Dalam budaya Bali yang kental dengan nilai spiritual dan adat istiadat Hindu, setiap tahapan kehidupan manusia diiringi dengan upacara suci. Salah satunya adalah upacara kepus pungsed, yaitu ritual yang dilaksanakan saat tali pusar bayi lepas. Peristiwa ini dianggap sakral dan menjadi tanda berakhirnya masa penjagaan spiritual dari Sang Catur Sanak.
Makna Sakral Tali Pusar dalam Tradisi Bali
Kata kepus berarti “lepas”, dan puser atau pungsed berarti “tali pusar”. Dalam keyakinan umat Hindu di Bali, tali pusar bukan sekadar bagian tubuh yang gugur setelah lahir, namun merupakan simbol keterikatan bayi dengan kekuatan spiritual, khususnya dengan Sang Catur Sanak — empat saudara gaib yang diyakini menemani dan melindungi bayi sejak dalam kandungan.
Setelah tali pusar bayi terlepas, masyarakat Bali meyakini bahwa peran Sang Catur Sanak selesai, sehingga perlu dilakukan upacara sebagai bentuk penghormatan dan pelepasan tugas spiritual tersebut. Sebagai lambang ikatan suci, bayi akan dipakaikan gelang benang di tangannya.
Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Upacara kepus puser biasanya dilangsungkan tiga hari setelah tali pusar bayi putus. Prosesi ini tidak dilakukan di pura, melainkan di dalam rumah, tepatnya di kamar tidur bayi, yang dianggap sebagai ruang pribadi penuh makna. Upacara ini biasanya dipimpin oleh orang tua atau sesepuh keluarga.
Sarana dan Sesajian Upacara Kepus Puser
Upacara ini memerlukan berbagai banten atau sesajian yang memiliki simbolisme spiritual, antara lain:
- Banten penelaahan: beras kuning dan daun dadap.
- Banten kumara: terdiri dari nasi kuning dan putih, aneka kue tradisional, buah-buahan, lenga wangi (minyak wangi), burat wangi, dan canang sari.
- Banten labaan: nasi lengkap dengan lauk-pauk.
- Segehan empat warna: nasi berwarna merah, putih, kuning, dan hitam yang masing-masing berisi bawang, jahe, dan garam. Ini melambangkan arah mata angin dan keseimbangan unsur alam.
Rangkaian Prosesi Upacara
- Tali pusar bayi yang telah lepas dibungkus dengan kain putih, dimasukkan ke dalam ketupat kukur (ketupat berbentuk burung tekukur), bersama rempah-rempah seperti cengkih, pala, dan lada.
- Ketupat kukur tersebut kemudian digantung di kaki tempat tidur bayi sebagai simbol perlindungan.
- Dibuatkan kumara atau tempat sesaji kecil bagi bayi, yang disebut pelangkiran.
- Di lokasi penanaman ari-ari, didirikan sanggah cucuk, tempat sesaji dan segehan empat warna diletakkan untuk menjaga keharmonisan spiritual.
- Upacara ditutup dengan doa memohon keselamatan, keseimbangan lahir batin, serta harapan agar bayi tumbuh menjadi manusia yang berguna.
Penutup
Upacara kepus puser bukan sekadar ritual tradisional, melainkan bentuk penghormatan pada proses kehidupan dan kekuatan spiritual yang menyertainya. Lewat upacara ini, masyarakat Bali menjaga keseimbangan antara alam nyata dan gaib, serta membangun harapan dan doa terbaik untuk perjalanan hidup sang bayi. Sebuah wujud nyata betapa budaya Bali sangat menghargai kehidupan sejak awal kelahiran. (TB)