Sumber: www.pariwisatasumut.net |
Mungkin
banyak yang tidak tahu, jika semeton Bali ada yang tinggal di sebuah kampung
Bali di Sumatera Utara. Kampung Bali ini berada di Desa Paya Tusam, Kecamatan
Wampu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Berkunjung
ke tempat ini maka akan sangat terasa rasa Balinya. Perkampungan ini dihuni
oleh masyarakat asli Suku Bali sejak puluhan tahun yang lalu. Bahkan merasa
masih taat akan tradisi Bali. Juga mendirikan pura untuk tempat persembahyangan
mereka.
Untuk
mencapai Kampung Bali, melalui kota terdekat yaitu Binjai menuju ke Kecamatan
Selesai, Langkat. Dari Binjai jarak tempuh dengan mobil menghabiskan waktu satu
setengah jam. Medan jalan yang bebatuan, jalan perbukitan menanjak, serta
kebun-kebun karet dan sawit menjadi pemandangan menarik yang menghibur mata di
sepanjang perjalanan. Jika datang musim penghujan, maka medan jalan akan terasa
makin berat. Belum lagi, lokasi perkampungan Bali yang terpisahkan oleh aliran
sungai Bingai, sehingga membutuhkan penyeberangan getek yang membantu untuk
melintasi aliran sungai.
Kehidupan
mereka pun sangat rukun dan berdampingan dengan masyarakat sekitar.
Bagaimanakah sejarahnya bisa terbentuknya kampung Bali di Sumatera Utara ini?
Dikutip
dari Skripsi Kampung Bali di Desa Paya Tusam Kabupaten Langkat 1974 – 2002 yang
disusun Andrey Geneton Hutapea untuk mendapat gelar sarjana dari Departemen
Sejarah
Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan Tahun 2013 disebutkan jika masyarakat
yang membuka Kampung Bali di Langkat mengawali kedatangan mereka dengan
bertransmigrasi dari Bali ke Sumatera. Mereka melakukan transmigrasi tahun 1963,
dikarenakan adanya letusan Gunung Agung di tahun 1963.
Disebutkan
bahwa ketika itu kira-kira 145 keluarga, yang banyak diantaranya berasal dari
Gianyar Propinsi Bali, telah dikirim untuk bekerja kontrak selama 6 tahun
diperkebunan karet di Medan dan sekitarnya. Orang Bali yang bermigrasi ke Medan,
mengawali kedatangan mereka dengan menandatangani kontrak kerja diperkebunan
Tanjung Garbus dan Bandar Selamat, perkebunan Tanjung Garbus dan Bandar Selamat
merupakan perkebunan yang terletak di daerah Lubuk Pakam. Setelah beberapa
tahun bekerja di perkebunan banyak yang berhenti dan bahkan ada yang pulang
kembali ke Bali.
Akhirnya
pada tahun 1973 dengan bekal seadanya akhirnya orang-orang Bali yang masih
tinggal di sana berjumlah 56 kk tersebut mengusahakan tempat tinggal yang baru
untuk keberlangsungan hidup mereka.
Mereka
menggabungkan diri dengan PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) yang berada di
kota Medan untuk memohon bantuan agar diusahakan tempat tinggal yang baru dan menerahkan
proses pengurusan itu sepenuhnya kepada lembaga tersebut. PHDI menyetujui permohonan
masyarakat Bali tersebut yang meminta diusahakan tempat tinggal yang baru untuk
kelangsungan hidup mereka. PHDI mengambil alih rencana perpindahan ini dalam
pengurusannya. Tempat tinggal yang direncanakan untuk orang-orang Bali ini
dinamakan Komplek Bali.
Langkah
selanjutnya yang diambil oleh PHDI adalah dengan mengutus beberapa orang untuk
meninjau daerah-daerah yang menjadi tujuan masyarakat Bali. Ditemukanlah pada
masa itu beberapa daerah oleh utusan ini namun hasilnya belum ada
yang cocok. Akhirnya ditemukan daerah pedalaman di Kabupaten Langkat yang dirasa
cocok setelah melalui berbagai pertimbangan untuk menjadi tempat tinggal masyarakat
Bali.
Dikirim
utusan sebanyak 11 orang yang merupakan dari masyarakat Bali tersebut untuk
melakukan survey ke daerah pedalaman Kabupaten Langkat. Kawasan yang menjadi
tempat tinggal masyarakat Bali ini memiliki luas 180 ha. Status daerah tempat
tinggal masyarakat Bali yang dirujukkan ini merupakan Tanah Negara Bebas (TNB).
Sebelum
berakhir tahun 1973 PHDI berhasil mengurus segala kebutuhan bagi masyarakat
Bali yang akan membuka tempat tinggal didaerah Langkat tersebut, termasuk
didalamnya segala urusan izin tanah dan tempat tinggal sementara bagi masyarakat
dikawsan ini. Dengan demikian, maka terjadilah migrasi spontan dari Tanjung
Garbus dan Bandar Selamat ke daerah pedalaman Kab. Langkat yang bernama Kampung
Bali.
Dilansir
dari Merdeka.com, Suku Bali yang kini tinggal di Kampung Bali merupakan
generasi kedua dari Suku Bali pertama yang datang ke Sumatera Utara. Saat ini,
terdapat 36 Kepala Keluarga dari Suku Bali yang mendiami Desa Paya Tusam dari
total sebanyak 74 Kepala Keluarga yang tinggal di desa tersebut.
Sebanyak
38 Kepala Keluarga lainnya adalah Suku Jawa yang datang dalam kurun tahun 1980
sampai 1990-an. Sementara, warga Bali yang awalnya mendiami desa tersebut
sebagian telah meninggalkan kampung dan menjadi perantau di wilayah Riau, Jambi
dan Lampung.
Meskipun
jumlah suku Bali lebih sedikit daripada suku Jawa, namun kedua suku pendatang
ini dapat hidup rukun berdampingan. Warga Suku Bali masih bisa melakukan
kegiatan termasuk peribadatan seperti biasa, begitu juga dengan warga suku Jawa
dalam menjalankan kegiatan peribadatan dan juga adat. Bahkan, tidak jarang
terjadi pernikahan antara suku Bali dan suku Jawa yang tinggal di desa
tersebut.
Dilansir
dari laman visitlangkat, warga suku Bali yang tinggal di Kampung Bali ini juga
memegang teguh adat serta masih melakukan upacara-upacara adat seperti yang
dilakukan umat Hindu di Bali pada umumnya. Salah satunya adalah Upacara Mecaru.
Upacara Mecaru adalah upacara yang dilakukan sebelum Hari Nyepi. Selain itu,
warga suku Bali juga merayakan Nyepi. Selama Hari Nyepi ini mereka melaksanakan
Catur Brata Penyepian. (TB)