Perayaan Nyepi saka 1942 tahun 2020 dilaksanakan pada hari Rabu, 25 Maret 2020.
Sehingga untuk Pangerupukan akan dilaksanakan sehari sebelumnya yaitu Selasa,
24 Maret 2020.
salah satu ciri khas dari Pangerupukan ini yaitu dilaksanakannya prosesi
mengarak ogoh-ogoh. Berbagai macam ogoh-ogoh akan diarak berkeliling desa
ataupun kota. Untuk mempersiapkan pangerupukan ini, sekaa teruna bahkan sudah
jauh-jauh hari mempersiapkannya yang diawali dengan membuat sketsa dari
ogoh-ogoh yang akan dibuat.
32 sketsa ogoh-ogoh yang akan dibuat oleh sekaa teruna di Bali yang sudah
tersebar di media sosial dan dirangkum TelusurBali.com.
Sekaa
Teruna (ST) Bina Manggala Santhi, Banjar Mertagangga, Ubung Kaja , Denpasar
Utara pada nyepi saka 1942 ini akan membuat ogoh-ogoh berjudul Lembu
Nandiswara. Sketsa dari ogoh-ogoh mereka telah diunggah pada akun instagram @st.bms.
ini berbentuk raksasa berbadan kekar dengan kepala berbentuk lembu (sapi
putih). Di mana dalam penggambarannya Lembu Nandiswara ini sedang terbang.
ST
Eka Pramana, Banjar Merta Rauh, Dangin Puri Kangin membuat ogoh-ogoh berjudul Camunda
Ahamkara. Dalam sketsa yang diunggah di akun @st.ekapramana
terlihat sesosok makhluk raksasa bertangan empat sedang melakukan yoga dan
salah satu tangannya memegang kepala manusia.
akun instagramnya juga dibubuhi caption, “egoisme dan nafsu yang tidak
terputus-putus selalu menjadi pendamping manusia dari sejak lahir, hanya diri
kita sendiri yang dapat melahap (mengendalikan) hawa nafsu dan egoisme kita
sendiri (ahamkara)”
Kumbakarna diangkat kembali oleh ST Trisna Yowana Kencana yang merupakan sekaa
teruna Gang Subak, Dalung, Badung. Sketsa dari ogoh-ogoh mereka juga sudah
diposting di akun @st.trisnayowanakencana.
Dwi Bhuana Santhi, Desa Tibubeneng, Badung mengangkat kisah burung raksasa
Jatayu yang dibunuh oleh Rahwana. Mereka memberi judul Jatayu Pralaya.
dalam caption postingan instagramnya, Jatāyū adalah putra dari Aruna dan
keponakan Garuda. Ia merupakan saudara Sempati. Ia adalah seekor burung yang
melihat bagaimana Dewi Sita diculik oleh Rawana.
Sita menjerit-jerit karena dibawa kabur oleh Rawana, Jatayu yang sedang berada
di dahan sebuah pohon mendengarnya. Ia melihat ke atas, dan tampak Rahwana
terbang membawa Sita, puteri Prabu Janaka. Jatayu yang bersahabat dengan Raja
Dasarata, merasa bertanggung jawab terhadap Sita yang merupakan istri putera
sahabatnya, Sri Rama. Dengan jiwa ksatria meluap-luap dan berada di pihak yang
benar, Jatayu tidak gentar untuk melawan Rawana. Ia menyerang Rahwana dengan
segenap tenaganya. Namun Jatayu sudah renta.
ia sedang berusaha menyelamatkan Sita dari Rahwana, sayapnya ditebas dengan
pedang oleh Rawana. Jatayu bernasib naas. Tubuhnya terjatuh ke tanah dan
darahnya berceceran. Ketika Sang Rama dan Lakshmana sedang menelusuri hutan
untuk mencari Dewi Sita, tampak oleh mereka darah berceceran. Setelah dicari
asalnya, mereka menemukan seekor burung tanpa sayap sedang sekarat.
tersebut mengaku bernama Jatayu, yang berusaha menolong Dewi Sita karena
diculik Rahwana. Namun usahanya tidak berhasil sehingga Dewi Sita dibawa kabur
ke oleh Rahwana ke kerajaan Alengka. Melihat keadaan Sang Jatayu yang sekarat,
Sang Rama memberi hormat untuk yang terakhir kalinya, kemudian Jatayu
menghembuskan napas terakhirnya.
ST Dwi Bhuana Santhi, Desa Tibubeneng mengangkat kisah Jatayu, maka ST Eka Tri
Santhi, Br. Pelambingan, Tibubeneng membuat ogoh-ogoh dengan judul Sang Kalikemaya.
Eka Dharma Putra, Br. Aseman Kangin, Tibubeneng, Badung mengangkat kisah Dewi
Durga dengan judul Pastu Durga. Dalam unggahan sketsa ogoh-ogohnya di akun @st.ekadharmaputra disertai caption, “Om Catur Dewa
Maha Sakti, Catur Asrama Bhatari, Siwa Jagatpati Dewi, Durga Sarira Dewi“
Ketika sebuah kesetiaan dipermainkan, Hanya akan membawa petaka, Cahaya yang telah
redup tak dapat dihidupkan, Yang tersisa hanyalah kegelapan “Pastu Durga”.
Susila Bhakti, Tibubeneng, Badung akan membuat ogoh-ogoh yang berjudul Semara
Reka. Sketsa ogoh-ogoh mereka diunggah pada akun @stsb__
Padangsambian, Denpasar membuat ogoh-ogoh berjudul Taksu Sang Hyang Legong. Ogoh-ogoh
ini terinspirasi dari Tari Legong yang sudah tak asing lagi di Bali. “Tari
Legong tercipta berdasarkan mimpi I Dewa Agung Made Karna, Raja Sukawati yang
bertahta tahun 1775-1825 M. Ketika beliau melakukan tapa di Pura Jogan Agung
desa Ketewel ( wilayah Sukawati ), beliau bermimpi melihat bidadari sedang
menari di surga. Mereka menari dengan menggunakan hiasan kepala yang terbuat
dari emas,” tulis akun @vatana.45team.
Ketika beliau sadar dari semedinya, segeralah beliau menitahkan Bendesa Ketewel
untuk membuat beberapa topeng yang wajahnya tampak dalam mimpi beliau ketika
melakukan semedi di Pura Jogan Agung dan memerintahkan pula agar membuatkan
tarian yang mirip dengan mimpinya. Akhirnya Bendesa Ketewel pun mampu
menyelesaikan sembilan buah topeng sakral sesuai permintaan I Dewa Agung Made
Karna. Pertunjukan tari Sang Hyang Legong pun dapat dipentaskan di Pura Jogan
Agung oleh dua orang penari perempuan.
Eka Darma Banjar Beluluk Timpag mengangkat kisah awatara Wisnu yakni Narasinga
Murti dengan judul Narasimha Murti. Dijelaskan pada akun @sttekadarma_ pada
akhir zaman Satyayuga, seorang Raja Asura bernama Hiranyakasipu sangat membenci
segala sesuatu yang berhubungan dengan Dewa Wisnu termasuk pengikutnya. Karena
bertahun tahun lalu, Hiranyaksa (adiknya) dibunuh oleh Waraha Awatara.
Untuk mendapatkan kesaktian, ia melakukan tapa kepada Dewa Brahma. Ia kemudian
memohon berkat untuk hidup abadi. Namun Dewa Brahma tak dapat mengabulkannya.
Hiranyakasipu hanya tidak dapat dibunuh oleh Manusia, Hewan, maupun Dewa; saat
pagi, siang, maupun malam; di luar maupun di dalam rumah; di air, darat, maupun
udara; dan tidak dapat dibunuh dengan segala macam senjata.
Di rumah Hiranyakasipu, Dewa Indra dan bala tentaranya menyerbu. Untungnya,
Narada datang dan menyelamatkan Lilawati (istri Hiranyakasipu) dan Prahlada
(anak Hiranyakasipu). Prahlada kemudian dididik oleh Narada untuk menjadi
pengikut Dewa Vishnu.
Mengetahui hal tersebut, Hiranyakasipu marah besar dan mencoba membunuh anaknya
sendiri. Namun, setiap kali mencoba, ia selalu tidak dapat membunuh anaknya.
Kekuatan Dewa Wisnu yang tidak terlihat oleh mata Hiranyakasipu selalu menolong
Prahlada. Hiranyakasipu pun menantang Prahlada untuk menunjukkan Dewa Wisnu.
Prahlada berkata, “Ia berada di mana-mana, Ia di sini, dan Ia akan muncul.”
Pada petang hari itu, Dewa Vishnu muncul sebagai Narasinga Awatara (manusia
berkepala singa dan berkuku tajam). Narasinga Awatara dapat mengakhiri
Hiranyakasipu. Karena waktu yang tepat, berkat Dewa Brahma tidak berlaku lagi.
Hiranyakaksipu memang dibunuh tidak oleh manusia, hewan, maupun dewa; tidak di
air, darat, ataupun udara, melainkan di pangkuan Narasinga; tidak di dalam
maupun di dalam rumah, melainkan di antaranya; tidak dibunuh dengan senjata,
melainkan dengan kuku Narasinga.
Intinya adalah Beliau ada dimana-mana dan akan melindungi setiap pengikutnya
tanpa memandang keturunan melainkan hanya ketulusan dan perbuatan baik orang
tersebut.
dalam wiracarita Mahabharata, yakni Sangkuni diangkat menjadi ogoh-ogoh oleh
Banjar Karang Sari. Judulnya yakni Sangkuni Perlaye. Seperti diketahui bahwa
Sangkuni merupakan tokoh yang licik dan curang.
Tri Yoga, Br. Kuwum, Ds. Kuwum, Mengwi, Badung membuat ogoh-ogoh berjudul Pamurtining
Guru. Sketsa dari ogoh-ogoh ini bisa dilihat di akun @st.triyoga.
Banjar Angseri pada tahun 2020 ini mengangkat kisah Rahwana. Ogoh-ogoh mereka
pun diberi judul Sang Rahwana. Di media sosial ada dua sketsa ogoh-ogoh yang
beredar.
Sang
Kala Geni merupakan judul ogoh-ogoh dari St. Yowana Çhanti I, Br. Sulangai, Ds.
Sulangai, Kec. Petang, Kab. Badung. Sketsanya bisa dilihat di @st.yowanachanti1
Dwi Dharma Putra, Banjar Sunia, Werdi Bhuwana, Mengwi, Badung membuat ogoh-ogoh
berjudul Kresna Duta. Sketsanya bisa dicek di @st.dwidharmaputra
Yowana Eka Sakti, Banjar Sanga Agung juga membuat ogoh-ogoh berjudul Bawi
Srenggi. Sketsa ogoh-ogoh ini bisa dilihat di @st.yowanaekasakti
Siddhi Widya Yowana, Jln. Raya batuyang Gg. Puyuh membuat ogoh-ogoh berjudul Parasurama
Awatara. Pada caption sketsa ogoh-ogoh yang diunggah di akun @sidhiwidyayowana juga disebutkan Parasurama
(Dewanagari: परशुरामभार्गव;
IAST: Parashurāma Bhārgava) atau yang di Indonesia kadang disebut Ramaparasu,
adalah nama seorang tokoh Ciranjiwin (abadi) dalam ajaran agama Hindu. Secara
harfiah, nama Parashurama bermakna “Rama yang bersenjata kapak”.
lainnya adalah Bhargawa yang bermakna “keturunan Maharesi Bregu”. Ia sendiri
dikenal sebagai awatara Wisnu yang keenam dan hidup pada zaman Tretayuga. Pada
zaman ini banyak kaum kesatria yang berperang satu sama lain sehingga
menyebabkan kekacauan di dunia. Maka, Wisnu sebagai dewa pemelihara alam
semesta lahir ke dunia sebagai seorang brahmana berwujud angker, yaitu Rama
putra Jamadagni, untuk menumpas para kesatria tersebut.
Saat Nyepi saka 1942 tahun 2020, STT. Dharma Kaniaka Banjar Dajan Peken, Timpag, Tabanan membuat ogoh-ogoh berjudul Pempatan Agung. Dikutif dari akun instagram @sttdharmakaniaka.timpag dituliskan Pempatan Agung atau disebut juga Catus Patha adalah persimpangan jalan yang erat kaitannya dengan simbol tapak dara yg merupakan pusat pertemuan energi positif dan negatif.
Dijelaskan dalam beberapa lontar seperti Dewa Tattwa maupun Eka Pratama, dalam seluk beluk caru dan tawur disebutkan terutama untuk Tawur kesanga dilaksanakan di Pempatan Agung, karena dalam Lontar Bhumi Kamulan dan Siwa Gama diceritakan di tempat inilah mula pertama Dewi Uma berubah wujud menjadi Dewi Durga untuk menciptakan Bhuta Kala dan di tempat ini pula Sang Pretanjala berubah menjadi Maha Kala serta mengutuk keempat saudaranya untuk ditempatkan masing-masing penjuru mata angin.
Tidak heran, jika orang-orang yang menekuni ilmu pangiwa memanfaatkan energi negatif Pempatan Agung untuk mendapat panugrahan Bhatari Durga dan Sang Mahakala. Namun demikian, fenomena seperti itu saat ini tentunya sudah jarang karena kawasan Pempatan Agung atau Catus pata kini sudah ramai, bahkan menjadi titik kawasan bisnis dan pemerintahan suatu wilayah. “Berdasarkan cerita tersebut penggarap mengimplementasikan kedalam bentuk karya seni ogoh-ogoh dengan konsep menghadap keempat penjuru mata angin,” tulis akun @sttdharmakaniaka.timpag.
Pada akun @stt_putra_bhakti dituliskan perwujudan Cili atau Deling pada lamak disebut sebagai sampian Cili dengan hiasan wajah yang menyimbolkan kekuatan keindahan atau simbol kedewataan. Cili dilambangkan dengan figur perempuan dengan ciri khas bentuk segitiga terdiri dari tiga unsur yakni kepala, badan dan kaki seperti halnya dalam motif hias cilinaya. Mengandung makna sebagai permohonan keindahan. Cili merupakan simbol purusa dan pradana yang nantinya memiliki penekanan kepada konsep Rwa Bhineda.
Simbol Cili yang dihadirkan pada karya ini mengandung makna sebagai permohonan kepada Sang Hyang Widhi Wasa agar senantiasa dianugrahkan kerahayuan dan keselamatan terhadap Bhuana Agung dan Bhuana Alit agar kehidupan di Bumi bisa terus berjalan harmonis.
Cili di Bali sangat terkait dengan kehidupan sosial keagamaan yang selalu menjaga dan memelihara bahkan memberi perubahan dalam bentuk dan fungsinya, sejalan dengan perubahan yang terjadi di masyarakat.
“Karena di dalam dunia ini tidak ada yang bisa melampaui keabadian dewa” ATMA LINGGA” Coming soon caka 1942,” tulis akun tersebut.
Tahun 2020, ST. Wiwaradhika, Br. Belong Gede Pemecutan Kaja, Denpasar akan membuat ogoh-ogoh berjudul Durga Mahesasura Mardini. Dalam sketsanya terlihat sosok Dewi Durga bertangan banyak dengan memegang banyak senjata.
Secara umum , jenis cetik yg paling terdengar di telinga masyarakat bali yakni cetik kerawang atau biasanya di sebut cetik kerikan gangsa yg berbahan dasar serpihan tembaga yg di ambil dari sebuah lempengan gong gangsa atau salah satu jenis perlengkapan gambelan bali , kemudian di campur dengan gelugut (medang-medang)pohon bambu kuning.
Cetik ini hanya mampu di lakukan oleh orang yg memiliki ilmu hitam atau desti , bahkan secara tidak langsung hanya memandang makanan atau minuman saja , maka korbannya akan menjadi sakit seperti yang dihendaki. Kewisesan yang di perolehnya di sebar luaskan secara rahasia dengan menggunakan sarana seperti mas, mirah, tembaga, kertas rerajahan dan lain-lain.
Tujuan orang nyetik atau yg melakukan perbuatan mencelakai dengan menggunakan cetik amat beragam. Biasanya di karenakan sifat iri hati atau dengki , kecemburuan sosial , balas dendam dan berselisih paham , layaknya menggambarkan sosok raksasa yg berkuasa dan menyeramkan.
Juga dijelaskan tentang makna pada setiap bagian ogoh-ogoh yang dibuat yaitu babi dan bhuta melambangkan sifat-sifat duniawi seperti rakus, serakah, licik, dan lain-lain yang senantiasa menggoda “sang diri” untuk mendapatkan kepuasan material. Tunggul berakar menyimbolkan tubuh dari “sang diri” yang masih terikat reinkarnasi untuk menebus karma dari kehidupan lampau.
Badan dengan memegang kepala beragam ekspresi merepresentasikan “sang diri” yang masih terpengaruh oleh ingatan-ingatan dari kehidupannya yang lalu. Berdiri dengan satu kaki melambangkan keinginan untuk lepas dari ikatan duniawi.