Sumber Foto ceposonline.com |
Selama
ini Bali selalu dikenal dengan tradisinya yang sangat kental. Salah satunya
adalah tradisi ngaben. Secara umum ngaben ini erat kaitannya dengan prosesi
pembakaran jenazah. Upacara ngaben ini juga menjadi simbol untuk menyucikan roh
orang yang telah meninggal.
Tujuan
lain dari ngaben ini yakni mempercepat pengembalian unsur panca maha bhuta yang
membentuk badan kasar atau tubuh manusia. Dimana umat Hindu Bali percaya jika badan
kasar dibentuk oleh lima unsur yang dikenal dengan Panca Maha Bhuta. Kelima
unsur ini terddiri dari pertiwi (tanah), teja (api), apah (air), bayu (angin),
dan akasa (ruang hampa). Lima unsur ini menyatu membentuk fisik dan kemudian
digerakkan oleh roh.
Akan
tetapi, tidak semua daerah di Bali yang melaksanakan upacara pengabenan. Salah
satunya yakni Desa Terunyan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Desa
Trunyan yang terletak di pinggir Danau Batur dan dikelilingi tebing bukit. Desa
ini termasuk sebagai desa Bali kuna, desa Bali mula, atau desa tua atau sering
disebut desa Bali Aga. Di Desa Terunyan, jenasah hanya diletakkan di tanah
pekuburan.
Dilansir
dari website Disbudpar Kabupaten Bangli, diketahui Desa Terunyan memiliki tiga
jenis kuburan. Ketiga jenis kuburan itu diklasifikasikan berdasarkan umur orang
yang meninggal dunia, keutuhan jenasah dan cara penguburan.
Kuburan
utama, dianggap paling suci dan paling baik yang disebut Setra Wayah. Jenazah
yang dikuburkan pada kuburan suci ini hanyalah jenazah yang jasadnya utuh,
tidak cacat, dan jenasah yang proses meninggalnya dianggap wajar atau bukan
bunuh diri maupun kecelakaan.
Kuburan
muda, diperuntukkan bagi bayi dan orang dewasa yang belum menikah. Namun tetap
dengan syarat jenasah tersebut harus utuh dan tidak cacat.
Kuburan
Setra Bantas, khusus untuk jenasah yang cacat dan yang meninggal karena salah
pati maupun ulah pati atau meninggal dunia secara tidak wajar misalnya
kecelakaan maupun bunuh diri.
Dari
ketiga jenis kuburan tersebut yang paling unik dan menarik disebutkan kuburan
utama atau kuburan suci atau Setra Wayah. Kuburan ini berlokasi sekitar 400
meter di bagian utara desa dan dibatasi oleh tonjolan kaki tebing bukit. Untuk
membawa jenasah ke kuburan harus menggunakan sampan kecil khusus jenasah yang
disebut Pedau.
Meski
disebut dikubur, namun cara penguburannya unik yaitu dikenal dengan istilah
mepasah. Jenasah yang telah diupacarai menurut tradisi setempat diletakkan
begitu saja di atas lubang sedalam 20 cm. Sebagian badannya dari bagian dada ke
atas, dibiarkan terbuka, tidak terkubur tanah. Jenasah tersebut hanya dibatasi
dengan ancak saji yang terbuat dari sejenis bambu membentuk semacam kerucut,
digunakan untuk memagari jenasah.
Di
Setra Wayah ini terdapat 7 liang lahat terbagi menjadi 2 kelompok. Dua liang
untuk penghulu desa yang jenasahnya tanpa cacat terletak di bagian hulu dan
masih ada 5 liang berjejer setelah kedua liang tadi yaitu untuk masyarakat
biasa.Jika semua liang sudah penuh dan ada lagi jenasah baru yang akan dikubur,
jenasah yang lama dinaikkan dari lubang dan jenasah barulah yang menempati
lubang tersebut. Jenasah lama, ditaruh begitu saja di pinggir lubang.
Sehingga
di setra wayah akan ditemukan berserakan tengorak-tengkorak manusia yang tidak
boleh ditanam maupun dibuang. Meski tidak dilakukan dengan upacara Ngaben,
upacara kematian tradisi desa Trunyan pada prinsipnya sama saja dengan makna
dan tujuan upacara kematian yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali lainnya.
Upacara
dilangsungkan untuk membayar hutang jasa anak terhadap orang tuanya. Hutang itu
dibayarkan melalui dua tahap, tahap pertama dibayarkan dengan perilaku yang
baik ketika orang tua masih hidup dan tahap kedua pada waktu orang tua
meninggal serangkaian dengan prilaku ritual dalam bentuk upacara kematian.
Sementara
itu, dilansir dari website Desa Terunyan dikisahkan pada suatu hari beberapa
abad yang lalu di Puri Dalem Solo, yang berada di pulau Jawa tercium bau yang
sangat harum sekali. Bau harum yang luar biasa tersebut menarik perhatian empat
orang anak dalem Solo untuk mengembara mencari sumbernya. Dalam pengembaraan
itu tanpa disadari akhirnya mereka tiba di pulau Bali.
Setibanya
di kaki selatan gunung Batur, anak dalem Solo yang wanita berkeputusan untuk
tidak melanjutkan perjalanan. Sementara itu, ketiga saudara laki-lakinya
melanjutkan pengembaraan mereka menyusuri tepi danau Batur.
Saat
mendengar suara burung saudara termuda mereka pun kegirangan. Saking girangnya
ia sampai berteriak. Akan tetapi perbuatan tersebut membuat kakak tertuanya
marah. Kakaknya lalu menendangnya sampai jatuh bersila. Setelah menendang
adiknya keduanya pun pergi meninggalkannya. Kedua saudara tersebut pun
melanjutkan perjalanan.
Oleh
karena sangat senang bertemu dengan manusia, anak kedua dari saudara itu
menyapa orang tersebut. Kelakuan adiknya tersebut membuat si kakak tidak
senang. Akhirnya ditinggalkanlah adiknya di tempat tersebut.
Setelah
meninggalkan adik-adiknya di desa-desa itu, putra dalem Solo yang sulung
melanjutkan perjalanannya ke arah utara. Akhirnya ia tiba disebuah dataran
tempat ditemukannya seorang Dewi yang teramat menggiurkan hati mudanya. Dewi
ini pada waktu ditemukan berada di bawah pohon besar yang bernama taru menyan,
sumber bau harum tersebut yang dicari selama ini.
Perasaan
birahi jejakanya segera bangkit dan diluar kekuasaannya lagi sang Dewi segera
disenggamai. Setelah tersalurkan birahinya, si pemuda petualang itu pun pergi
menghadap kakak sang dewi untuk meminang adiknya. Kakaknya menyetujui, dan
akhirnya mereka pun menikah. Upacara perkawinan pun digelar.
Setelah
upacara perkawinan mereka selesai, tempat yang mereka diami berangsur-angsur
berkembang menjadi kerajaan. Kemudian karena kawatir kerajaan mereka akan
diserang oleh orang luar yang terpesona bau semerbak yang keluar dari pohon
taru menyan tersebut, maka sang permaisuri memerintahkan untuk menghilangkan
bau semerbak itu.
Caranya
yakni dengan memerintahkan agar jenazah-jenazah orang di sana tidak lagi
dikubur, melainkan dibiarkan membusuk di bawah udara terbuka.Itulah sebabnya,
maka sejak itu, pohon itu tidak lagi mengeluarkan bau semerbak yang tercium
hingga jauh. Sebaliknya jenazah-jenazah penduduk yang dibiarkan membusuk di
udara terbuka di daerah pemakaman sema Wayah tidak mengeluarkan bau busuk.
Pohon
yang menguarkan bau menyan itu diyakini mampu menghilangkan bau tak mengenakkan
dari jenazah yang diletakkan tanpa dikubur tersebut. Banyak orang menuturkan
keberadaan pohon Taru Menyan itulah yang menjadi cikal-bakal Desa Trunyan. (TB)