Tahun 1810 Tokoh dari Bali Ajarkan Agama Hindu di Desa di Maluku Ini, Baru Punya Pura Tahun 2007

Author:
Share
phdi.or.id

Ada
daerah di Maluku yang warganya mayoritas beragama Hindu. Daerah tersebut yakni
Desa Tanimbar Kei, Kecamatan Kei Kecil Barat, Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku. Konon
Hindu sudah ada sejak zaman Majapahit di sini. Namun mereka baru memiliki pura
tahun 2007.

Dilansir
dari website phdi.or.id,
disebutkan bahwa pada zaman dahulu, sekitar tahun 1810, ada seorang tokoh
spiritual yang berasal dari Bali. Beliau bernama Ketut yang sering di sebut
dengan nama Tebtut. Beliau mempunya istri yang berasal dari desa Tanimbar Kei,
bernama Nen Sikre. Beliau kemudian mengajarkan ajaran spiritual kegamaan, yaitu
ajaran agama Hindu. 

Tetapi
jauh sebelum beliau datang, sebutan agama Hindu sudah ada di desa ini. Sebutan
agama Hindu bagi umat di desa Tanimbar Kei sudah ada sebelum zaman penjajahan
Belanda, sejak zaman kerajaan Majapahit. Jauh sebelum masuknya agama Hindu,
masyarakat di desa Tanimbar Kei sudah memegang teguh adat, tradisi dan
kepercayaan setempat, yaitu kepecayaan terhadap benda-benda sakral dan mitu
(leluhur) yang suci.

Setelah
masuknya ajaran Hindu di desa ini, tokoh adat desa Tanimbar Kei menerima ajaran
agama Hindu sebagai suatu keyakinan masyarakat setempat. Hal ini dibuktikan
dengan simbol-simbol yang masih terdapat di rumah-rumah adat yang ada di dalam
ajaran Hindu. Salah satunya, yaitu keyakinan tentang mitu dan sirih pinang,
terkandung nilai-nilai ajaran Hindu mengenai konsep Panca Sraddha dan
kerangka dasar ajaran Hindu.

Menurut
hikayat setempat, leluhur orang Kei berasal dari Bal (Bali), ketika itu
merupakan wilayah kerajaan Majapahit di kawasan Barat Nusantara. Konon, dua
perahu utama berlayar dari pulau Bali, masing-masing dinahkodai oleh dua orang,
masing-masing bergelar Hala’ai Deu dan Hala’ai Jangra. Setibanya di perairan
kepulauan Kei, dua perahu ini berpisah. Perahu rombongan Deu berlabuh untuk
pertama kalinya di Desa Letvuan, Pulau Kei Kecil, sedangkan perahu rombongan
Jangra menepi di desa Ler-Ohoylim, pulau Kei Besar. 

Letvuan
dijadikan pusat pemerintahan, tempat dikembangkannya hukum adat Larvul Ngabal
(darah merah dan tombak Bali) atas gagasan Putri Dit Sakmas. Bukti hubungan
dengan Bali ini di Kei kecil mencakup beberapa benda warisan dan sebuah tempat
berlabuh yang dinamakan Bal Sorbay (Bali-Surabaya), yakni tempat perahu
keluarga kerajaan itu dulu berlabuh. Bukti-bukti itu kini dapat ditemui di Desa
Tanimbar Kei, Kecamatan Kei Kecil Barat, Kepulauan Kei, Kabupaten Maluku
Tenggara, Provinsi Maluku. Desa Tanimbar Kei terbagi menjadi dua lokasi, yaitu
Ohoratan (kampung atas) dan Tahat (kampung bawah), serta satu dusun,
yaitu  Dusun Mun.

Kampung
atas berada tepat di atas tebing yang tingginya sekitar 25 m. Kampung atas
sangat disucikan dan disakralkan oleh umat Hindu di desa Tanimbar Kei karena
memiliki peninggalan seperti tempat-tempat suci dan rumah adat yang masih ada
sampai sekarang. Benda-benda peningalan seperti rumah adat, arca (wadah), meriam
peningalan zaman Belanda, gelang dari timah, tembaga, mas, dan uang gobang (pis
bolong) sangat berperan dalam melaksanakan proses ritual adat. 

Pada
zaman dahulu masyarakat yang bermukim di kampung atas mayoritas merupakan
masyarakat dan tokoh adat beragama Hindu. Seiring dengan perjalan waktu, banyak
anggota masyarakat beralih ke agama lain. Anggota masyarakat yang beralih ke
agama lain berpindah tempat tinggal ke kampung bawah dan dusun Mun. Ini
merupakan aturan tradisi mitu (leluhur) yang tidak boleh dilanggar. Karena akan
berdampak buruk bagi kesejahteraan keluarga tersebut dan masyarakat desa
Tanimbar Kei.

Kampung
bawah sudah ada sejak zaman dahulu dan masyarakat yang bermukim di sana pada
mulanya juga mayoritas beragama Hindu. Seiring dengan perkembangan zaman,
masyarakat yang bermukim di kampung bawah terdiri dari pemeluk agama Islam,
Katholik, dan Protestan. 

Berkembangnya
komunitas Katholik dan Protestan di desa Tanimbar Kei terjadi karena pernikahan
campur antara masyarakat Hindu desa Tanimbar Kei dengan penduduk desa lain yang
setelah menikah kemudian tingal di desa Tanimbar Kei. 

Pada
tahun 1969, hasil rapat para tokoh adat menetapkan agar komunitas Non-Hindu
dari kampung atas pindah bermukim di kampung bawah dan di dusun Mun. Ini semua
bertujuan untuk menghormati para leluhur dan menghormati proses kesakralan
ritual tradisi yang sering dilakukan di kampung atas.

Dusun
Mun terletak tidak jauh dari kampung atas dan kampung bawah. Mayoritas
masyarakat yang tingal di dusun Mun beragama Islam. Masyarakat yang tinggal di
dusun Mun masih memiliki hubungan persaudaraan yang sangat erat dengan umat
yang berda di kampung atas dan kampung bawah. 

Semua
masyarakat yang berada di ketiga lokasi ini merupakan keturunan satu nenek
moyang dan bersaudara. Awal perpindahan masyarakat ke lokasi baru dusun Mun
ini, disebabkan karena sekitar tahun 1967 terjadi kesalapahaman karena
masyarakat beragama Kristen membunyikan lonceng gereja pada saat umat Hindu
sedang melaksanakan tradisi Tate’e.

Maka
disitulah awal mulanya masyarakat desa Taimbar Kei membentuk dusun Mun sebagai
tempat bermukim komunitas Islam, Katolik dan komunitas Protestan. Ajaran Islam
masuk ke desa Tanimbar Kei dibawa oleh Mabal Latar yang berasal dari desa Banda
Eli. Sejak diterimanya Mabal Latar, masyarakat dari desa Banda Eli kemudian
menetapkan masyarakat Desa Tanimbar Kei sebagai pela (saudara).

Ritual-ritual
yang dijalankan dipimpin oleh tokoh-tokoh adat yang telah dipercayakan oleh
masyarakat setempat. Ritual sesajen seperti sirih, kapur pinang, tembakau, kopi
dan sopi, tidak lepas dari setiap kegiatan ritual karena merupakan suatu ciri
khas desa ini dalam menjalankan proses ritual kapada Sang Hyang Widhi dan para
leluhur. 

Sejak
sekitar tahun 1952 tokoh adat masyarakat Hindu di desa Tanimbar Kei
berkeinginan untuk membangun tempat suci Pura. Karena tidak ada orang yang
dapat mendorong dan memotifasi masyarakat untuk membantu niat baik tokoh adat
maka ini belum bisa diwujudkan. 

Maka
wacana itu berlalu begitu saja karena umat di desa ini belum mengerti tata cara
untuk membangun tempat suci pura ini. Hal ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan
kritis seprti, “Mengapa umat Hindu yang mayoritas belum mempunyai tempat
ibadah, sedangkan umat lain yang minoritas sudah mempunyai sarana tempat
ibadah?”

Selain
merasa terpojokkan oleh pertanyaan-pertanyaan seperti ini, kurangnya
pengetahuan dan pemahaman umat tentang sraddha menyebabkan banyak umat Hindu
beralih memeluk agama lain.

Menghadapi
kenyataan ini, PHDI Kab Maluku Tenggara yang di ketuai oleh M. Yamko
berinisiatif mengadakan rapat dengan tokoh-tokoh adat dan masyarakat Hindu di
desa Tanimbar Kei. Setelah enam kali rapat, dicapai kesepakatan dan keinginan
untuk membangun pura dengan nama Pura Wuar Masbaat.

Pura
mulai dibangun pada 27 Agustus 2007 dengan bantuan dana pertama dari Depag RI
dan kemudian bantuan dari umat sedharma dan dari pemerintah daerah
setempat. (TB)

 

 

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!