. Pertama kali dipentaskan,
Rejang Renteng ini menggunakan pengiring gong kebyar, dalam perkembangan
selanjutnya menggunakan semarapegulingan, gong gede, semarandana, maupun gong
angklung.
Kostum
penari Rejang Renteng yakni menggunakan baju putih mengandung filosofl bahwa
badan manusia itu sakral perlu dijaga dengan hal-hal yang indah dan suci; selendang
kuning polos memiliki makna bahwa perut sebagai wadah tumbuh kembangnya
kebaikan dan kejahatan serta emosi, sehingga perlu diikat, yang disimbolkan
dengan simpulan selendang; kain cepuk tenunan warna kuning memiliki makna bahwa
seni memiliki kekuatan sebagai penangkal bahaya (penolak bala); subeng sebagai
hiasan telinga mengandung fllosofi mendengarkan ucapan atau suara yang indah
dan suci, serta tidak terpengaruh oleh kata-kata yang kotor, sehingga
mengganggu rasa kesucian saat menari sebagai persembahan kehadapan Tuhan Yang
Maha Suci.
penari Rejang Renteng yakni menggunakan baju putih mengandung filosofl bahwa
badan manusia itu sakral perlu dijaga dengan hal-hal yang indah dan suci; selendang
kuning polos memiliki makna bahwa perut sebagai wadah tumbuh kembangnya
kebaikan dan kejahatan serta emosi, sehingga perlu diikat, yang disimbolkan
dengan simpulan selendang; kain cepuk tenunan warna kuning memiliki makna bahwa
seni memiliki kekuatan sebagai penangkal bahaya (penolak bala); subeng sebagai
hiasan telinga mengandung fllosofi mendengarkan ucapan atau suara yang indah
dan suci, serta tidak terpengaruh oleh kata-kata yang kotor, sehingga
mengganggu rasa kesucian saat menari sebagai persembahan kehadapan Tuhan Yang
Maha Suci.
Selain
itu model rambutnya menggunakan sasakan polos bermakna pikiran yang polos tulus
iklas berbakti kepada Tuhan; sanggul (pusung tagel) sebagai tanda bahwa
penarinya sudah menikah; serta menggunakan bunga jepun yang memiliki makna keindahan
dan keharuman serta tidak pamer. (TB)
itu model rambutnya menggunakan sasakan polos bermakna pikiran yang polos tulus
iklas berbakti kepada Tuhan; sanggul (pusung tagel) sebagai tanda bahwa
penarinya sudah menikah; serta menggunakan bunga jepun yang memiliki makna keindahan
dan keharuman serta tidak pamer. (TB)