“Kaki kaki, i dadong dija? Dadong jumah gelem kebus dingin ngetor. Ngetor nged, nged, nged, nged, buin selae lemeng Galungan, mebuah apang nged.” Begitulah ucapan sederhana yang diucapkan saat menghaturkan sesajen di tegalan dalam rangka Tumpek Wariga atau Tumpek Pengatag, atau Tumpek Bubuh. Harapannya agar semua yang berbuah, akan berbuah dengan lebat dan bisa digunakan saat Hari Raya Galungan.
Setiap enam bulan sekali, tepatnya Sabtu Kliwon wuku Wariga inilah Tumpek Pengatag dirayakan. Hari raya ini juga sebagai pengingat, bahwa 25 hari lagi merupakan Hari Raya Galungan atau dalam bahasa Bali selae dina Galungan.
Dalam kepercayaan umat Hindu Bali, Tumpek Wariga merupakan pemujaan Dewa Sangkara sebagai penguasa tumbuhan. Sehingga pada Tumpek Wariga merupakan hari untuk memuliakan tumbuh-tumbuhan.
Ada sebuah manuskrip atau lontar yang memuat tata cara pelaksanaan Tumpek Wariga yang disebut lontar Sundarigama. Lontar ini merupakan pedoman dalam pelaksanaan upacara di Bali.
Kutipannya yakni: Wariga, Saniscara Kliwon, ngaran Tumpek Panuduh, puja kreti ring Sang Hyang Sangkara, apan sira amredyaken sarwa tumuwuh, kayu-kayu kunang. Widhi widananya, pras, tulung sasayut, tumpeng, bubur, mwah tumpeng agung 1, iwak guling bawi, itik wenang, saha raka, panyeneng, tatebus, kalinganya, anguduh ikang sarwa ning taru asekar, awoh, agodong, dadi amreta ning urip. Rikang wwang, sasayut nyakra gni 1, maka pangadang ati, anuwuhaken ajnana sandhi.
Artinya: pada wuku Wariga, Sabtu Kliwon disebut Tumpek Panguduh, merupakan hari suci pemujaan Sang Hyang Sangkara, karena beliau adalah dewa penguasa kesuburan semua tumbuhan dan pepohonan. Sesajen yang dipersembahkan yaitu peras, tulung sasayut, tumpeng, bubur, tumpeng agung 1, babi guling atau boleh juga guling itik, disertai jajan, panyeneng, tatebus. Ini memiliki makna untuk memohon keselamatan tanaman agar dapat berbunga, berbuah, dan sesajen berupa sesayut cakragni 1 sebagai simbol penguatan hati dan pikiran untuk menumbuhkan kekuatan batin. (TB)